Kalangan aktivis konservasi satwa menilai penyelamatan habitat telah sangat mendesak. Tanpa itu kehancuran lingkungan bakal semakin menambah kasus kepunahan satwa dilindungi.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS—Kalangan aktivis konservasi satwa menilai penyelamatan habitat telah sangat mendesak. Tanpa itu kehancuran lingkungan bakal semakin menambah kasus kepunahan satwa dilindungi.
Sejak 2015, harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) telah dinyatakan punah pada enam 33 kantong habitat. Berdasarkan data Forum Harimau Kita (FHK), dari 19 kantong habitat yang belum terkelola, kepunahan sudah terjadi di lanskap Maninjau, Bukit Betabuh-Bukit Sosah, Bukit Kabah, Asahan, Tanah Karo, dan Parmonangan. Kepunahan harimau pada enam kantong tersebut mengancam pula 13 kantong lainnya yang hingga kini belum mendapatkan intervensi konservasi dari lembaga mana pun.
Sementara itu, 14 kantong habitat besar sudah memperoleh intervensi konservasi, namun bukan berarti tanpa ancaman. “Dengan upaya konservasi pun kepunahan masih membayangi, apalagi jika tanpa intervensi. Dipastikan bakal semakin cepat kepunahan itu akan terjadi,” kata Yoan Dinata dari FHK.
Persoalan serupa dialami gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus). Data Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) menyebutkan populasi gajah dalam 10 tahun terakhir menyusut signifikan.
Dengan upaya konservasi pun kepunahan masih membayangi, apalagi jika tanpa intervensi. Dipastikan bakal semakin cepat kepunahan itu akan terjadi
Sebelumnya, populasinya diketahui masih berkisar 2.600 individu. Sejak 2017, populasi tersisa tak sampai 1.500 individu. “Kematian gajah terutama disebabkan oleh perburuan gelap dan konflik dengan manusia,” ujar Krismanko Padang, Ketua FKGI.
Dalam rapat perumusan Strategi Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera (SRAK Harimau) dan perumusan SRAK Gajah untuk 10 tahun ke depan, di Jambi, pekan lalu, para pemangku kepentingan menyadari pembangunan yang berjalan pesat hingga pelosok negeri, termasuk di Sumatera, telah mempersempit ruang hidup satwa-satwa dilindungi. Hutan dan satwa yang menjadi komponen kunci penjaga keseimbangan alam cenderung terabaikan. Lamban diperhitungkan sebagai bagian yang harus dirawat.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indra Exploitasia mengatakan perlu upaya lebih untuk melindungi satwa-satwa itu pada habitat yang tersisa. Namun, upaya itu harus berjalan terpadu. Perumusan SRAK Harimau dan SRAK Gajah diharapkan efektif menyelamatkan habitat dan keberlangsung hidup spesies terkait.
Perumusan SRAK Gajah, menurut Krismanko, ditekankan pada upaya pengelolaan populasi secara aktif dengan melihat kenyataan bahwa 80 persen gajah menjelajah di luar kawasan hutan. Pengelolaan habitat dapat dilakukan misalnya dengan membentuk Kawasan Ekosistem Esensial (KEE).
Peran pemerintah daerah dituntut lebih kuat memandu pengelolaan habitat. Pemetaan populasi dan habitat diharapkan meluas, sehingga menjadi rujukan pemerintah dalam menyusun rencana tata ruang wilayah. Susunan SRAK ditargetkan selesai akhir bulan ini, untuk selanjutnya dibahas dalam konsultasi publik.
Sementara itu, perumusan SRAK Harimau menempatkan prioritas penurunan hingga 50 persen atas laju penyusutan habitat dari 1,42 persen per tahun. Para pihak terkait juga menargetkan menurunnya resiko kepunahan akibat habitat terisolasi. Caranya dengan membangun konektivitas antar blok habitat.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, Rahmad Saleh menyatakan penyusunan SRAK satwa-satwa itu perlu segera selesai. Jambi sendiri memiliki banyak kantong jelajah baik harimau maupun gajah sumatera. “Pembuatan strategi perlu segera diselesaikan mengingat ancaman terhadap harimau semakin tinggi,” katanya.