Tidak Adil Pemerintah Intervensi Struktur Biaya Maskapai
Apabila pelaku usaha lain tidak menurunkan struktur biaya, maka upaya maskapai menekan harga tiket akan percuma. Pelaku usaha tersebut, antara lain, perusahaan navigasi, pengelola banda udara, penyedia bahan bakar, asuransi, hingga perusahaan penyewaan pesawat.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah melalui Kementerian Perhubungan menekan harga tiket penerbangan melalui intervensi hendaknya jangan semata-mata menyasar maskapai. Bagaimanapun, struktur biaya maskapai tetap bergantung pada tarif dari pelaku usaha lainnya yang juga menikmati keuntungan dalam ekosistem bisnis jasa transportasi udara.
Apabila pelaku usaha lain tidak menurunkan struktur biaya, upaya maskapai menekan harga tiket akan percuma. Pelaku usaha tersebut antara lain perusahaan navigasi, pengelola banda udara, penyedia bahan bakar, asuransi, dan perusahaan penyewaan pesawat (lessor).
Pengamat penerbangan dari Ikatan Alumni Jerman, Henry Tedjadharma, memaparkan, ekosistem penerbangan terdiri dari perusahaan maskapai, penumpang, pengelola bandara, perusahaan navigasi, perusahaan lessor, perusahaan penyedia bahan bakar, perusahaan jasa ground handling and supporting, dan asuransi.
”Ada sembilan pihak dalam ekosistem penerbangan dan berpengaruh secara simultan pada pembentukan harga tiket pesawat di tingkat konsumen. Tidak adil kalau pemerintah hanya mengintervensi struktur biaya dari maskapai saja,” tuturnya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (7/5/2019).
Dia berpendapat, pemerintah mesti meminta pelaku usaha sektor lain yang ada di ekosistem penerbangan untuk mengevaluasi dan menurunkan struktur biaya. Terutama, pelaku usaha dari badan usaha milik negara (BUMN), yakni navigasi, pengelola bandara, dan penyedia bahan bakar.
Adapun penerapan evaluasi dan penurunan struktur biaya dari pelaku usaha ketiga sektor tersebut, menurut Henry, harus lebih cepat dibandingkan maskapai. Tujuannya, maskapai dapat mengevaluasi struktur biayanya dan mengurangi komponen-komponen yang tidak berimbas pada keselamatan penerbangan.
Bisnis musiman
Selain itu, maskapai juga tidak bisa sendirian secara tunggal menurunkan biaya. Henry mengatakan, maskapai memiliki karakteristik bisnis musiman dari segi permintaan sehingga ada periode puncak (peak season) dan periode landai (low season). Padahal, secara maskapai tetap harus membayar biaya asuransi, operasional, dan layanan bandara secara konstan dan konsisten. Imbasnya, kerugian saat periode landai dikompensasi oleh keuntungan saat periode puncak.
Adapun saat ini harga tiket pesawat diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 20 Tahun 2019 tentang Tata Cara dan Formulasi Perhitungan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri dan berlaku sejak 28 Maret 2019. Aturan ini diikuti Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 72 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
Dalam Permenhub Nomor 20 Tahun 2019 Pasal 4 Ayat 3, penerapan tarif 100 persen dari tarif maksimum berlaku bagi maskapai yang memberikan pelayanan berstandar maksimum. Bagi yang memberikan pelayanan berstandar menengah dan minimum, secara berturut-turut penerapan tarif yang berlaku maksimal sebesar 90 persen dan 85 persen.
Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Tengku Burhanudin menyatakan, aturan tarif batas atas yang berlaku saat ini tergolong sehat pada 2014 dan perlu dikaji kembali menimbang kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. ”Operasional maskapai sifatnya berteknologi tinggi serta memprioritaskan keselamatan dan keamanan dalam penerbangan. Hal ini mestinya juga menjadi pertimbangan,” tuturnya saat dihubungi, Selasa.
Kenaikan biaya
Selain itu, berdasarkan data yang dihimpun INACA, biaya yang dibayarkan ke bandara naik 30 persen sejak pertengahan 2018 hingga saat ini. Dalam rentang waktu yang sama, biaya navigasi penerbangan juga meningkat 130 persen.
Sebanyak 60 persen biaya maskapai juga bergantung pada pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, misalnya asuransi, bahan bakar avtur untuk pesawat, sewa pesawat, dan perawatan pesawat. Burhanudin mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah turut memukul struktur biaya maskapai.
Padahal, Permenhub Nomor 20 Tahun 2019 juga menyatakan, perhitungan tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal domestik berdasarkan pada komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi, dan biaya tuslah atau tambahan (surcharge). Komponen biaya tuslah berkaitan dengan fluktuasi harga bahan bakar, biaya yang ditanggung perusahaan angkutan udara pada saat hari raya, serta biaya yang ditanggungkan pada penumpang sebagai dampak adanya pelayanan tambahan yang diberikan badan usaha angkutan udara.
Sebelumnya, rapat koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian meminta Kementerian Perhubungan dalam sepekan mengevaluasi dan menurunkan tarif batas atas untuk tiket pesawat, Senin, dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini M Soemarno hadir dalam rapat itu.
Garuda Indonesia menjadi penentu harga tiket pesawat yang berlaku di pasar. Saat ditemui setelah rapat, Rini mengatakan, pihaknya akan mengevaluasi pos-pos biaya PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk untuk mengikuti aturan yang nantinya berlaku.
Secara terpisah, Direktur Utama AirAsia Indonesia Dendy Kurniawan mengatakan, pihaknya akan mengikuti aturan tarif yang berlaku di Indonesia. ”Tarif batas atas bukan menjadi isu sorotan kami,” ujarnya.