Menanti Jawab Kerusuhan Mei
Tim internal Polri perlu segera mengusut tuntas pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kematian delapan orang selama kerusuhan 21-22 Mei. Penjelasan ke publik diperlukan.
Unjuk rasa menolak hasil pemilihan presiden digelar di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu, Jakarta, 21 Mei 2019. Aksi yang pada siang hari berlangsung damai ini pada tengah malam dan 22 Mei dini hari tiba-tiba berubah jadi rusuh.
Kerusuhan juga terjadi di sejumlah tempat, seperti Petamburan dan Slipi, Jakarta. Delapan orang pun diberitakan meninggal dalam peristiwa itu.
Polri membentuk tim untuk menginvestigasi penyebab meninggalnya delapan orang itu. Pada saat yang sama, polisi juga menetapkan 442 perusuh sebagai tersangka.
Enam orang juga ditetapkan sebagai tersangka karena diduga merencanakan pembunuhan terhadap empat pejabat negara. Empat pejabat itu adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto; Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan; Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan; serta Staf Khusus Presiden Bidang Intelijen Gories Mere.
Polisi juga menetapkan mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Kivlan Zen sebagai tersangka kepemilikan senjata api dan makar.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo dalam acara bincang Satu Meja The Forum bertajuk “Aksi 22 Mei, Siapa Penumpang Gelap?” yang disiarkan di Kompas TV, Rabu (29/5/2019) sempat mengisyaratkan keterlibatan Kivlan dalam peristiwa 22 Mei.
"Nanti kami akan dalami lagi terkait auktor intelektual dalam kejadian ini. Nantinya tinggal dicari lagi siapa pendananya. Auktor intelektual ini menyuruh HK (salah satu dari enam tersangka yang diduga merencanakan pembunuhan) yang merupakan komandan lapangan yang mengorganisir para eksekutor untuk melakukan eksekusi terhadap 4 tokoh nasional dan 1 pimpinan lembaga survei," kata Dedi.
Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo ini, Dedi menuturkan polisi masih mendalami alasan kelompok yang menargetkan empat tokoh itu. Sedangkan terkait dengan tewasnya 8 orang warga sipil itu, Polri sedang berupaya mengungkapkannya.
Selain Dedi, pembicara dalam acara itu ialah mantan Kepala Badan Intelijen Strategis Soleman Ponto, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Maruf Amin yakni Arsul Sani dan Johnny G Plate, Anggota Tim Advokasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno Hendarsam Marantoko, Juru Bicara BPN Prabowo-Sandiaga Miftah Nur Sabri, serta Direktur Lokataru Haris Azhar.
Serius
Arsul mengingatkan, peristiwa yang tengah diungkap kepolisian terkait dengan peristiwa 21-22 Mei, merupakan kejahatan serius. Akibatnya, upaya untuk mengusut kasus itu harus dilakukan secara serius. Upaya serius juga dibutuhkan untuk menjawab keraguan publik terhadap kinerja Polri.
Soleman melihat, rencana sejumlah oknum untuk membunuh para pejabat negara, berpotensi mengganggu stabilitas negara, bahkan dapat membunuh demokrasi di Indonesia. Tindakan tegas bagi mereka yang melakukan hal itu, mesti diambil.
Mengenai meninggalnya 8 orang dalam kerusuhan, juga perlu diselidiki dan dibuka kepada publik hasilnya. “Ini masuk rumah sakit tidak ada yang tahu, siapa yang bawa juga tidak tahu. Memang mungkin ditujukan sebagai martir untuk menciptakan kerusuhan yang sangat besar,” kata Soleman.
Haris mengingatkan, sinyalemen adanya dugaan makar pada peristiwa 21-22 Mei, perlu dilihat secara hati-hati. Apalagi selama ini tudingan makar hanya berlandaskan pada pernyataan sejumlah tokoh.
Sinyalemen adanya dugaan makar pada peristiwa 21-22 Mei, perlu dilihat secara hati-hati. Apalagi selama ini tudingan makar hanya berlandaskan pada pernyataan sejumlah tokoh.
Haris juga mendorong pengungkapan pelaku yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Terkait hal itu, ia berpesan agar kepolisian tetap berpihak pada hukum dan bukti, serta bersedia untuk berbincang dengan lembaga swadaya masyarakat yang kompeten.
“Saya khawatir jangan-jangan ini pertarungan yang terulang di 1998 karena tokoh-tokoh yang sebagian besar sama,” katanya.
Sementara itu, Miftah mempertanyakan latar belakang dan pengetahuan para tersangka yang belakangan juga menyeret Kivlan sebagai tersangka.
“Kalau dari profil ini kan, (mereka) penjahat jalanan. Bagaimana punya political knowledge? Ini perlu diselesaikan karena situasi saat ini masyarakat gampang terpancing,” tuturnya.
Hendarsam memilih untuk mengikuti proses hukum yang kini berjalan, meski berharap kejadian ini dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat.
Sudah waktunya rekonsiliasi dan silaturahmi para elit politik, termasuk peserta Pilpres yakni Jokowi dan Prabowo segera diwujudkan agar memberi pesan damai bagi masyarakat.
Johnny hanya mengingatkan, tingginya eskalasi di tengah masyarakat tidak dapat dilepaskan dari sikap para elit. Menurut Johnny sudah waktunya rekonsiliasi dan silaturahmi para elit politik, termasuk peserta Pilpres yakni Jokowi dan Prabowo segera diwujudkan agar memberi pesan damai bagi masyarakat.
Akhirnya, perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar di negara demokrasi seperti Indonesia. Namun, demokrasi juga menuntut adanya kepatuhan terhadap hukum atau aturan main, termasuk dalam menyikapi perbedaan.