Pertarungan Gladiator di Final Coppa Italia
Pertarungan Final Coppa Italia yang mempertemukan Atalanta dengan Lazio di Stadion Olimpiade, Roma, Kamis (16/5/2019), layaknya sebuah pertarungan gladiator yang mempertaruhkan hidup dan mati. Mereka bermain terbuka, menyerang, dan penuh determinasi, tetapi tetap mengandalkan taktik serta memiliki pertahanan yang kuat.
ROMA, KAMIS — Pertarungan Final Coppa Italia yang mempertemukan Atalanta dengan Lazio di Stadion Olimpico, Roma, Kamis (16/5/2019), layaknya sebuah pertarungan gladiator yang mempertaruhkan hidup dan mati. Mereka bermain terbuka, menyerang, dan penuh determinasi, tetapi tetap mengandalkan taktik serta memiliki pertahanan yang kuat.
Lazio tampil sebagai juara setelah melibas Atalanta dengan skor 2-0. Bagi Manajer Lazio Simone Inzaghi, piala ini sangat berharga untuk menunjukkan kemampuannya di depan presiden klub Claudio Lotito yang ingin menggantinya. Dengan menjuarainya, secara otomatis Inzaghi dapat mengantar ”Biancocelesti” ke Liga Europa musim depan.
”Kami benar-benar ingin memenangi piala ini,” kata Inzaghi seusai laga. Ia merasakan malam yang indah bersama pendukung.
Sebaliknya, bagi Manajer Atalanta Gian Piero Gasperini, kekalahan itu memupuskan keinginannya mengakhiri musim yang menakjubkan ini dengan merebut piala yang sudah didambakan publik Bergamo. Terakhir kali Atalanta memenangi kompetisi ini pada 1963.
Di samping mampu mengantarkan Atalanta ke Final Coppa Italia, Gasperini mampu mengantar Atalanta bertarung di empat besar sehingga mereka memiliki kesempatan berlaga di Liga Champions untuk pertama kalinya. Musim ini, Atalanta pun menjadi buah bibir dengan permainan mereka yang penuh determinasi dan cepat.
”La Dea” (”Sang Dewi”, julukan Atalanta) pun lebih diunggulkan dibandingkan Biancocelesti, julukan bagi Lazio. Sang Dewi memiliki penyerang tajam pada diri Duvan Zapata yang mampu mengemas 22 gol di Serie A serta Alejandro Dario Gomez yang telah mengemas 10 asis.
Baca juga: Penantian Panjang ”Sang Dewi”
Atalanta seperti tokoh Marcus Attilius, seorang gladiator muda yang datang tanpa pengalaman. Sementara itu, Lazio datang seperti Crixus, kaki tangan gladiator nomor satu Spartacus yang ingin mengubah tatanan di Roma. Lazio ingin menunjukkan bahwa mereka mampu menggulingkan AS Roma yang dianggap penguasa ibu kota Italia tersebut.
Pertandingan keras
Aroma kerasnya pertandingan ini sudah tercium sejak pertandingan belum dimulai. Sejumlah pendukung garis keras Lazio terlibat bentrokan dengan polisi di luar stadion. Mereka melemparkan benda keras dan petasan ke arah petugas serta membakar mobil polisi di dekat jembatan Ponte Milvio yang tidak jauh dari stadion. Menurut media Italia, kericuhan ini menyebabkan dua polisi terluka dan lima pendukung Lazio ditangkap.
Pertarungan dua tim biru ini pun disaksikan langsung oleh kedua presiden klub dengan perasaan yang berbeda. Di kubu Atalanta, tampak Antonio Percassi yang telah memberikan kepercayaan kepada Gasperini sejak 2016 dan Lotito yang ingin segera memecat Inzaghi.
Tampil menekan sejak menit awal, Atalanta seperti tidak gentar dengan puluhan ribu pendukung Lazio yang memenuhi stadion dengan panji-panji yang mereka kibarkan. Sebaliknya, Lazio lebih banyak mengandalkan serangan balik yang bertumpu pada lima gelandang tengah yang berdiri sejajar dan satu gelandang serang yang beroperasi sebagai penyerang kedua.
Kedua tim sama-sama memainkan tiga bek sehingga menjadikan pertandingan ini tampak seperti pertarungan gladiator di Kolosseum. Mereka saling serang, cepat, dan bertarung secara sengit di lini tengah. Serangan lawan diredam di tengah, lalu balik menyerang.
Pertandingan ini menggambarkan sepak bola Italia yang lebih maju dan ingin mematahkan pendapat orang, yang menganggap Italia sebagai tempat persiapan menjelang gantung sepatu. Cepat, keras, menyerang, atraktif, dan penuh determinasi. Namun, mereka tetap memegang kekhasan Italia yang mengandalkan taktik yang rumit dan pertahanan yang kuat.
Inzaghi dan Gasperini seperti ingin segera membawa pulang piala ke rumah. Inzaghi mengandalkan Joaquin Correa sebagai motor serangan. Sementara Gasperini mengandalkan Alejandro Dario Gomez untuk mengkreasikan peluang.
Ciro Immobile dari Lazio dan Duvan Zapata dari Atalanta menjadi pemain yang diharapkan mampu memanfaatkan peluang yang ada. Namun, mereka bukanlah tipe penyerang tradisional yang hanya menunggu bola di pertahanan lawan. Mereka tetap mau turun mematahkan serangan lawan dan mencari bola. Perbedaannya, Zapata lebih banyak mendapat peluang karena memiliki kecepatan dan kelincahan.
Akan tetapi, pada pertengahan babak pertama, Lazio mampu membalikkan situasi sehingga dapat keluar dari tekanan dan menguasi permainan. Meskipun demikian, Atalanta mendapatkan lebih banyak peluang, tetapi masih mampu dimentahkan kiper Lazio, Thomas Strakosa.
Pertandingan yang berjalan keras ini pun diwarnai beberapa insiden antarpemain. Mereka beberapa kali terlihat adu fisik dan mulut. Babak pertama tercatat 14 pelanggaran dan 4 kartu kuning.
Wasit Italia, Luca Banti, memberikan kartu kuning (kedua dari kanan) kepada pemain belakang Lazio, Angola Bastos (ketiga dari kiri), dalam pertandingan final Coppa Italia (Piala Italia) antara Lazio dan Atalanta, Rabu (15/5/2019), di Stadion Olimpico, Roma.
Keputusan krusial
Kerasnya pertandingan ini masih berlanjut hingga babak kedua sehingga beberapa pemain mulai kelelahan. Inzaghi pun mengambil keputusan krusial. Ia mengganti Immobile yang terlihat tidak banyak memperoleh peluang dengan penyerang asal Ekuador, Felipe Caicedo, yang lebih memiliki kecepatan.
Ia juga mengganti Luis Alberto yang sesungguhnya tampil baik di lini tengah pada menit ke-79 dengan Sergej Milinkovic-Savic yang jarang bermain untuk Lazio karena cedera. Keputusan itu dibayar lunas oleh Savic.
Ia mampu mencetak gol melalui sundulan setelah memanfaatkan umpan matang tendangan penjuru dari mantan pemain Liverpool, Lucas Leiva. Savic pun berlari mendekat ke arah suporter Lazio yang disambut dengan pelukan hangat rekan-rekannya.
Tertinggal satu gol, Gasperini terlihat panik dan merombak skuadnya. Musa Barrow, Robin Gosens, dan Mario Pasalic dimasukkan untuk menggantikan Zapata, Timothy Castagne, dan Marten de Roon.
Keputusan tersebut meninggalkan lubang besar di lini tengah Atalanta, terutama tidak adanya Marten de Roon yang memiliki kemampuan mematahkan serangan lawan dan Castagne yang cepat berlari membantu pertahanan setelah menyerang.
Lazio dengan mudah melakukan serangan balik cepat. Correa yang bermain atraktif sejak babak pertama mampu menerima umpan jauh Caicedo dengan baik. Ia melewati dua pemain belakang dan mengecoh kiper Atalanta Pierluigi Gollini yang telah tampil menawan sepanjang musim. Dengan tenang, Correa melesakkan gol pada menit ke-90 dan bertahan hingga peluit akhir ditiup wasit.
Inzaghi puas dengan keputusannya dalam melakukan pergantian pemain. ”Saya memberi tahu para pemain bahwa kadang mereka turun dari bangku cadangan lebih penting daripada 11 pemain awal. Saya puas karena kami memiliki penampilan luar biasa di Coppa Italia ini,” ujarnya.
Kemenangan ini menjadi gelar ketujuh bagi Lazio selama Coppa Italia digelar. Mereka juga berhak untuk tampil di Liga Europa musim depan.
Meskipun kalah penguasaan bola dari Atalanta dengan angka 53 persen berbanding 47 persen, Lazio mampu memanfaatkan pengalaman mereka setelah gagal pada musim 2016-2017 ketika dikalahkan Juventus dengan skor 2-0. Dengan kemenangan ini, kedua tim akan bertemu pada ajang Piala Super Italia setelah Juventus terlebih dahulu meraih scudetto Serie A.
Kekalahan ini tidak membuat kubu Atalanta kecewa. Tifosi Atalanta dan Antonio Percassi tetap memberikan apresiasi terhadap kinerja Gasperini serta pasukannya yang telah tampil sepenuh hati sepanjang laga.
”Sayang sekali, tetapi pertandingan final seperti itu. Pada saat yang menentukan, kami tampak berada dalam kondisi yang lebih baik, tetapi kehilangan permainan melalui tendangan sudut,” kata Gasperini.
Ia pun menatap pertandingan pada hari minggu untuk mempertahankan tempat di Liga Champions. Gasperini mengaku timnya akan berusaha mengatasi kekecewaan ini dan belajar dari kekalahan tersebut.
Bagi Lazio, gelar ini menjadi kado manis Lotito yang berulang tahun ke-62 pada 9 Mei lalu. Ia pun tersenyum lebar seperti kaisar Romawi yang telah memenangi pertarungan hidup mati dengan memiliki gladiator yang tangguh.
Selain mampu menunjukkan kepada publik Roma bahwa Lazio lebih baik daripada AS Roma, mereka juga mampu mengakhiri empat tahun dominasi Juventus di kompetisi ini. Pendukung Lazio pun meluapkan kegembiaraan mereka bersama dengan seekor burung elang di Stadion Olimpico. Mereka seperti ingin menunjukkan, burung elang lebih buas daripada serigala yang menjadi simbol AS Roma. (AFP/REUTERS)