Pemerintah terus memantau dinamika yang berkembang di Provinsi Aceh. Salah satu fenomena yang diamati adalah isu referendum bagi rakyat Aceh yang diutarakan salah seorang elite partai lokal. Sejumlah tokoh menilai, isu referendum ini tidak relevan untuk situasi bangsa saat ini.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah terus memantau dinamika yang berkembang di Provinsi Aceh. Salah satu fenomena yang diamati adalah isu referendum bagi rakyat Aceh yang diutarakan salah seorang elite partai lokal. Sejumlah tokoh menilai, isu referendum ini tidak relevan untuk situasi bangsa saat ini.
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik menyatakan, isu referendum di Aceh merupakan bentuk dinamika demokrasi lokal yang memang sangat dinamis. ”Kami tentunya akan terus mengamati dan mencermati dinamika itu,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (30/5/2019).
Ketua Umum Partai Aceh Muzakir Manaf, beberapa hari lalu, berpendapat, ke depan rakyat Aceh meminta referendum. Demokrasi dan keadilan di Indonesia dinilainya sudah tidak jelas. Pendapat ini didukung anggota DPD asal Aceh, Fachrul Razi.
Menurut Fachrul, referendum adalah mekanisme demokrasi dalam memberikan hak politik rakyat dalam menentukan masa depannya. Referendum merupakan solusi damai untuk Aceh dan hak konstitusional setiap warga negara. Hal ini juga tidak bertentangan dengan nota kesepahaman antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia, tahun 2005.
Meski demikian, tokoh masyarakat Aceh Amir Faisal menilai, isu referendum ini hanyalah isu populis yang sering muncul setiap lima tahunan. Partai Aceh, yang dipimpin Muzakir Manaf atau Mualem, kehilangan banyak kursi pada pemilu kemarin meski masih dominan di tingkat provinsi. Karena itu, ia harus mengumandangkan isu populis ini untuk mengerek suara partai.
”Pasca-perjanjian damai, rasanya tidak ada satu pun pembangunan ekonomi yang dihambat oleh ’Jakarta’,” katanya. Dia melanjutkan, tantangan pembangunan di Aceh justru berada di tangan pemimpin lokal. Sejak 2006, katanya, pemimpin lokal belum mampu menghadirkan pembangunan yang mencerminkan kesejahteraan rakyat.
Ditambah lagi, elite politik tingkat nasional sedang membawa sengketa Pemilu 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Semua pihak diminta untuk menjaga persatuan bangsa. Alangkah tidak bijaknya, menurut Amir, pemimpin lokal menggembar-gemborkan isu referendum ketika sejumlah tokoh bangsa justru menganjurkan agar Indonesia tetap bersatu.
”Kita selalu terjebak dalam masalah politis, tetapi pembangunan ekonomi tidak dijalankan,” katanya.
Mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Wilayah Linge Fauzan Azima mengimbau agar Muzakir Manaf yang juga mantan pejuang GAM tidak menorehkan luka baru di bumi Aceh. Ia berpesan agar jangan sampai GAM dicatat sebagai institusi yang menjadikan rakyat Aceh sebagai tumbal dalam mewujudkan ambisi kelompok dan golongan.
”Bumi Aceh sudah cukup menampung tetesan darah, air mata, dan jasad korban nyawa sebagai sejarah kelam. Tugas dan tanggung jawab mantan GAM untuk mengubah sejarah Aceh ke depan sebagai daerah yang aman, damai, dan tanpa kekerasan,” katanya.
Sejarawan Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra (2011) memberikan perhatian dominan terhadap sejarah Aceh. Menurut dia, peranan politik Aceh sangat menonjol dan menentukan hidup matinya proyek bernama Indonesia.
Hingga 1960-an, kata Reid, posisi Sumatera secara keseluruhan menduduki tempat yang rapuh dalam Republik Indonesia. Infrastruktur pengangkutannya morat-marit dan banyak elemen yang sangat tidak suka dengan perlakuan Pemerintah Indonesia atas alam Sumatera yang kaya raya waktu itu. Dari beberapa provinsi di Sumatera, posisi Aceh paling rawan.
Meski demikian, Reid meyakini bahwa Aceh adalah bagian dari Indonesia meskipun bagian yang resah dan banyak didera masalah.
Sejarawan yang meneliti Sumatera selama 40 tahun ini menyatakan, upaya untuk melepas Sumatera dari bingkai persatuan pernah digagas oleh penjajah. Jepang pada 1945 sempat memperjuangkan gagasan Sumatera merdeka dengan pusat di Bukittinggi. Sementara Belanda pada 1948 membentuk sebuah payung Sumatera bagi negara-negara bagian yang telah dibentuknya di berbagai wilayah di pulau Andalas itu.
Dua upaya yang berusaha memisahkan Sumatera dari Jawa ini ditolak. ”Orang Sumatera sudah memutuskan pada 1920-an bahwa mereka hanya dapat mempersatukan suku-suku mereka yang beraneka ragam itu pada tingkat Indonesia,” tulis Reid.