Wakil Presiden Jusuf Kalla selalu menyempatkan waktu luang di sela kunjungan kerjanya ke mancanegara. Saat transit di Doha, Qatar, Kalla memanfaatkan waktu yang ada dengan kegiatan ringan.
Oleh
Nina Susilo
·3 menit baca
Wakil Presiden Jusuf Kalla selalu menyempatkan waktu luang di sela kunjungan kerjanya ke mancanegara. Saat transit di Doha, Qatar, JK memanfaatkan waktu yang ada dengan kegiatan ringan. Kegiatan ini dilakukan setelah JK berbuka puasa bersama warga Indonesia di Wisma Duta Besar, shalat Maghrib, makan malam, dan shalat Tarawih.
Malam itu, JK menuju Mal Doha Festival. Duta Besar RI untuk Qatar Muhammad Basri Sidehabi menemaninya, demikian juga sahabat Kalla, Hamid Awaluddin, serta menantunya, Marah Laut. Seusai melihat situasi, JK melontarkan pertanyaan kepada wartawan yang mengiuktinya. ”Apa yang kalian lihat dari mal di sini,” tanyanya sambil menikmati cappuccino.
Sepintas, mal ini tak beda jauh dengan mal-mal yang ada di Jakarta. Luas, berisi gerai-gerai dengan merek ternama dunia. Segala produk kapitalis tersedia. Nyaris tidak ada bedanya.
Namun, JK melihat dari sisi banyaknya pekerja asing di tempat tersebut. Demikian pula pengunjung mal, separuhnya bukan warga asli Qatar. Negeri ini memang hanya memiliki sekitar 350.000 warga negara. Karena itu, lebih dari tiga juta pekerja di negara ini adalah warga asing. Adapun jumlah pekerja terbanyak adalah warga negara India.
Kekayaan minyak dan gas membuat warga makmur. Pembangunan pesat. Apa pun bisa dikerjakan. Namun, warga mempertanyakan untuk siapa sesungguhnya pembangunan dilakukan. Bagaimanapun, kehadiran warga asing membuat ekonomi di negeri ini berputar. Qatar pun mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan yang terjadi.
Pengelolaan air
Di mal yang sama, JK juga mengunjungi sebuah toko buku. Beberapa buku dibeli, seperti buku tentang bisnis Good to Great dan Misfit Economy. Selain itu, JK juga membeli mainan seri Green Science yang berjudul Clean Water Science.
Dalam bincang-bincang santai dengan wartawan peliput, JK mengatakan, mainan itu untuk cucunya. Tak hanya itu, JK sekaligus menyampaikan harapannya supaya air keran di Indonesia bisa langsung diminum. ”Kalau air kemasan, berapa 1 meter kubiknya? Sekitar Rp 60.000, padahal kalau air keran, 1 meter kubik hanya Rp 6.000,” ujarnya.
JK pun mulai bertanya-tanya mengenai apa yang menghambat realisasi air keran yang benar-benar bisa langsung diminum tersebut. ”Saya sempat bicara dengan Menteri PU. Secara teknis bisa,” katanya.
Dia menilai, investasi untuk merealisasikan hal itu pun tetap menghasilkan serta sangat bermanfaat untuk warga. Karena itu, pemerintah perlu memiliki niat kuat dan betul-betul merealisasikannya. Singapura saja bisa melakukan ini, bukan hanya negara-negara besar di Amerika dan Eropa.
Pembenahan memang perlu dilakukan dari hulu ke hilir. Saat ini, air baku untuk air keran biasa diambil dari sungai yang menjadi pembuangan limbah. Kerap terjadi, kondisi air baku tersebut sangat tercemar. Akibatnya, pengolahan air baku menjadi air bersih tetap membuat warga tak percaya bahwa air keran bisa benar-benar langsung diminum.
Kepercayaan dan kebiasaan warga ini, menurut JK, perlu ditumbuhkan. ”Mungkin untuk beberapa lama, warga masih akan merebus air, tapi pelan-pelan kebiasaan baru akan tumbuh,” ujarnya.
Harapan membuat air keran benar-benar layak diminum tentu akan sangat membantu warga. Warga bisa menghemat biaya bahan bakar untuk masak air. Air sebagai sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak pun bisa dijamin kualitasnya.