Kebijakan deforestasi telah memicu konflik berkepanjangan antara gajah sumatera dan manusia di ekosistem Bukit Tigapuluh, Jambi. Menyusutnya habitat satwa itu secara drastis membuat konflik meningkat empat kali lipat selama hampir 10 tahun terakhir.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
JAMBI, KOMPAS - Kebijakan deforestasi telah memicu konflik berkepanjangan antara gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan manusia di ekosistem Bukit Tigapuluh, Jambi. Menyusutnya habitat satwa itu secara drastis membuat konflik meningkat empat kali lipat selama hampir 10 tahun terakhir. Kondisi itu tanpa penanggulangan berarti.
Unit Mitigasi Konflik Gajah (ECMU) Frankfurt Zoological Society (FZS) mendata sebanyak 346 konflik gajah dan manusia sepanjang 2018 lalu. Rangkaian kejadian itu telah mengakibatkan 9.161 tanaman karet dan sawit mati, 2.475 batang tanaman dan pondok rusak, serta kematian seekor gajah.
Kondisi itu pun disebut-sebut sebagai puncak konflik. “Dari tahun ke tahun, konflik terus bertambah. Tahun 2018 puncaknya,” kata Alber Tetanus, Koordinator ECMU FZS, Minggu (9/6/2019).
Sejak 2010 hingga 2018, konflik terus meningkat. Pada 2010, terpantau 96 konflik. Tahun 2011, naik menjadi 130 kasus. Pada 2017, jumlahnya 271 konflik.
Melonjaknya konflik terjadi seiring dengan menyusutnya tutupan hutan hujan dataran rendah di ekosistem Bukit Tigapuluh. Berdasarkan analisis citra satelit tahun 1985, ekosistem seluas total 651.232 hektar itu masih bertutupan hutan 95 persen. Namun, pada 2005, tutupan menyusut menjadi 77 persen. Tahun 2010, tutupan tersisa 49 persen saja mencakup taman nasional, hutan produksi, dan sebagian kecil area penggunaan lain.
Dalam habitat itu, kawanan gajah yang kini berpopulasi sekitar 140 ekor lebih sering menjelajah di luar Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) karena kondisi TNBT terlalu curam untuk dilintasi. Yang menjadi masalah, hutan penyangga taman nasional dengan cepat beralih fungsi jadi lahan monokultur, transmigrasi, dan okupasi pendatang.
Area penyangga taman nasional semula terpantau 84.042 hektar bertutupan hutan alam menurut citra satelit tahun 2009. Dua tahun kemudian, susut jadi 56.883 hektar, dan tahun 2015 tersisa 34.814 hektar.
Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) Krismanko Padang mengatakan, akibat masifnya pembukaan hutan, keberadaan gajah yang dominan menjelajah di luar taman nasional kian terancam. Sebagian besar kawasan hutan penyangga itu kini tak lagi berupa hutan, melainkan lahan monokultur swasta, kebun rakyat, hingga permukiman transmigran.
Catatan Kompas, deforestasi memicu penyusutan populasi gajah di ekosistem Bukit Tigapuluh. Hingga tahun 1980, masih terdapat sekitar 400 ekor di wilayah itu. Namun, 30 tahun kemudian, tersisa tak sampai 150 ekor saja.
Krismanko menyebutkan, gajah sumatera menjadi satu-satunya subspesies gajah yang masuk kategori paling terpuruk di dunia menurut status konservasi. Meskipun berstatus dilindungi, gajah tinggal dalam habitat yang tidak berstatus dilindungi.
"Masalahnya, semakin banyak pendatang masuk membuka hutan. Mereka menganggap gajah sebagai hama."
Kepala Desa Suo-suo, Kecamatan Sumay, Urista, mengatakan, luasnya hutan yang beralih fungsi jadi monokultur, ditambah dengan banyaknya pendatang, telah memicu konflik dengan satwa. “Kalau penduduk asli, sejak lama hidup damai bersama gajah. Masalahnya, semakin banyak pendatang masuk membuka hutan. Mereka menganggap gajah sebagai hama,” jelasnya.
Alih fungsi hutan di ekosistem ini mulai drastis terjadi tahun 2010 saat Kementerian Kehutanan mengalihfungsikan 61.000 hektar hutan produksi untuk izin hutan tanaman industri. Di saat yang sama, pembalakan dan perambahan liar marak dalam hutan.
Sejak itulah, konflik terpantik. Kelompok gajah yang terdesak mulai merusak tanaman dan pondokan masyarakat pendatang di Suo-suo pada 2011. Konflik serupa terjadi pada tiga lokasi lainnya di wilayah Tebo, mulai dari Desa Muara Sekalo di Kecamatan Sumay, maupun Desa Sekutur Jaya di Kecamatan Serai Serumpun, dan Desa Tanjung di Kecamatan Tujuh Koto.
Sejumlah kelompok gajah berbeda merusak sekitar 1.000 hektar tanaman sawit dan karet penduduk setempat yang merupakan jalur pelintasannya. Konflik terus merembet kian luas di sepanjang jalur perlintasan gajah yang telah diokupasi.
Kasus terbaru, seekor gajah betina tewas pada awal Mei lalu. Lokasi kematiannya berada dalam area wildlife conservation area (WCA) PT Lestari Asri Jaya yang dirambah liar di Kecamatan Sumay, Tebo.
Kepala Seksi Wilayah II Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi Wawan Gunawan mengatakan, pihaknya berupaya mengatasi konflik berkepanjangan itu dengan membangun kawasan ekosistem esensial (KEE) gajah di Bukit Tigapuluh. Dalam kawasan itu, akan dibangun pagar listrik sepanjang 150 kilometer, pusat pendidikan dan konservasi gajah, serta pengembangan ekowisata.
Prosesnya saat ini memasuki tahapan sosialisasi kepada masyarakat. Setelah sosialisasi selesai, berlanjut proses pengajuan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.