Bukan hanya pemerintah yang bersiasat menjaga harga pangan tetap stabil menjelang Ramadhan, pengelola warung tegal atau lebih dikenal warteg sudah lama melakukannya. Mereka selalu bersiasat dengan naik turunnya harga bahan kebutuhan. Satu hal yang selalu mereka lakukan, menjaga kesetiaan pelanggaan.
Oleh
Aguido Adri
·3 menit baca
Bukan hanya pemerintah yang bersiasat menjaga harga pangan tetap stabil menjelang Ramadhan, pengelola warung tegal atau lebih dikenal warteg sudah lama melakukannya. Mereka selalu bersiasat dengan naik turunnya harga bahan kebutuhan. Satu hal yang selalu mereka lakukan, menjaga kesetiaan pelanggaan.
Siang itu, Dani (25) memesan ayam goreng, sayur oceng kacang panjang, sambal kentang, tempe mendoan, dan segelas es teh manis di warteg langganannya. Pria asal Malang, Jawa Timur, itu lahap memakan hidangan tersebut. Setelah kenyang, ia bertanya kepada Atun (23), pelayan warteg, ”Berapa, Mbak?”
”Rp 17.000, Mas,” sahut Atun.
Bagi Dani, harga murah selalu ramah dengan kantongnya. Tempat itu menjadi solusi di tengah mahalnya biaya hidup di Jakarta. ”Gaji saya tidak sampai Rp 5 juta per bulan. Saya harus pandai mengatur uang, salah satunya dengan memilih tempat makan. Warteg tetap menjadi pilihan favorit,” ujar Dani.
Atun memang tidak ingin bermain-main dengan harga makanan. Sebab, sebagian besar konsumen mereka dari kalangan menengah ke bawah. Meskipun harga-harga di pasar melonjak naik, sebisa mungkin dia tidak menaikkan harga atau mengurangi porsi makanan.
”Seperti nanti menjelang Ramadhan harga-harga akan naik, kayak cabai dan bawang. Tidak mungkin kita naikin harga makanan atau mengurangi porsi, kasihan pelanggan. Mereka bisa pergi. Harga porsi tetap sama meski harga di pasar naik,” kata Atun.
Untuk itu, Atun pun bersiasat, mengatur porsi bumbu untuk menu masakannya. Ia mencontohkan, menu telur balado biasanya menggunakan cabai merah 100 gram. Jika harga cabai naik, ia hanya menggunakan 50-80 gram. ”Jadi, bumbunya sedikit dikurangi,” ucapnya.
Hal serupa juga dituturkan Minah (45), pemilik warteg Selera 24 di Jatinegara, Jakarta Timur. Ia mengatakan, bisnis keuntungan warteg tidak dihitung berdasarkan porsi, tetapi dari setiap lauk yang dipesan pelanggan. Keuntungan dari setiap lauk bervariasi, mulai dari Rp 500 sampai Rp 2.500.
Misalnya, pelanggan memesan seporsi makanan dengan lauk sayur sawi, orek tempe, semur tahu, dan sepotong ayam seharga Rp 17.000. Dari pesanan ini, Minah mendapat keuntungan Rp 4.000. Keuntungan terakumulasi dari sayur sawi Rp 500, orek tempe Rp 500, sepotong tempe Rp 500, dan sepotong ayam Rp 2.000.
”Keuntungan dihitung dari tiap-tiap menu. Jika ada pelanggan yang memesan empat menu, keuntungan yang saya dapat Rp 2.500-Rp 4.000. Selain itu, keuntungan juga dari banyaknya pelanggan yang datang. Meski untung yang diperoleh kecil, banyaknya pelanggan membuat warteg tetap hidup meski nanti harga sembako di pasar naik,” tuturnya.
Sementara itu, salah satu warteg yang sudah lama berdiri adalah warung makan Ibu HJ Hijah dari 1980 yang berada di Jalan Tentara Pelajar, Jakarta. Saat ini, usaha warteg itu diteruskan anak-anak dan keponakannya. Salah satunya Putri (27), keponakan Hijah.
Usaha warteg itu diturunkan dari neneknya. Hingga kini, warung bertahan karena memiliki pelanggan tetap. Resepnya selalu menjaga harga makanan stabil meskipun ada gejolak harga pangan di pasar. ”Prinsip warteg itu adalah menjaga pelanggan jangan sampai lari dengan cara tidak menaikkan harga, mengurangi porsi, dan tidak mengurangi porsi bumbu masakan. Jika harga bahan di pasar naik, kami berusaha tidak terpengaruh. Kami tidak rugi dan masih dapat untung,” katanya.
Dia mendapatkan keuntungan dari berbagai menu yang tersedia. Di Warteg HJ Hijah, menu bisa mencapai sekitar 30 jenis. Dari setiap menu, tarifnya bervariasi, mulai dari yang paling murah Rp 2.000 hingga paling mahal Rp 25.000. Sementara keuntungan yang diambil per menu mulai dari Rp 500 hingga Rp 5. 000 atau Rp 10.000.
Fahmi (25), pengemudi ojek, mengatakan, saat di luar rumah, dirinya lebih memilih warteg untuk makan sehari-hari karena harga yang murah dan variasi menu yang beragam. ”Tadi menu makan saya sayur, telur, orek tempe, dan es teh manis. Saya bayar Rp. 13.000. Untuk ukuran Jakarta, harga segini murah dan kenyang,” kata Fahmi.