Wajah Baru Kampung ”Tempe” Krajan Sae yang Menghijau
Dusun Beji Sae, Desa Beji, di Kecamatan Junrejo, Batu, mengubah kesan kumuh menjadi bersih. Kampung penghasil tempe ini kini menjadi destinasi baru di Batu.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
Mendung masih enggan pergi dari atas Dusun Beji Sae, Desa Beji, Kecamatan Junrejo, Batu, Jawa Timur, Selasa (30/4/2019) pagi. Kecuali sekelompok orang yang tengah membongkar tenda seusai hajatan, yang menutup salah satu ruas jalan, tak terlihat aktivitas mencolok warga lainnya.
Mereka beraktivitas seperti biasa. Sebagian ada yang bersiap menuju lahan, merawat anak, membersihkan rumah, hingga bersiap menuju lokasi tempat kerja. Sementara itu, sekitar 200 meter di sisi utara, kendaraan wisatawan dari arah Surabaya atau Malang menuju Batu telah merayap pelan menyusuri Jalan Ir Soekarno.
Sepanjang mata memandang, ada pemandangan baru di kampung yang memiliki banyak perajin tempe skala rumah tangga itu. Cat-cat rumah yang sebelumnya warna-warni itu kini telah berubah dominan hijau. Di sepanjang jalan kecil menuju Beji Sae, beberapa papan bertuliskan ”Kampung Hijau” makin mempertegas identitas baru dusun yang berada sekitar 15 kilometer dari Kota Malang itu.
Ya, sejak 6 April lalu, Beji Sae memang menjadi kampung tematik dengan sebutan ”Kampung Hijau” Tempenosaurus. Peresmiannya dilakukan langsung oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Kota Batu, salah satu perguruan tinggi setempat, pelaku wisata, dan tentu saja produsen cat.
”Kesan yang muncul tambah bersih setelah catnya disamakan menjadi hijau,” ujar Kabul (52), salah satu warga saat ditanya perkembangan yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir di Krajan Sae. Kabul merupakan peternak sapi. Di sela-sela beternak, ia menggeluti persewaan selep gabah keliling.
Diakui Kabul setelah menjadi kampung hijau cukup banyak wisatawan, khususnya anak muda dari luar daerah, yang datang ke dusunnya. Namun, mereka hanya sekadar melihat-lihat dan berfoto ria. Kebetulan, posisi Krajan Sae berada persis di belakang Jatim Park 3 sehingga tidak terlalu sulit dijangkau oleh orang dari luar daerah.
Pendapat senada mengenai makin bersihnya suasana lingkungan dibenarkan oleh Mistar (60), salah satu perajin tempe di wilayah RT 006 RW 002. Suasana ini, menurut dia, membuat semangat warga untuk menjalani kehidupan kian bertambah.
”Tambah ramai. Makin rijik (bersih),” ucapnya. Mistar telah menjadi perajin tempe sejak tahun 1990. Setiap hari ia membutuhkan 60 kilogram kedelai dengan pangsa pasar sekitar Batu.
Menurut Mistar, jumlah perajin tempe di desanya cukup banyak. Untuk satu wilayah RT, setidaknya ada 10 perajin. Sementara untuk satu desa jumlahnya lebih dari 100 perajin dengan kebutuhan bahan baku mencapai 5 ton kedelai per hari. Perajin tempe di tempat itu disebut-sebut sudah ada sejak tahun 1960-an atau lebih dulu hadir dibanding sentra tempe Sanan, di Kelurahan Purwantoro di Kota Malang.
Mistar mengatakan, sejak ditetapkan sebagai Kampung Hijau, perajin tempe di daerahnya berencana mengoptimalkan produksi tempe dan turunannya. Sejauh ini, sebagian besar perajin masih membuat tempe mentah. Baru sebagian kecil yang diolah menjadi makanan jadi atau produk lain. Padahal produk turunan tempe bisa menjadi oleh-oleh bagi wisatawan yang datang ke Batu.
Nama Tempenosaurus sendiri merupakan perpaduan dari dinosaurus dan tempe. Dua hal itu cukup erat kaitannya dengan Desa Beji. Pertama, dinosaurus menjadi maskot dari Jatim Park 3. Sementara Beji merupakan sentra tempe di Batu.
Inisiatif menjadikan Krajan Sae sebagai Kampung Hijau disebut-sebut bermula dari pihak Jatim Park. Adalah perusahaan penyedia cat PT Inti Daya Guna Aneka Warna (Indana) yang mengonsep kampung itu jadi berwarna hijau lengkap dengan sejumlah mural di dalamnya.
Adapun pembuatan replika dinosaurus dari tempe—saat launching dan memeroleh rekor Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri) sebagai replika dinosaurus terbesar berukuran 7 meter x 5 meter—dilakukan oleh kelompok mahasiswa praktikum event management ”Prospero” Program Studi Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Indana dan UMM pula yang sebelumnya mengkreasi Kampung Jodipan di Kota Malang.
Khofifah mengatakan, membangun kampung adalah membangun peradaban. Membangun peradaban adalah membangun tatanan sosial, budaya, serta estetika kampung itu sendiri. Dan keberadaan Kampung Hijau di Beji menginisiasi bangunan peradaban kemanusiaan.
”Karena yang diharapkan dari pembangunan dimana pun adalah people centered development, pembangunan manusia di dalamnya,” ujar Khofifah, ketika itu.
Keberadaan kampung tematik, kata Khofifah, diharapkan bisa menjadi bagian dalam menginisiasi kemandirian kampung dengan penguatan kepada masyarakat di dalamnya. Pihaknya berharap hal ini bisa dikembangkan di daerah lain.
Rektor UMM Fauzan mengatakan, pengembangan Kampung Hijau Tempenosaurus tidak hanya berhenti di pengecatan, tetapi pihaknya juga merencanakan tatanan sosial, ekonomi, dan pendidikan. Utamanya, pada upaya peningkatan kompetensi masyarakat.