Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengajak seluruh masyarakat terus memperkuat tali silaturahmi dan persaudaraan menyambut hari raya Lebaran. Perbedaan pandangan politik selama Pemilu 2019 tidak seharusnya menghadirkan rasa permusuhan di antara sesama anak bangsa.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengajak seluruh masyarakat terus memperkuat tali silaturahmi dan persaudaraan menyambut hari raya Lebaran. Perbedaan pandangan politik selama Pemilu 2019 tidak seharusnya menghadirkan rasa permusuhan di antara sesama anak bangsa.
Hal tersebut disampaikan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir di sela-sela acara dialog bersama wartawan, di Kantor PP Muhammadiyah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (30/5/2019). Turut hadir dalam acara tersebut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
“Spiritualitas silaturahmi itu luar biasa. Bagaimana kita menyambungkan kembali hal-hal yang terputuskan. Menyambungkan kembali hal yang terputus itu tidak mudah,” kata Haedar.
Menurut Haedar, tidak hanya organisasi keagamaan dan organisasi masyarakat saja yang bertugas menjaga perdamaian. Semua pihak, termasuk media massa, mempunyai peran penting menjaga persaudaraan sesama anak Bangsa.
Haedar berpendapat, gejolak dalam sebuah hubungan persaudaraan itu bisa terjadi jika setiap pihak tidak mau menahan diri. Hawa nafsu seolah dibiarkan mengendalikan keinginan manusia. Mereka pun terjebak pada berbagai perebutan yang dapat memicu konflik.
Terkait hal itu, kontestasi politik yang berjalan cukup panjang selama penyelenggaraan Pemilu 2019 dapat dijadikan contoh. Para pendukung terkesan memuja kontestan pemilu pilihannya. Masyarakat seolah terbelah menjadi dua karena setiap pendukung merasa kebenaran dan kebaikan hanya terdapat pada kontestan yang didukungya saja.
“Masyarakat kita memang masih komunal. Dalam politik juga masih parokial. Dalam konteks tersebut, ikatan golongan menjadi sangat tinggi. Benar dan salah ditentukan dari golongannya sendiri. Nyaris golongan lain tidak pernah benar walaupun ada kebenarannya,” kata Haedar.
Haedar menyatakan, elit politik harus ikut bertanggung jawab untuk kembali merekatkan persatuan bangsa. Jangan sekadar memanaskan kontestasi lalu membiarkannya begitu saja. Keretakan di tengah masyarakat perlu disatukan lagi agar selanjutnya bisa bersama memajukan bangsa.
Selanjutnya, Haedar menyampaikan, persoalan keterbelahan itu harus diselesaikan dengan bersilaturahmi. Semua pihak membuka hati untuk bertemu dan mempertautkan kembali rasa kebangsaan yang sebelumnya telah dipupuk bersama. Memang berat untuk dilakukan, tetapi harus dicoba sehingga tidak ada perselisihan yang berkepanjangan.
Media sosial
Kemajuan teknologi membawa permasalahan tersendiri. Masyarakat dianggap belum terlalu bijak menggunakan kemudahan dalam mengakses informasi. Terdapat sekelompok orang yang tidak cukup bijak memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi yang tidak jelas kebenarannya.
Haedar mengatakan, masyarakat perlu didorong semakin bijak dalam bermedia sosial. Kedewasaan dalam berpikir menjadi hal mutlak dalam menggunakan media sosial. Itu penting agar masyarakat tidak mudah terprovokasi dan terjebak dalam berita bohong yang memicu pertikaian.
Masyarakat perlu didorong semakin bijak dalam bermedia sosial. Kedewasaan dalam berpikir menjadi hal mutlak dalam menggunakan media sosial.
“Sekarang bagaimana moderasi itu dilakukan. Sifat moderat yang harus terus digelorakan di medsos,” kata Haedar.
Haedar pun berseloroh, mungkinkah media sosial menyebabkan perang dunia ketiga. Ia melihatnya dari bagaimana simulakra bekerja pada ranah media sosial. Dalam era sekarang, kebenaran seolah tak bisa dipercaya sebagai sebuah fakta yang sesungguhnya terjadi.
Sebaliknya, ada realitas semu yang dibangun sejumlah pihak justru dipercayai sebagai fakta yang benar-benar terjadi. Konsep itu berlaku pada bagaimana berita bohong dapat dipercaya sejumlah kelompok masyarakat.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi mengatakan, literasi media sosial merupakan langkah yang bisa dilakukan agar masyarakat bijak menggunakan platform itu. Hal itu bisa dilakukan lewat jalur pendidikan. Namun, tidak bisa hanya sekolah saja yang menggelorakan permasalahan tersebut.
“Ini harus ditangani tiga pusat pendidikan, yaitu sekolah, masyarakat, dan keluarga. Hal ini bersifat sangat mendesak,” kata Muhadjir.
Yang melakukan penyimpangan pemanfaatan media sosial sesuai norma masyarakat maupun keagamaan yang tidak pantas justru generasi tua. Mereka mengalami kemaruk media sosial. Semacam shock dengan media sosial.
Dia mengaku, sebenarnya merasa optimistis generasi muda bisa cukup bijak menggunakan media sosial. Hal itu dilihatnya dari pengalaman mendapatkan komentar dari siswa-siswa tentang ujian nasional. Tidak ada komentar kasar yang ditemukan dari anak-anak yang disebut sebagai generasi milenial itu.
“Menurut saya, yang melakukan penyimpangan pemanfaatan media sosial sesuai norma masyarakat maupun keagamaan yang tidak pantas ini justru generasi tua. Mereka mengalami kemaruk media sosial. Semacam shock dengan media sosial,” ujar Muhadjir.