Berdaya di Tanah Rawan Bencana
Kerakusan manusia mengeksploitasi alam membuat daya dukung lingkungan semakin lemah. Bencana pun terjadi di mana-mana. Padahal, leluhur melalui nilai-nilai adat telah mengingatkan, bencana hanya menunggu waktu jika manusia serakah memeras alam.
Kerakusan manusia mengeksploitasi alam membuat daya dukung lingkungan semakin lemah. Bencana pun terjadi di mana-mana. Padahal, leluhur melalui nilai-nilai adat telah mengingatkan, bencana hanya menunggu waktu jika manusia serakah memeras alam.
Kicau burung menemani langkah Tarmin (51) menuju kebunnya di Kampung Cireundeu, Kota Cimahi, Jawa Barat, Rabu pagi (1/5/2019). Angin bertiup pelan di antara rindang pepohonan. Udara di kampung adat itu masih segar.
Tarmin menapaki jalan menanjak. Kampung Cireundeu terletak di lembah bukit. Jadi, masyarakat bermukim dan berkebun di sekitar lereng.
Di lahan miring, kebun singkong dibuat bertingkat atau terasering. Tujuannya, mengurangi pengikisan tanah sehingga memperkecil risiko longsor.
Warga tidak menghabiskan seluruh kebunnya untuk menanam singkong. Mereka juga menanam pohon keras, seperti sengon, muncang, avokad, nangka, dan rambutan.
Sebagian besar pohon itu ditanam di ujung lereng. Ada juga yang ditanam di tengah kebun. Pola tanam seperti ini sudah berlangsung turun-temurun.
”Dari dahulu polanya sudah begitu. Selalu ada lahan yang disisakan untuk menanam pohon. Tujuannya agar tidak rawan longsor,” ujar Tarmin.
Tarmin menanam singkong di lahan seluas 2.800 meter. Kebunnya tersebar di enam lokasi. Meskipun sebagian kebun harus dimanfaatkan untuk menanam pohon, kebutuhan hidupnya tetap tercukupi.
Singkong merupakan makanan pokok warga adat Cireundeu. Jadi, kebutuhan pangan mereka dipenuhi dari hasil kebun. Selain dikonsumsi sendiri, singkong juga diolah menjadi beras singkong, keripik, peyeum (tapai), dan aci atau tapioka. Makanan olahan itu menjadi oleh-oleh bagi pengunjung.
Tarmin mengatakan mendapatkan sekitar Rp 2 juta per tiga bulan dari hasil panen kebunnya. Meskipun tak membuat hidup mewah, penghasilan itu cukup untuk membiayai pendidikan kedua anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. Anak pertamanya sudah meraih gelar sarjana dan menjadi guru honorer di sekolah dasar di kampung itu. Sementara anak keduanya masih kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Bandung.
Tarmin mengatakan, warga juga diperbolehkan memanen kayu di kebunnya. Pohon-pohon ditebang saat berumur 5-6 tahun. Namun, penghasilan utama mereka tetap dari berkebun singkong.
Baca Juga: Desa Harus Jadi Basis Penanggulangan Bencana
Saat memanen, pohon tidak ditebang sekaligus agar penahan tanah tidak hilang. Kebanyakan warga menanam sengon. Sebab, menurut Tarmin, pohon itu tidak mati setelah dipanen. Beberapa pekan setelah ditebang, akan muncul tunas baru dan terus tumbuh.
”Ketika ditebang, akarnya tetap berfungsi menahan air dan tanah. Sementara pohon nangka, avokad, dan rambutan kebanyakan hanya diambil buahnya,” ujarnya.
Hidup secukupnya lebih tenang daripada berlebihan, tetapi cemas karena tanah jadi rentan longsor akibat tidak ada penahan lereng.
Tarmin menyadari hasil panennya akan meningkat jika semua kebunnya ditanami singkong. Namun, dia tidak tergoda melakukan itu.
”Hidup secukupnya lebih tenang daripada berlebihan, tetapi cemas karena tanah jadi rentan longsor akibat tidak ada penahan lereng,” ujar pria lulusan SD itu.
Kampung Cireundeu terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan. Jaraknya sekitar 14 kilometer dari pusat Kota Bandung, ibu kota Jawa Barat. Dari kebunnya, Tarmin melihat dengan jelas hamparan kebun pisang di kaki bukit. Kebun itu adalah bekas longsoran sampah dari Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah pada Februari 2005. Longsor itu menewaskan lebih dari 150 orang. Meskipun korban bukan warga Kampung Cireundeu, Tarmin tetap tak bisa melupakan kejadian itu.
Banyaknya bencana hidrometeorologi, termasuk longsor, sepanjang 2019 membuat Tarmin ngeri. Salah satunya saat tebing setinggi 30 meter di Kelurahan Citeureup, Cimahi Utara, longsor dan menewaskan dua orang, Jumat (26/4/2019).
Tarmin mengetahui peristiwa itu dari berita di televisi. ”Saya lihat di televisi, tebing di atasnya minim pohon penahan. Makanya gampang longsor saat hujan lebat,” ujarnya.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, terjadi 1.586 kejadian bencana sepanjang 2019 (hingga April). Sebesar 98 persen merupakan bencana hidrometeorologi, seperti banjir, banjir bandang, dan longsor, sedangkan 2 persen bencana geologi. Bencana itu menyebabkan 438 jiwa meninggal dan hilang.
Jumlah bencana tersebut meningkat 7,16 persen dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu dengan 1.480 kejadian bencana. Sementara jumlah korban meninggal dan hilang meningkat 192 persen dibandingkan pada 2018, yaitu sejumlah 150 orang.
Meningkatnya kejadian bencana membuat Tarmin lebih waspada. Setiap ke kebun, dia selalu memantau kondisi tebing di sekitarnya.
Dia juga tidak sembarangan menebang pohon, terutama di musim hujan. Dia hanya menebang pohon yang sudah mati untuk dijadikan kayu bakar.
Seperti kampung adat di Jawa Barat pada umumnya, Kampung Cireundeu juga membagi tiga zona pemanfaatan lahan. Zona tersebut adalah leuweung larangan (hutan terlarang), leuweung tutupan (hutan reboisasi), dan leuweung baladahan (lahan pertanian).
Sesepuh Kampung Cireundeu, Emen Sunarya (83), mengatakan, ketiga zona itu mempunyai fungsi masing-masing untuk menjaga keseimbangan alam. Leuweung larangan menjadi sumber air sehingga disakralkan dan pohonnya tidak boleh ditebang. Lokasinya berada di Puncak Salam.
Leuweung tutupan adalah hutan yang kelestariannya harus dijaga. Pohonnya boleh ditebang, tetapi harus ditanam pohon baru sebagai penggantinya.
Sementara leuweung baladahan merupakan kawasan untuk bercocok tanam dan permukiman warga. Emen mengatakan, warga adat Cireundeu terdiri dari sekitar 60 kepala rumah tangga.
Kebun di kampung itu tidak berbatasan langsung dengan permukiman warga. Terdapat jarak sekitar 200 meter yang dimanfaatkan untuk kandang ternak dan pepohonan.
Hal itu diterapkan untuk mengantisipasi longsor. ”Sampai saat ini memang belum pernah terjadi longsor besar. Namun, harus tetap diantisipasi,” ujar Emen yang akrab disapa Abah Emen.
Menurut Abah Emen, pembagian pemanfaatan lahan menjadi benteng bagi kampung tersebut agar terhindar dari bencana. Oleh sebab itu, warga adat wajib menaatinya.
”Ini juga cara bersahabat dengan alam. Sebab, selain manusia, juga ada makhluk lain yang hidup di alam ini. Jadi, manusia tidak boleh seenaknya,” ujarnya.
Warga adat Kampung Cireundeu menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Sejak 1924, warga kampung itu menjadikan singkong sebagai makanan pokok. Bahkan, sebagian besar warga tidak memakan nasi.
Menurut Abah Emen, kebiasaan warga memakan singkong juga turut mendukung ketahanan lingkungan. Sebab, kebun singkong tidak memerlukan genangan air, seperti sawah, yang kerap memicu longsor di lahan miring.
”Mungkin para leluhur sudah mempertimbangkan itu. Sebab, tinggal di lahan berbukit juga membutuhkan cara bercocok tanam yang tepat,” ujarnya.
Akan tetapi, ketenangan warga Kampung Cireundeu sedikit terusik dalam beberapa bulan terakhir. Sebab, pada Februari lalu, air bercampur lumpur masuk ke kampung tersebut. Warga menduga hal itu dampak pembangunan perumahan yang terletak di atas Kampung Cireundeu.
”Aspek lingkungan jangan diabaikan. Lumpur itu kemungkinan dari tebing yang terkikis air hujan. Jika tebing penahan tidak kuat, dikhawatirkan longsor,” ujarnya.
Kepala Subbidang Mitigasi Gerakan Tanah Wilayah Barat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Sumaryono mengatakan, kearifan lokal menjadi salah satu mitigasi bencana di tengah masyarakat. Oleh karena itu, aturan adat perlu dijaga sebagai cara hidup berdampingan dengan alam.
”Hampir di setiap daerah mempunyai kearifan lokal untuk mengantisipasi bencana. Namun, terkadang, untuk mempertahankannya, warga terbentur dengan desakan kebutuhan ekonomi,” ujarnya.
Akan tetapi, di Kampung Cireundeu, warga adat tetap memegang falsafah leluhur. Masyarakat berdaya memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa harus serakah mengeksploitasi alam. Mereka menjaga alam agar alam juga menjaga mereka.