Syafri Menanti Penanganan Hukum atas Kematian Farhan
Syafri Alamsyah (58) berharap pemerintah memberi perhatian atas kematian putranya, Farhan Syafero (31). Pemerintah juga diminta memberi perhatian khusus kepada dua anak Farhan, yang baru berusia lima dan dua tahun.
”Anak kedua saya, Farhan, meninggal dengan luka di bawah leher tembus ke belakang. Lebar lubangnya, baik yang di depan dan di belakang, sama. Kecil, hanya segini,” kata Syafri, sambil ujung jarinya membentuk lingkaran kecil di telapak tangannya. Diameter ”lingkaran” itu tidak sampai 1 sentimeter.
Farhan, sesuai data dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, adalah satu dari delapan korban tewas dalam unjuk rasa hasil pemilu yang berakhir rusuh pada Rabu (22/5/2019) dini hari.
Baca juga: Keluarga Menanti Kepastian
Syafri ditemui di rumah kerabatnya di Kampung Rawakalong, RT 003 RW 007 Kelurahan Grogol, Kecamatan Beiji, Kota Depok, Kamis (23/5/2019). Di halaman rumah ada papan karangan bunga turut berdukacita dari Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Wali Kota Depok.
Syafri berkeyakinan, anaknya itu ditembak dengan menggunakan peluru tajam, bukan peluru hampa atau peluru karet.
”Bapak saya, kan, tentara. Jadi, saya tahulah, pernah pegang-pegang, main-mainlah dengan peluru. Kalau dulu, peluru tajam memang memutar jalannya sehingga lubang keluarnya lebih besar dari lubang masuk. Kalau sekarang, peluru tajamnya lebih kecil, tapi di dalamnya ada zat apanya, jadi lubang keluarnya sama dengan lubang masuknya. Ini juga membuat badan atau jenazah anak saya cepat kaku. Katanya tertembak pukul 02.00, saya melihat jenazahnya pukul 05.00 sudah keras kaku,” katanya.
Ia menambahkan, darah yang keluar dari lubang luka itu tidak banyak, tidak mengucur. ”Kayak air yang merembes ke luar. Mungkin darahnya masuk ke paru-paru. Rembesan darah ini masih keluar walaupun sudah dimandikan dan dikafani,” tutur Syafri.
Jenazah Farhan dimakamkan di Pemakaman Wakaf Kampung Rawakalong, Rabu (22/5/2019). ”Anak saya dimakamkan kemarin (Rabu), sekitar pukul 18.00. Ini setelah menunggu kedatangan istri Farhan, Ny Komariah (29), serta dua anaknya, Kiren (5) dan Maula (1,5),” katanya.
Farhan dan keluarganya tinggal di Sukatani,Cikarang, Bekasi, di rumah orangtua Komariah. Rumah Syafri sendiri di Kampung Baru, Citayam, Bojong Gede, Kabupaten Bogor.
Baca juga: Anies Sebut Delapan Tewas dalam Rusuh 21-22 Mei
”Rumah di sini (Kampung Rawakalong) adalah rumah keluarga besar saya. Di sini tinggal kakak dan adik saya, uwak dan bibi Farnah. Anak saya sering menginap di sini karena banyak cari kerjaan di Depok. Kebetulan, SIM-nya juga buat di Depok, pakai alamat di sini. Karena itu, jenazah kami bawa ke sini. Rumah dukanya di sini biar yang mau datang juga gampang,” tutur Syafri.
Ia menambahkan, Farhan adalah anak kedua dari empat bersaudara. Farhan hanya lulus SMP swasta yang juga ada di Beiji. Setelah lulus SMP, Farhan tidak mau sekolah lagi, tapi coba-coba cari uang sendiri dengan kerja apa saja.
”Farhan tidak punya kerja tetap. Apa saja yang bisa dikerjakan, asal dapat nafkah untuk keluarga, dia lakukan. Dagang kecil-kecilan, jadi ojek online, sopir mobil online, bantu-bantu orang. Pokoknya apa saja, yang penting halal. Bulan puasa gini, dia dagang baju koko, peci, busana muslim. Barang yang ditemukan atau ada di motornya, barang dagangnya, baju koko dan peci,” kata Syafri.
Sepeda motor Farhan ditemukan masih di halaman parkir Blok A Pasar Tanah Abang oleh teman almarhum dan sudah diserahkan ke Syafri. Begitu juga telepon seluler yang semula disimpan petugas sekuriti RS Ibu dan Anak Budi Kemulian Tanah Abang.
Syafri tidak tahu, siapa yang melihat saat Farhan tertembak dan siapa yang membawanya ke RS Budi Kemuliaan. Ia melihat video yang viral, yang menayangkan saat tubuh Farhan di dorong dalam ranjang dorong dan mendapat pertolongan medis di RS tersebut. Tetapi ia tidak mengenali siap saja mereka.
”Saya tidak tahu di mana lokasi tertembaknya. Teman-teman Farhan dari Bekasi bilang, di Blok A Pasar Tanah Abang. Siapa yang menembak, apakah aparat atau bukan, saya tidak tahu. Tapi dari video-video yang saya lihat, ditemukan banyak peluru tajam dari situ,” kata Syafri.
Saya tidak tahu di mana lokasi tertembaknya. Teman-teman Farhan dari Bekasi bilang, di Blok A Pasar Tanah Abang. Siapa yang menembak, apakah aparat atau bukan, saya tidak tahu. Tapi dari video-video yang saya lihat, ditemukan banyak peluru tajam dari situ. (Syafri)
Sepeda motor Farhan ditemukan masih di halaman parkir Blok A Pasar Tanah Abang oleh teman almarhum dan sudah diserahkan ke Syafri. Begitu juga telepon seluler yang semula disimpan petugas sekuriti RS Ibu dan Anak Budi Kemulian Tanah Abang.
Farhan ke Tanah Abang bersama teman-teman dari Bekasi. Rombongan mereka menggunakan 10 sepeda motor. Syafri tidak tahu Farhan ke Bawaslu di Jalan MH Thamrin untuk ikut berunjuk rasa. Ia juga tidak tahu siapa yang mengajak anaknya. Sebab, Farhan tidak memberi tahu orangtuanya dan kepada istrinya Farhan hanya mengatakan akan ke luar tanpa memberi tahu tujuannya. Hanya saja, Farhan memang sering mengikuti berbagai pengajian atau kegiatan majelis taklim di mana-mana, walapun dirinya tidak menjadi anggota ormas tertentu.
”Setelah anak saya meninggal, teman-temannya datang ke sini. Mereka yang kasih tahu. Malam itu mereka dengan 10 motor pergi. Tujuannya, katanya, ingin ke rumah Habib Rizieq di Petamburan. Namun, sampai di Tanah Abang, katanya sudah rusuh. Lalu mereka parkir motor di Blok A. Karena sudah rusuh, mereka berpencaran. Jadi, teman-temannya juga tidak tahu, di mana Farhan tertembak,” kata Syafri.
Malam itu mereka dengan 10 motor pergi. Tujuannya, katanya, ingin ke rumah Habib Rizieq di Petamburan. Namun, sampai di Tanah Abang, katanya sudah rusuh. Lalu mereka parkir motor di Blok A. Karena sudah rusuh mereka berpencaran. Jadi, teman-temannya juga tidak tahu di mana Farhan tertembak. (Syafri)
Syafri tahu Farhan tertembak dan ada di rumah sakit setelah istrinya menelepon ke HP Farhan. Sebab, mereka ingin tahu, mengapa tidak jadi datang ke Citayam untuk sahur bersama, sebagaimana janji Farhan untuk sahur bersama.
Yang mengangkat telepon adalah petugas sekuriti RS itu, yang memang sedang menunggu telepon Farhan berdering. Petugas sekuriti tidak bisa menelepon pihak keluarga karena tidak ada yang kenal keluarga Farhan dan telepon Farhan terkunci.
Petugas sekuriti itu memberi tahu keberadaan Farhan di RS itu dan akan segera dikirim ke RSCM karena luka tembak tidak bisa ditangani di RS itu.
Baca juga: Warga Mencari Kerabat di Rumah Sakit
”Saya diminta langsung ke RSCM. Saya bersama kakak langsung ke sana. Farhan sudah di kamar jenazah dibiarkan begitu saja. Tidak ada polisi yang jaga atau memeriksanya. Pihak rumah sakit menawarkan, anak saya akan di otopsi atau tidak. Saya menolak. Untuk apa? Apa gunanya? Polisi saja tidak peduli. Padahal penyebab kematiannya tidak wajar,” katanya.
Sampai Kamis (23/5/2019), Syafri tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya kepada aparat kepolisian karena tidak ada perhatian sama sekali. Padahal keamanan warga menjadi tanggung jawab kepolisian.
”Saya dan anak saya ini menjadi korban perebutan kekuasaan. Saya tujuh kali ikut pemilu, tidak pernah seperti sekarang. Sekarang kami menjadi korban, tidak ada perhatian dari 01 atau 02. Kami berharap ada perhatian pemerintah kepada dua cucu saya itu. Kami saja kemarin untuk membeli kain kafan Farhan harus nunggu-nunggu uang sumbangan dari pelayat. Kami korek-korek uang sumbangan di baskom tempat uang kematian,” kata Syafri.
Saya dan anak saya ini menjadi korban perebutan kekuasaan. Saya tujuh kali ikut pemilu, tidak pernah seperti sekarang. Sekarang kami menjadi korban, tidak ada perhatian dari 01 atau 02.
Baca juga: Kerugian Ekonomi akibat Kerusuhan Diprediksi Rp 15 Triliun