Tembakau Temanggung Kini Sulit Jadi Sandaran Hidup Petani
Sekitar 20 persen lahan tembakau di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, kini menerapkan sistem tumpang sari. Tembakau ditanam bersanding dengan bawang putih, kol, hingga cabai.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
TEMANGGUNG, KOMPAS-Sekitar 20 persen lahan tembakau di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, kini menerapkan sistem tumpang sari. Tembakau ditanam bersanding dengan bawang putih, kol, hingga cabai. Diversifikasi tanaman tersebut mulai dilakukan karena hasil panen tembakau tidak lagi bisa diandalkan sebagai sandaran hidup utama petani.
"Tumpang sari mulai marak dilakukan petani tembakau dalam lima tahun terakhir. Panen dari tumpang sari diharapkan dapat menutup kerugian petani akibat harga tembakau yang terus menerus anjlok," ujar Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Temanggung Untung Prabowo di Temanggung, Selasa (20/5/2019).
Tahun ini, total luas tanaman tembakau di Temanggung berkisar 16.000-17.000 hektar. Tumpang sari sudah dilakukan di sebagian lahan tembakau di Kecamatan Kledung, Bansari, Ngadirejo, dan Kecamatan Wonoboyo.
Diversifikasi, menurut dia, dianggap menjadi solusi terbaik karena petani tidak mau berhenti menanam tembakau. Bertani tembakau dianggap menjadi budaya, tradisi turun temurun yang sulit ditinggalkan.
"Bahkan, saat melakukan diversifikasi ini, semangat dan fokus perhatian mereka tetap pada tembakau. Tanaman lain masih dianggap sampingan belaka," ujarnya.
Sarjiat (50), warga Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo mengatakan, tembakau yang ditanam sekitar sebulan lalu, kini berdampingan dengan cabai yang ditanam lebih dahulu, sekitar dua bulan lalu. Sarjiat mengatakan, upaya diversifikasi terpaksa dilakukan karena harga tembakau tak sebaik dulu.
"Harga tembakau terus merosot. Tahun lalu, harga panen terakhir Rp 20.000 per kilogram," ujarnya. Harga itu turun sekitar 50 persen dibanding tahun lalu. Pada tahun 2011, harga panen tembakau terakhir antara Rp 70.000-Rp 80.000 per kg.
Ketua Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Universitas Muhammadiyah Magelang Heni Setyowati, mengatakan, sejak tahun 2012, diversifikasi tanaman sudah banyak dilakukan petani tembakau di berbagai tempat di Jawa Tengah. LP3M bersama Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang, sejak tahun 2018, intens mendampingi petani tembakau di tujuh kabupaten di Jawa Tengah, yang sedang berupaya melakukan diversifikasi tanaman.
Dia mengatakan, diversifikasi merupakan reaksi kekecewaan spontan petani terhadap tata niaga tembakau yang buruk. Petani terus dirugikan karena tidak pernah ada kepastian harga tembakau. Pembayaran hasil panen, selain diterima terlambat, juga sering kali tidak sesuai dengan nominal harga yang disepakati sebelumnya.
Para pedagang, menurut dia, seringkali beralasan tidak bisa langsung membayar kontan. Sisa uang yang dijanjikan bakal dibayar kemudian kerap tidak ditepati. Saat petani datang menagih, pedagangtetap saja tidak membayar.
“Saat menagih, petani justru dibayar dengan barang, seperti kursi, jam dinding, jam tangan, kalung emas ataupun gelang emas,” ujarnya.
Ketua MTCC Universitas Muhammadiyah Magelang Retno Rusdjijati, mengatakan, pihaknya pun terus mendukung dan mendorong para petani tembakau melakukan diversifikasi. Di sejumlah daerah seperti di Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, sebagian petani bahkan sudah sukses beralih menanam ubi jalar.
"Cerita kesuksesan ini diharapkan bisa menginspirasi para petani lain, untuk melakukan hal yang sama," kata dia.