Ingatan Pendek pada Bencana Itu Tak Layak Dipelihara
Bencana besar yang menghancurkan Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, baru terjadi delapan bulan lalu. Duka pun masih belum sepenuhnya sirna. Luka pun belum mengering. Namun, gelagat melupakan kejadian mengerikan itu mulai tampak. Zona terlarang dihuni lagi, jadi salah satu indikasinya.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·5 menit baca
Bencana besar yang menghancurkan Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, baru terjadi delapan bulan lalu. Duka pun masih belum sepenuhnya sirna. Luka pun belum mengering. Namun, gelagat melupakan kejadian mengerikan itu mulai tampak. Zona terlarang dihuni lagi, jadi salah satu indikasinya.
Akibat bencana yang terjadi 28 September 2018 itu, tidak main-main. Korban meninggal dunia mencapai 2.657 jiwa. Sebanyak 667 jiwa lainnya dinyatakan hilang. Rumah rusak ringan, rusak sedang, rusak berat, dan hilang mencapai 88.852 unit.
Korban meninggal dan penyintas bencana tersebar di berbagai wilayah, mulai dari Kelurahan Petobo dan Kelurahan Balaroa di Kota Palu serta Jono Oge dan Sibalaya Selatan di Kabupaten Sigi. Kehancuran sama terjadi di pesisir Teluk Palu karena tsunami. Kerusakan juga tak luput di sepanjang jalur Sesar Palu Koro di Palu barat hingga Kabupaten Sigi.
Berdasarkan kondisi katastrofik di titik-titik tersebut, pemerintah menerbitkan peta zona rawan bencana di empat kabupaten. Titik-titik yang mengalami kehancuran besar ditetapkan sebagai zona merah atau terlarang. Dengan penetapan itu, harapannya tak ada lagi bangunan atau pembangunan hunian baru.
Peta zona rawan bencana ditetapkan pada 12 Desember 2018 oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Pemerintah Provinsi Sulteng. Pemerintah pun telah memasang patok batas zona merah sejak Februari 2019.
Karena tak jadi kawasan hunian lagi, titik-titik tersebut direkomendasikan untuk jadi ruang terbuka hijau. Di bekas likuefaksi Petobo dan Balaroa, misalnya, pemerintah akan membangun taman kenangan (memorial park).
Sebagai solusi untuk penyintas yang rumahnya hancur di bekas likuefaksi, tsunami, dan jalur sesar, pemerintah merelokasi mereka ke lahan baru. Di Palu, contohnya, penyintas direlokasi di dua titik, yakni Kelurahan Duyu (Kecamatan Tatanga) dan Kelurahan Tondo (Kecamatan Mantikulore). Dua titik tersebut sedang dipersiapkan untuk pembangunan rumah penyintas.
Bangun lagi
Akan tetapi, delapan bulan berlalu penyintas kembali membangun rumah di zona merah atau terlarang. Di jalur sesar di Jalan Padanjakaya, Kelurahan Pengawu Tatanga, satu rumah beton dibangun lagi.
Di utara, masih di jalur sesar, di Jalan Asam, Kelurahan Kabonena (Kecamatan Ulujadi), penyintas juga sudah membangun rumah. Pemandangan yang sama terlihat di Jalan Kedondong, Kelurahan Balaroa, Palu Barat.
Di pesisir, sekitar 20 rumah telah dibangun dan ditempati di bibir pantai di Kelurahan Mamboro Barat, (Palu Utara). Di bekas areal likuefaksi Kelurahan Balaroa, empat rumah baru pun telah ditempati.
Penyintas yang membangun rumah di zona merah mengaku tak mendapatkan informasi jelas terkait dengan pelarangan membangun hunian. Tak ada sosialisasi yang betul-betul ”menyapa” mereka. Ketidakjelasan informasi itu membuka peluang penyintas menempati zona merah lagi.
”Karena tak punya lahan lain, saya tetap bangun di sini,” kata Nunung (28), penyintas di Kelurahan Pengawu, Tatanga, Palu, Kamis (8/5/2019).
Rumah baru Nunung hampir rampung. Dibangun Januari 2019, pengerjaannya tinggal menyisakan plester dinding dan lantai. Jarak rumah barunya hanya 2 meter dari puing rumah lama yang ambruk karena gempa.
Pada akhir Februari 2019, tukang yang mengerjakan rumah Nunung didatangi orang yang mempertanyakan pembangunan kembali rumah di zona merah tersebut. Namun, setelah kejadian itu tak ada lagi yang datang melarang kelanjutan pengerjaan rumah.
Syamsu (43), penyintas yang sudah membangun rumah di bekas tsunami Kelurahan Mamboro Barat, Palu Utara, juga sejak mendirikan rumah dan menempatinya tak ada pihak terkait yang melarang.
”Tempat usaha saya di sini. Saya tetap mau di sini,” katanya yang bekerja dengan menjual ikan teri.
Membangun rumah lagi di zona terlarang sejatinya seperti ”bunuh diri”. Kejadian bencana yang sama bisa terjadi lagi di sana. Bisa hari ini, esok, atau waktu yang tidak dapat diprediksi. Pemerintah paling bertanggung jawab atas fakta tersebut karena seharusnya proaktif mengawal penataan ruang pascabencana.
”Aturan pencegahan kehancuran tersebut diterbitkan pemerintah. Pemerintah harus memastikan kebijakan itu berjalan di lapangan. Jangan menunggu ada laporan atau aduan. Ini mengatur bencana yang menewaskan banyak orang dan menelan kerugian begitu besar,” ujar dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tadulako Palu Abdullah.
Tak ada jalan lain, kecuali penertiban atas rumah-rumah yang telah dibangun. Namun, langkah itu harus dilakukan dengan dialog yang jujur. Pemerintah sebaiknya meyakinkan hak-hak penyintas, seperti relokasi ke tempat yang aman, diakomodasi.
”Informasi penting seperti ini harus sampai ke masyarakat yang menjadi tujuan kebijakan,” ujarnya.
Terulang
Kelurahan Mamboro Barat, Kecamatan Mantikulore, menjadi contoh ilustrasi daerah yang abai mitigasi tata ruang. Pada gempa dan tsunami 20 Mei 1938, kampung tersebut porak poranda. Pasar, rumah warga, dan souraja (rumah raja) dihantam tsunami dan tenggelam karena sebagian kawasan itu mengalami penurunan muka tanah (down lift). Banyak korban dihanyutkan air laut.
Karena bencana itu, penyintas lalu pindah ke lokasi aman yang saat ini menjadi cika-bakal rumah-rumah di jalur kiri dan kanan Jalan Trans-Sulawesi, dekat dengan Markas Satuan Brimob Polda Sulteng, 300 meter dari laut. Tsunami tak mampu menjangkau tempat itu.
Seiring waktu, bekas sapuan tsunami itu ditempati lagi mulai 1980-an. Daerah yang sebelumnya kosong jadi permukiman padat dengan usaha utama pengeringan teri. Kawasan itu kembali hancur saat diterpa tsunami delapan bulan lalu.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sulteng Bartolomeus Tandigala menyatakan, pemasangan patok batas zona merah sebenarnya sudah menjadi pemberitahuan bagi penyintas. ”Sudah ada patok. Itu sudah jelas. Mau beri tahu bagaimana lagi,” katanya.
Soal tak adanya sosialisasi yang rinci saat pemasangan patok terkait pengosongan zona merah, Bartolomeus menyatakan, masyarakat seharusnya sudah tahu. Sejak awal disampaikan semua yang berada di zona merah akan direlokasi.
Untuk penertiban, kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palu Presly Tampubolon, akan dikoordinasi lagi dengan pemangku kepentingan. Ia sepakat pembangunan rumah di zona merah tak boleh dibiarkan.
Jatuhnya korban jiwa akibat kelalaian manusia seharusnya tak boleh terjadi lagi. Mereka yang pergi selamanya pascabencana seharusnya dijadikan guru untuk masa depan. Kesempatan hidup arif masih terus terbuka. Ingatan pendek atas kenangan akan penderitaan tak selayaknya dipelihara.