Dipuji dan (Masih) Dicaci karena Asap
Bagi warga Singapura, Indonesia telanjur dicap lekat dengan asap. Warga Singapura belum bisa lupa peristiwa impor asap pada 2015. Karena asap, nama Indonesia pun dipuji, tetapi juga masih dicaci.
Mr Lim (65), pengemudi taksi Trans Cab yang biasa mangkal di Bandara Changi, langsung teringat pada Kalimantan dan Sumatera saat melihat kabut tipis di langit Singapura, Rabu (1/5/2019). Tuduhan pun langsung ia lontarkan.
”Ini pasti kiriman dari Kalimantan atau Riau lagi. Mereka para pembakar hutan itu seharusnya dipenjara dan tidak pernah dikeluarkan lagi,” kata Lim dengan geram.
Ini pasti kiriman dari Kalimantan atau Riau lagi. Mereka para pembakar hutan itu seharusnya dipenjara dan tidak pernah dikeluarkan lagi.
Selisik punya selisik, kabut asap itu ternyata berasal dari kawasan tenggara Johor, Malaysia. Dikutip dari sejumlah media massa Singapura, National Environment Agency (NEA) atau badan lingkungan Singapura menyatakan, Asia Tenggara bagian utara, di antaranya sebagian Johor, Thailand, dan Myanmar, sedang mengalami musim kering dan peningkatan suhu akibat angin monsun tenggara.
Baca juga: Singapura Ingatkan Ancaman Kabut Asap
Dengan demikian, titik panas akibat kebakaran pun meningkat di kawasan itu. Namun, bagi Lim, sejak 2015, kabut asap selalu ia curigai dari Indonesia.
Berbeda dengan pikiran Lim, Singapore Dialogue on Sustainable World Resource tahun ke-6 yang diselenggarakan Singapore Institute of International Affairs (SIIA) di Singapura, Kamis (2/5/2019), justru hujan puja-puji untuk upaya Indonesia menangani kabut asap.
Berbeda dengan pikiran Lim, Singapore Dialogue on Sustainable World Resource tahun ke-6 yang diselenggarakan Singapore Institute of International Affairs (SIIA) di Singapura, Kamis (2/5/2019), justru hujan puja-puji untuk upaya Indonesia menangani kabut asap.
Para akademisi, peneliti, dan Pemerintah Singapura menilai Indonesia telah berhasil menekan kabut asap sejak 2016. Hingga sekarang, atau sudah tiga tahun berturut-turut, Singapura dapat menikmati langit biru.
Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura Masagos Zulkifli mengatakan, ASEAN, khususnya Singapura, dapat menikmati langit bersih itu karena kepemimpinan dan usaha penuh tekad dari Presiden Joko Widodo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dalam menghadapi kabut asap.
Namun, kata Masagos, kewaspadaan terhadap polusi kabut asap lintas batas (transboundary haze pollution) ini harus selalu dijaga sebab masih rentan kembali. Tahun 2019 ini El Nino yang membawa panas dan kering kembali berembus memperbesar peluang kembalinya kabut asap ke Singapura.
Pujian ini juga menyimpan pesan pahit bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia yang telah berdampak ke negara-negara tetangga baru ditangani serius tiga tahun terakhir.
Baca juga: Kabut Asap
Data Badan Reklamasi Gambut yang dipaparkan di sana memperlihatkan penurunan jumlah titik api drastis sejak 2016. Pada 2016, penurunan mencapai 98,57 persen di daerah konsesi dan di kawasan non-konsensi turun 98,6 persen. Pada 2018, penurunan sebanyak 92,98 persen di kawasan konsesi dan 91,39 persen di daerah non-konsesi.
Baca juga: Mengolah Gambut Tanpa Kabut
Namun, perlu menjadi catatan juga, tiga tahun terakhir, kemarau di Indonesia tak disertai El Nino parah sehingga tak segarang pada 2015. Kondisi cuaca itu membantu pencegahan kebakaran lahan gambut.
Di waktu lalu munculnya El Nino selalu membawa kabut asap ke Singapura. Tahun 1997 dan 2015 dirasakan terparah. Bahkan, pada 2015, kabut asap di ”Negeri Singa” berlangsung sekitar dua bulan. Banyak sekolah ditutup dan debu PM 2.5 meningkat hingga tiga kali lipat dari biasanya.
Bahkan, kata Prof Simon Tay, Ketua Singapore Institute of International Affairs, ada bagian Singapura yang sampai berhari-hari tak memperoleh sinar matahari karena asap begitu pekat.
Di Indonesia, kabut asap pada 2015 itu menjadi faktor pemicu tewasnya 19 orang yang sebagian besar balita.
Kerugian tetangga
Tidak mengherankan jika warga Singapura tak bisa lupa pada kabut asap. Profesor Chia Wai Mun dari Sekolah Ilmu Pengetahuan Sosial Nanyang Technological University menghitung kerugian yang diderita Singapura sekitar 1,8 miliar dollar Singapura atau sekitar Rp 1,88 triliun.
Kerugian itu meliputi kerugian yang kasatmata sebesar 1,5 miliar dollar Singapura. ”Dari jumlah ini, separuhnya dari biaya kesehatan karena adanya debu PM 2,5 yang tiga kali lebih buruk dari biasanya,” kata Chia Wai.
Kerugian itu meliputi kerugian yang kasatmata sebesar 1,5 miliar dollar Singapura.
Sektor kerugian kasatmata lainnya adalah sektor turisme. Sejumlah acara dibatalkan sehingga sejumlah turis pun urung datang karena gangguan asap. Ada juga kerugian penurunan produktivitas dari ditutupnya sekolah dan perkantoran. Kerugian juga dihitung dari biaya mitigasi yang dikeluarkan warga dan pemerintah untuk mengatasi kabut asap itu.
Sementara sisanya sekitar 362 juta dollar Singapura merupakan kerugian tak kasatmata. ”Ini nilai berartinya udara bersih dan segar bagi warga Singapura kalau dinilai dalam uang,” kata Chia.
Dengan kerugian itu, Singapura berharap Pemerintah Indonesia terus mempertahankan upaya menanggulangi kabut asap. Apalagi, tahun ini potensi kemunculan kabut asap parah meningkat menjadi level sedang karena datangnya kembali El Nino.
Usaha
Bupati Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, Jarot Wijanarko yang diundang dalam acara itu memaparkan, ada tiga pelaku utama dalam kebakaran lahan gambut di daerahnya. Mereka adalah perusahaan besar, usaha kecil, dan masyarakat adat.
Peraturan dan tanggung jawab mencegah api di lahan konsesi sudah ditegakkan untuk perusahaan besar. Untuk masyarakat adat, pembakaran masih diperbolehkan, tetapi dengan pengawasan ketat.
Namun, kebakaran lahan masih juga terjadi meski tak separah 2015. Hal ini, ujarnya, diduga karena masih banyak usaha kecil yang nekat membuka lahan dengan membakar gambut. Oleh karena itu, saat ini pihaknya fokus pada penanganan usaha kecil. ”Kami sedang petakan dan nanti akan merancang pendampingan dan pengawasan,” kata Jarot.
Dalam pertemuan itu, Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead juga meyakinkan hadirin bahwa Indonesia tetap mampu menghadapi El Nino pada 2019. Tahun 2016, lanjutnya, sebenarnya juga berlangsung El Nino. Namun, kebakaran gambut tetap dapat dikendalikan.
Sejak 2016, Badan Restorasi Gambut mulai melakukan proyek pembasahan kembali lahan gambut. Langkah itu terbukti efektif. Semakin basah lahan gambut, semakin berkurangnnya hotspot di sana. Badan Restorasi Gambut juga memonitor kelembaban lahan gambut di tujuh provinsi, yaitu di Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Papua, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat.
Konferensi itu juga diisi dengan berbagai peringatan. Kerusakan hutan masih saja terus terjadi, juga lahan-lahan rusak dibiarkan tak terurus. Hal-hal yang belum selesai ini membuat keberhasilan Indonesia masih begitu rentan berubah menjadi kegagalan lagi.