Peran KPK Harus Diperkuat, Agus Kapok Calonkan Diri Lagi
Tinggal tujuh bulan lagi, periode pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diketuai Agus Rahardjo akan usai. Banyak lika-liku yang dialami Agus bersama empat pimpinan lain untuk membawa negeri ini bersih dari korupsi, entah itu masalah internal atau pun eksternal.
Masalah internal mulai ramai di publik setelah wadah pegawai KPK mengeluarkan petisi terkait adanya kebocoran dalam pelaksanaan penyelidikan, paling tidak pada setahun belakangan ini. Hambatan disebut datang dari Kedeputian Penindakan yang dikepalai Inspektur Jenderal (Pol) Firli.
Sedangkan, masalah eksternal selalu datang dari DPR yang berupaya melemahkan kewenangan KPK lewat revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kepada harian Kompas, Selasa (7/5/2019) di gedung KPK, Jakarta,Agus menceritakan detil terkait masalah-masalah yang kerap mengganggu kerja KPK tersebut. Agus pun mengungkapkan harapan besarnya terhadap presiden terpilih nanti supaya peran KPK semakin diperkuat. Bahkan, kalau bisa KPK dipercaya sebagai lembaga satu-satunya yang menangani korupsi.
Namun, di samping itu semua, setelah segala lika-liku yang telah dilalui selama masa jabatannya, Agus ternyata mengakui diri harus setop untuk mencalonkan diri lagi menjadi pimpinan KPK.
Berikut wawancara lengkap harian Kompas dengan Agus Rahardjo.
Apa yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pimpinan KPK ke depan?
Yang saya lihat di KPK begini, kalau kita mau bagus, porsi antara pencegahan dan penindakan harus berubah. Kalau kita mau meniru ICAC (Independent Commision Againts Corruption) Hongkong, CPAP (Corrupt Practices Investigation Bureau) Singapura, MAC (Malaysia Anti-Corruption Commision), yang harus paling besar itu di penindakan. ICAC Hongkong itu lebih dari 70 persen di penindakan.
Di (KPK) kita itu, waktu saya masuk sudah salah. Dari 1.400 orang itu, di penindakan hanya sekitar 300 orang. Salah.
Bagaimana Anda sebagai pimpinan menyikapi masalah itu?
Kami coba pengalihtugasan, mutasi, dan promosi. Akhirnya, kan, kami ambil langkah yang promosi dan mutasi. Tetapi, yang ada malah kita kena PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).
Padahal, itu supaya kita bisa mengangkat perpindahan dari penyelidik ke penyidik yang smooth (halus). Di polisi, kan, antara penyelidik dan penyidik tak ada bedanya. Kenapa kalau saya dorong penyelidik menjadi penyidik malah jadi geger (heboh)? Kecuali nanti misal dari pencegahan ke penindakan itu perlu ada tes, oke.
Geger gimana, Pak?
Geger itu karena pada waktu saya melakukan (promosi dan mutsasi) ini ada rapat WP (Wadah Pegawai KPK) yang saya juga tidak tahu. Jadi, pandangan polisi itu seolah-olah pimpinan menyokong WP. Ini salah banget.
Peraturan pimpinan mengenai rotasi, mutasi, promosi itu malah diprotes oleh polisi-polisi dan orang internal.
Bahkan, yang diajukan ke PTUN itu sampai sekarang belum selesai. Mereka masih banding. Makanya saya kemarin ngomong gini, yasudahlah kalau mereka masih banding, kembalikan saja ke tempat asalnya. Kembalikan saja.
Lalu, bagaimana kondisinya sekarang?
Saya sudah wanti-wanti (memperingatkan), IM (Indonesia Memanggil) Angkatan 12, sebesar 80 persen harus ke penindakan. Jadi harus sudah bergeser.
Di samping itu, ada anak-anak yang sudah mulai S2 (program pendidikan magister) di luar negeri, belajar lebih spesifik. Kita, kan, memang ingin penyelidik dan penyidik itu punya spesialisasi, seperti pasar modal, kejahatan perbankan, money laundering, sumber daya alam, kan, bagus dan harus dipersiapkan. Tidak seperti hari ini, yang umum dan generalis. Wong, kejahatan saja semakin canggih kok.
Kalau dilihat dari komposisi penyelidik dan penyidik sekarang, gimana?
Jadi, kalau dihitung-hitung, pas saya masuk, kan, dari 1.400 orang hanya sekitar 300 orang di penindakan. Kalau sekarang mungkin di penindakan ada 600 orang dan di pencegahan masih lebih dari 1.000 orang. Jadi, komposisinya masih belum ideal.
Masalah lain terkait kebocoran informasi menyangkut Kedeputian Penindakan KPK. Dengan situasi sekarang, apa yang sudah dilakukan oleh pimpinan?
Pimpinan itu paling tidak gini, sekarang keputusannya harus didasari fakta yang lebih fair (adil). Oleh karena itu, PIPM (Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat) sekarang bekerja. Abis dari PIPM, kemudian baru diputuskan. Keputusan, kan, tergantung dari PIPM karena temuan sebelumnya, kan, juga sudah ada.
Apa temuan sebelumnya?
Firli (Deputi Penindakan KPK), kan, waktu itu oleh PIPM dianggap telah melakukan pelanggaran berat walaupun kemudian di pimpinan terjadi perdebatan.
Yang kasus bertemu dengan TGB (Tuan Guru Bajang/mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat) dan Wakil Ketua BPK.
Waktu pertemuan dengan TGB itu memang ke sananya (Lombok) seizin dan sepengetahuan pimpinan, ada sertijab (serah terima jabatan) di Lombok. Kalau kemudian sertijab, paginya diundang oleh danrem (komandan resort militer) main tenis, lalu TGB datang, itu memang debatable (belum pasti). Dia tidak menciptakan pertemuan kok.
Yang pertemuan dengan Wakil Ketua BPK, bagaimana ceritanya?
Persepsinya Firli salah, dikiranya (orang) itu saksi ahli. Ternyata mampir kantornya dia (Firli).
Lalu, yang terakhir sedang diklarifikasi adalah masalah kebocoran informasi itu?
Iya.
Apakah tudingan terkait kebocoran informasi itu memang langsung ke Firli?
Isi surat petisi (WP KPK), kan, begitu. Itu yang kemudian sedang diklarifikasi PIPM.
Bagaimana tanggapan bapak sebagai pimpinan terkait kebocoran informasi itu?
Gini, kebocoran itu nyata ada. Tetapi, kalau anda tanya, siapa pembocornya, saya terus terang masih ragu-ragu. Kami masih tanda tanya siapa yang membocorkan.
Persoalannnya, kenapa belum ketahuan siapa yang membocorkan padahal terasa bocor?
Karena kemungkinannya masih banyak. Belum tahu sekarang itu siapa pelakunya. Jadi, orang masih menduga-duga.
Yang selalu dituding, kan, polisi, tetapi, kan, polisinya banyak di sini, lebih dari 80 orang. Apa betul Pak Deputi? Apa bukan direkturnya? Apa bukan bagian dari penyidik sendiri?
Isu mengenai kebocoran itu, kan, mulai saya masuk, sudah banyak. Sekarang penyidik itu keluar-masuk dari ruang pemeriksaan bisa bawa USB (universal serial bus) dan laptopnya sendiri. Itu gimana mengontrol dokumennya tak keluar? Sulit.
Coba kalau penyidik itu keluar dari ruang pemeriksaan dan masuk tak bawa apa-apa. Semua disimpan di server-nya kantor. Inginnya saya begitu supaya siapapun orang akses server akan ketahuan. Hanya saja, menerapkan itu sulit.
Lalu, gimana KPK mengatasi kebocoran ini?
Harus sistem. Jadi tak boleh hanya sekadar komitmen. Orang pencetakan BAP (berita acara pemeriksaan) itu harus jelas BAP untuk siapa, misalkan, nanti di dalam kertas itu juga ada kode ini dicetak tanggal berapa, siapa yang mencetak. Sistem, harus sistem.
Jadi, kalau pun ada yang membocorkan nanti hanya oral. Dia cerita, tetapi bukan dokumen.
Selain itu, dalam eskpose perkara juga. Saya misal ngomong, ekspose penanganan perkara itu tak boleh terlalu banyak orang. Ekspose itu cukup kepala satuan tugasnya dengan 1 sampai 2 orang, dengan direktur terkait. Itu nanti yang membocorkan, kita akan tahu. Karena kalau bocor tahu dong hanya 3 orang. Lah, sekarang bisa sampai 30 orang.
Terkait sistem itu, kapan bisa diimplementasikan?
Saya sudah perintahkan bagian TI (Teknologi Informasi) untuk laksanakan, tetapi sampai sekarang belum terlaksana. Tak tahu kenapa, nanti saya tanyakan.
Dengan kondisi seperti ini, apakah bapak yakin masalah internal bisa diselesaikan?
Kita mau pergi pasti diselesaikan. Sebelum kita pergi jauhlah, pasti diselesaikan.
Masalah kebocoran, perpecahan internal KPK, ini, kan, sudah menyebar. Pak Agus sendiri sebentar lagi sudah akan mengakhiri masa jabatan. Apakah bapak mau mencalonkan diri lagi sebagai pimpinan?
Enggak.
Serius Pak?
Serius, kapok aku.
Kapoknya kenapa? Apakah karena bapak ingin ada waktu lebih banyak dengan keluarga?
Enggak, enggak, bukan itu. Kalau keluarga sih relatif anak saya sudah keluar rumah semua. Bukan itu.
Lalu, apa alasan yang buat Bapak kapok?
Memperbaiki KPK ini perlu orang yang lebih berani daripada saya. Terus, (pimpinan KPK) juga harus tahu mengenai mengelola SDM secara matang betul karena yang perlu di-reform sebetulnya SDM KPK. Tetapi, yang lebih penting lagi juga harus ada komitmen dari pemerintah yang cukup kuat. Jadi, komitmen itu ya bisa sampai kemudian KPK kalau mau berubah caranya gimana, itu harus didefinisikan betul. Kalau perlu, tidak perlu yang nanganin korupsi itu terlalu banyak lembaga.
Jadi, kejaksaan dan kepolisian tak usah menangani perkara korupsi lagi?
Iya.
Tetapi, apakah KPK sanggup?
Ya diperbesar (kewenangannya) pasti. Kewenangannya harus ditambah. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juga diperkuat. Korupsinya juga jangan hanya untuk public sector tetapi juga private sector.
Berati ini butuh kepala negara yang tegas?
Iya. Dan juga, selalu kalau saya mau ngomong itu, takut minta perlindungan. Tetapi kekebalan itu nyatanya perlu. Kekebalan selama menjabat itu perlu, kecuali dia melakukan tindak pidana. Kan, komisioner Ombudsman dan KY (Komisi Yudisial) juga ada kekebalan. KPK yang tanggung jawab dan risikonya lebih besar seharusnya juga ada kekebalan itu. Tetapi, KPK ini memang sangat tergantung presidennya, mau kuat atau tidak.