Kunjungan Presiden Donald Trump ke Inggris mulai Senin (3/6/2019) berlangsung di tengah hubungan Amerika Serikat dan Eropa yang tidak semesra pada masa silam. Meskipun Trump memuji kehangatan Kerajaan Inggris dalam menyambut kedatangannya, tidak dapat ditutupi kenyataan ada perbedaan cukup mendasar di antara Uni Eropa (UE) serta AS.
Sejumlah "ketegangan" muncul antara AS dan Eropa sejak Trump berkuasa beberapa tahun lalu. Tampak ada ketidakcocokan pandangan di antara dua kekuatan dunia tersebut. Trump beberapa kali, misalnya, memperlihatkan ketidaksukaan terhadap Kanselir Jerman Angela Merkel terutama dalam hal kontribusi Berlin yang kecil terhadap anggaran pertahanan NATO. Belum lagi perbedaan sikap UE dengan AS dalam penanganan Iran.
Selain itu, secara gamblang, Trump memperlihatkan dukungan terhadap kubu yang menolak UE. Politisi Partai Konservatif Inggris seperti Johnson yang selama ini mendukung keras Brexit mendapat apresiasi dari Presiden AS.
Dalam The Wall Street Journal edisi 3 Juni 2019, Walter Russell Mead menulis, ketidakcocokan itu berangkat dari kritik-kritik Trump terhadap Eropa. Menurut penulis kolom The Wall Street Journal serta guru besar hubungan internasional di Bard College itu, ada lima kritik pokok Trump terhadap UE.
Pertama, para kaum nasionalis meyakini entitas multinasional seperti UE jauh lebih lemah dan kurang efektif daripada pemerintahan negara-bangsa, Maka, perkembangan UE dinilai justru melemahkan aliansi Barat secara keseluruhan. Dalam pandangan ini, kerja sama di antara negara adalah sesuatu yang baik dan melaluinya sebuah negara dapat mencapai hal-hal yang tidak dapat dicapainya secara sendirian. Namun, mencoba untuk melembagakan secara berlebihan kerja sama antarnegara adalah kesalahan. Struktur birokrasi yang dihasilkannya serta proses pengambilan keputusan yang panjang melumpuhkan kebijakan dan mengasingkan opini publik.
Kritik kedua, Uni Eropa dinilai terlalu Jerman. Alhasil, mengingat pengaruh Jerman itu, Eropa menjadi terlalu ketat dalam kebijakan moneter dan fiskal, tetapi terlalu lunak dalam pertahanan. Kebijakan fiskal dan moneter yang ketat dinilai telah menghambat pertumbuhan Eropa, sedangkan keengganan Jerman untuk memenuhi komitmen NATO melemahkan aliansi pertahanan itu secara keseluruhan.
Ketiga, AS menilai UE terlalu mengedepakan peran negara dalam bidang ekonomi, tetapi terlalu progresif dalam masalah sosial. Dalam pandangan konservatif AS, kebijakan ekonomi yang mengedepankan peran negara terbukti bersifat merongrong pertumbuhan Eropa. Trump juga melihat kebijakan migrasi Eropa—terutama keputusan Kanselir Jerman Angela Merkel pada 2015 untuk menerima begitu banyak migran dari Timur Tengah—adalah sebuah kesalahan.
Kebijakan fiskal dan moneter yang ketat dinilai telah menghambat pertumbuhan Eropa, sedangkan keengganan Jerman untuk memenuhi komitmen NATO melemahkan aliansi pertahanan itu secara keseluruhan.
Masalah keempat, UE dipandang berupaya mengekspor preferensi nilai mereka pada isu hukuman mati, perubahan iklim, pemerintahan global, hubungan antargender, dan sebagainya ke seluruh dunia.
Kelima, Trump tidak menyukai UE terkait masalah perdagangan. Trump meyakini perdagangan efektif oleh UE adalah instrumen yang dimaksudkan untuk membatasi kekuatan AS dan mengurangi pengaruh negara itu dalam negosiasi perdagangan.
Kelima hal tersebut akan selalu menjadi tantangan penting bagi AS dan UE dalam menjalin hubungan. Kegagalan menemukan kompromi di antara mereka akan sedikit banyak mengubah perimbangan dalam konstelasi persaingan aktor-aktor politik global, yang antara lain meliputi Rusia serta China.