Presiden Tinjau Lokasi Bukit Soeharto dan Kabupaten Katingan di Kalimantan
JAKARTA, KOMPAS –Presiden Joko Widodo selama dua hari ini akan meninjau beberapa lokasi di Kalimantan yang kemungkinan bakal menjadi calon ibukota negara pengganti Jakarta. Lokasi yang pertama ditujuk pada hari pertama, Selasa (7/5/2019) siang ini adalah kawasan Bukit Soeharto, Kalimantan Timur. Besok Rabu (8/5/2019) besok adalah kawasan perkebunan di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, dan lokasi kawasan hutan dan perkebunan di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.
"Selasa siang ini, Presiden Jokowi ke Bukit Soeharto dulu. Sorenya terbang ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah," ujar wartawan Kompas Wawan H Prabowo yang mendahului rombongan kunjungan kerja Presiden Jokowi meninjau lokasi bakal calon ibukota pengganti ibukota Jakarta. Dari Balikpapan wartawan berangkat dengan jalan darat menuju kawasan Bukit Soeharto sejauh sekitar 38 kilometer dengan jarak tempuh sekitar 45 menit.
Presiden Jokowi sendiri saat ini baru saja mendarat di Bandara Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur, sebelum melanjutkan terbang dengan helikopter menuju kawasan Bukit Soeharto. Besok Rabu pagi, Presiden yang menginap di Palangkaraya akan terbang menuju kawasan perkebunan di Kabupaten Pulang Pisau, dan setelah itu baru meninjau lokasi di kawasan Kabupaten katingan. Jarak dari Palangkaraya ke Pulang Pisau sekitar 100 kilometer, dan jarak Palangkaraya ke Kabupaten Katingan sekitar 90 km.
Dari informasi yang diperoleh Kompas di Istana, Kabupaten Katingan merupakan salah satu opsi daerah dari sejumlah lokasi di Kalteng, yang dianggap kuat untuk menjadi bakal calon ibukota yang baru.
Tujuh Kriteria
Sementera itu, dari hasil diskusi di Kantor Staf Presiden, kemarin Senin, hingga kini, pemerintah belum mengumumkan daerah tujuan pemindahan ibukota negara dan pusat pemerintahan Republik Indonesia. Sejumlah kriteria ideal tentang daerah baru telah disusun. Salah satunya adalah bahwa daerah baru tersebut tak terlalu jauh dari pantai.
”Lokasinya memang kami harapkan tidak terlalu jauh dari pantai. Karena bagaimana pun Indonesia ini adalah negara maritim di mana konektivitas laut menjadi sangat penting,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang PS Brodjonegoro dalam paparannya pada diskusidi Kantor Staf Presiden, Jakarta, Senin lalu.
Hadir dalam kesempatan itu Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) Sugianto Sabran, Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor (Kalsel), Gubernur Sulawesi Barat (Sulbar) Ali Baal Masdar, dan Kepala Bidang Prasarana Wilayah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kalimantan Timur (Kaltim) Yusliando.
Dalam kajiannya, Bappenas menetapkan tujuh kriteria penentuan lokasi ibukota baru. Ketujuh kriteria itu salah satunya dekat dengan kota yang sudah berkembang untuk efisiensi investasi infrastruktur. Sehubungan dengan syarat ini, Bappenas menyebutkan ; ketersediaan pelabuhan sangat penting untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim melalui konektivitas tol laut antarpulau.
Kriteria lain adalah berada di tengah kepulauan Indonesia secara geografis dan tersedia lahan yang cukup yang dikuasai pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun Badan Usaha Milik Negara. Daerah baru juga harus bebas bencana serta memenuhi perimeter pertahanan dan keamanan. Syarat lain adalah tersedia sumber daya air bersih yang cukup, bebas pencemaran lingkungan. Adapun syarat dari aspek sosial adalah penduduk setempat memiliki budaya terbuka kepada pendatang dan potensi konflik sosial rendah.
”Kami sudah melakukan kajian lapangan beberapa saat yang lalu. Dan yang paling penting adalah kita ingin mencari lokasi yang paling ideal, yang terbaik, sehingga ini bukan persaingan antardaerah. Yang paling penting juga, wilayahnya adalah kota baru tapi lokasinya tidak terlalu jauh dari kota lama yang sudah fungsional. Kerja sama dengan pemda sangat penting,” kata Bambang.
Menurut Bambang, Presiden dalam rapat terbatas dua pekan silam menegaskan bahwa pemerintah tidak sekadar bicara tentang pemindahan ibukota negara melainkan tentang pembangunan wilayah. Oleh sebab itu, pemindahan ke luar Jawa menjadi pilihan yang diambil dari tiga alternatif. Dua alternatif yang tak dipilih adalah tetap di Jakarta dan bergeser ke daerah yang berjarak 50-70 kilometer dari Jakarta.
”Agenda besar kita bukan semata pada perpindahan ibukota tetapi pada pengembangan wilayah, khususnya mengurangi kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa, dan antara Jabodetabek dan daerah lainnya di Indonesia,” kata Bambang.
Agenda besar kita bukan semata pada perpindahan ibukota tetapi pada pengembangan wilayah, khususnya mengurangi kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa, dan antara Jabodetabek dan daerah lainnya di Indonesia
Pada kesempatan yang sama, perwakilan dari empat provinsi memaparkan karakter dan potensi daerahnya masing-masing yang mereka anggap memenuhi kriteria sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan baru.
Baca juga : Ibu Kota Pindah, Kebutuhan Biaya Capai Rp 466 Triliun
Sugianto Sabran mengusulkan tiga lokasi di Provinsi Kalimantan Tengah. Lokasinya meliputi Kota Palangkaraya dengan ketersediaan lahan seluas 66.000 hektar (ha), Kabupaten Katingan dengan keterediaan lahan seluas 120.000 ha, dan Kabupaten Gunung Emas dengan ketersediaan lahan seluas 121.000 ha.
”Kami bahkan berani menyiapkan 300.000-500.000 hektar. Kesiapan lahan ini sangat cukup. Meski yang dibutuhkan 40.000 hektar, tetapi kami siap dengan lahan yang lebih luas untuk mengantisipasi perkembangan wilayah,” kata Sugianto.
Kalteng, menurut Sugianto, juga memiliki garis pantai sepanjang 750 kilometer yang terbentang di tujuh kabupaten. Kalteng juga dibelah oleh 11 daerah aliran sungai. Dengan demikian, baku air bersih sangat cukup.
Sahbirin Noor tak kalah berpromosi. Provinsi Kalimantan Selatan, menurut dia, juga memiliki karakter dan potensi sesuai kriteria Bappenas. Dari aspek kebencanaan, Kalsel termasuk aman. Bebatuan yang sudah tua menunjukkan bahwa secara geologis provinsi tersebut sudah mapan alias tidak rawan gempa bumi.
”Ada di ALKI 1 dan ALKI 2. Kalsel juga punya daerah pesisir yang bisa dijadikan pelabuhan internasional. Kedalaman lautnya memenuhi persyaratan untuk sandar kapal-kapal besar,” kata Sahbirin.
Bakal calon lokasi lain ibukota
Pernyataan kurang lebih sama juga disampaikan Ali untuk Provinsi Sulbar dan Yusliando untuk Provinsi Kaltim. Masing-masing meyakinkan daerahnya memenuhi kriteria untuk dijadikan lokasi ibukuta negara dan pusat pemerintahan baru, menggantikan Jakarta.
Perpindahan ibukota dan pusat pemerintah dari Jakarta sejatinya telah diwacanakan Presiden ke-1 Indonesia Soekarno, bahkan sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda. Pada zaman Presiden Soekarno di 1957, wacana lokasi barunya adalah Palangkaraya di Kalimantan Tengah.
Pada zaman Presiden Soeharto di 1980, wacana lokasi barunya adalah Jonggol di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di 2010, wacananya adalah Jonggol dan Palangkaraya. Sejarah menunjukkan, semua wacana tersebut tinggal wacana.
Lalu pada 2015, Presiden Joko Widodo kembali menghidupkan wacana pemindahan ibukota negara dengan meminta Bappenas untuk membuat kajiannya. Pada akhir 2017, Bappenas telah merampungkan kajian.
Namun mengingat pemindahan ibukota dan pusat pemerintahan adalah megaproyek yang menyangkut keputusan politik besar, Presiden tindak langsung menindaklanjuti kajian tersebut karena pada 17 April 2019 bangsa Indonesia menggelar pemilihan umum.
Namun dua minggu pasca perhelatan politik tersebut, Presiden langsung memimpin rapat terbatas membahas tindak lanjut rencana pemindahan ibukota negara di Kantor Presiden. Salah satu keputusannya adalah ibukota dan pusat pemerintahan Republik Indonesia dipindah ke luar Jawa.
Dalam kajiannya, Bappenas membuat dua skenario. Skenario pertama adalah ibukota negara baru didesain untuk menampung seluruh aparatur sipil negara (ASN), TNI, dan Polsi, berikut keluarganya sebanyak 1,5 juta jiwa. Ini membutuhkan lahan seluas 40.000 ha. Nilai investasi yang dibutuhkan Rp 446 triliun.
Skenario kedua adalah ibukota negara baru didesain untuk menampung ASN setelah melalui perampingan, TNI, dan Polri berikut keluarganya sebanya 870.000 jiwa. Ini membutuhkan lahan seluas 30.000 ha. Nilai investasi yang dibutuhkan Rp 322 triliun.
Adapun skema pembiayaanya kurang lebih 50 persen APBN dan 50 persen di luar APBN. ”Tentunya nanti diperlukan dukungan politik yang kuat dalam bentuk undang-undang daerah khusus ibukota. Yang nanti, tentunya kita harapakan akan didukung oleh politik melalui parlemen. Dan tentunya dalam pelaksanaannya diperlukan organisasi megaproyek yang kohesif dan solid sekaligus kita bicara mengenai perlunya penganggaran yang baik dan juga meninimalkan ketergantungan terhadap APBN,” kata Bambang.