Alih fungsi lahan kawasan hutan menjadi perkebunan atau peruntukan lain jadi salah satu penyebab kian berkurangnya habitat satwa dilindungi. Hal ini berdampak pada semakin besarnya risiko konflik antara manusia dan satwa.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Alih fungsi lahan kawasan hutan menjadi perkebunan atau peruntukan lain jadi salah satu penyebab kian berkurangnya habitat satwa dilindungi. Hal ini berdampak pada semakin besarnya risiko konflik antara manusia dan satwa.
Beragam upaya terus dilakukan mulai dengan membangun koridor satwa dan membangun konsep kerja sama dengan pihak terkait dengan membangun ekosistem esensial.
Peneliti dari Lembaga Hutan Kita Institute (HaKI), Benny Hidayat, Rabu (8/5/2019) di Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), mengatakan, keberadaan satwa dilindungi semakin terancam karena habitat mereka yang terus tergerus alih fungsi lahan. Banyak kawasan yang dulunya hutan berubah fungsi menjadi kawasan perkebunan, permukiman, dan tambang.
”Hal ini berdampak pada semakin sempitnya habitat satwa yang kemudian berujung pada menurunnya populasi,” ucapnya.
Di Sumsel ada beberapa satwa dilindungi yang pernah ditemukan, seperti gajah sumatera, harimau sumatera, tapir, sejumlah spesies burung, dan buaya senyulong. Hanya saja, sampai saat ini tidak ada angka pasti mengenai populasi mereka.
”Terus terang, belum ada data pasti mengenai luasan habitat dan populasi satwa dilindungi di Sumsel,” ujarnya.
Benny mengemukakan, khusus untuk gajah sumatera, ada perkiraan populasi di Sumsel saat ini berkisar 150-200 ekor yang tersebar di Kabupaten Muara Enim, Lahat, Banyuasin, Ogan Komering Ulu Selatan, Penukal Abab Lamatang Ilir, Ogan Komering Ilir, dan Musi Rawas. Jumlah ini berkurang jika dibandingkan dengan tahun 2005 yang lebih dari 200 ekor.
Semakin menyusutnya populasi gajah ini tidak lepas dari semakin sempitnya habitat gajah di Sumsel karena alih fungsi lahan. ”Hal ini terlihat dari semakin luasnya pembangunan lahan perkebunan terutama untuk kelapa sawit dan karet,” ucap Benny.
Kasus yang saat ini sedang mencuat adalah rencana alih fungsi lahan untuk pembangunan jalan tambang di dalam kawasan hutan harapan. Keberadaan ini menjadi salah satu ancaman karena keberadaan jalan tersebut dapat memutus koridor jelajah satwa di kawasan tersebut, seperti gajah, harimau, dan sejumlah spesies burung.
Keberadaan jalan tambang ini juga akan mempermudah akses masyarakat masuk ke kawasan hutan untuk menebang pohon, juga berburu satwa.
Semakin menyusutnya populasi gajah ini tidak lepas dari semakin sempitnya habitat gajah di Sumsel karena alih fungsi lahan.
Belum lagi masalah sengketa lahan di Kabupaten Lahat yang membuat delapan gajah terusir dari habitatnya. Padahal, dalam kondisi alam liar, gajah memiliki daya tempuh jelajah hingga 100 km per hari. Dengan semakin sempitnya habitat gajah, tentu kehidupan mereka bisa semakin terancam.
Untuk itu, lanjut Benny, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel sebagai perwakilan pemerintah untuk melestarikan satwa dilindungi harus memiliki program yang jelas dalam upaya perlindungan satwa. Misalnya dengan membangun koridor satwa dan lembaga rehabilitasi satwa untuk memulihkan kondisi satwa yang terjebak dalam konflik dengan manusia.
Untuk itu, diperlukan database yang kuat terkait keberadaan satwa dengan mengadakan inventarisasi satwa dilindungi agar upaya perlindungan satwa bisa lebih fokus. Sejumlah lembaga pencinta lingkungan, termasuk HaKI, juga terus berupaya melakukan hal ini dengan memasang kamera pemantau di sejumlah kawasan yang diduga menjadi tempat jelajah gajah.
”Dalam waktu dekat, kami akan memasang kamera pantau di kawasan Sembilang untuk memastikan adanya gajah di sana setelah pada tahun 1990 pernah dikatakan hilang,” katanya.
Kepala BKSDA Sumsel Genman Suhefti Hasibuan mengatakan, pemerintah terus berupaya untuk melindungi satwa yang terancam punah. Saat ini yang dilakukan adalah membangun koridor satwa dengan konsep ekosistem esensial. Konsep ini mengedepankan integrasi antara pemegang konsesi untuk memantau pergerakan satwa dilindungi, termasuk upaya pelestariannya.
Menurut Genman, apabila koridor satwa terputus, dikhawatirkan akan berdampak pada fragmentasi satwa (pengelompokan satwa). Apabila itu terjadi, akan berpengaruh pada kualitas keragaman genetik yang akan semakin rendah karena terbatasnya ruang gerak. ”Kondisi ini tentu akan berpengaruh pada populasi satwa itu sendiri,” ujarnya.
Genman menerangkan, untuk gajah sekitar 70 persen wilayah jelajahnya ada di luar kawasan konservasi. Untuk itu, kerja sama dengan perusahaan atau pihak pemegang konsesi perlu ditingkatkan. Dalam hal ini, pemangku kepentingan yang memiliki izin konsesi akan melaporkan kepada BKSDA jika terpantau adanya satwa dilindungi yang melintas di kawasannya.
Apabila kawasan itu benar merupakan kawasan jelajah satwa, akan didorong agar kawasan tersebut tetap dilestarikan keberadaannya. Konsep ekosistem esensial dan koridor satwa tengah diupayakan di kawasan Dangku-Meranti. ”Dengan konsep ini, habitat satwa dilindungi bisa terjamin,” katanya.