Balon warna-warni nan indah diterbangkan untuk menyongsong kegembiraan. Namun, keberadaannya mengganggu dan mengancam keselamatan penerbangan. Problem yang masih jadi pekerjaan rumah bersama.
Oleh
Maria Clara Wresti
·3 menit baca
Seusai Lebaran, sudah jadi tradisi di masyarakat Jawa Tengah, terutama daerah Pekalongan dan Wonosobo, untuk menggelar festival balon udara. Balon warna-warni nan indah diterbangkan ke awan untuk menyongsong kegembiraan perayaan hari-hari besar.
Tradisi ini sudah lama dilakukan, bahkan konon sudah sejak zaman penjajahan Belanda. Namun, balon saat ini makin besar dan diterbangkan makin tinggi karena menggunakan bahan bakar gas berukuran besar. Akibatnya, balon-balon tanpa awak itu terbang hingga ketinggian 30.000 kaki. Hal ini jadi masalah keselamatan karena di ketinggian itu pesawat lalu lalang. Apalagi, jalur di utara Pulau Jawa adalah salah satu jalur penerbangan tersibuk di dunia.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan AirNav Indonesia sudah berulangkali menggelar sosialisasi bahaya menerbangkan balon udara hingga di atas 150 meter. Namun, masyarakat tetap melepaskan balon-balon raksasa ke udara tanpa mengikatnya. Bahkan, sepanjang pekan lalu sedikitnya ada 28 pilot melaporkan melihat balon-balon berada di ketinggian 33.000-36.000 kaki yang merupakan ketinggian jelajah pesawat terbang.
Balon-balon udara di jalur penerbangan berpotensi tersangkut di sayap atau ekor pesawat yang merupakan alat kontrol terbang (elevator, rudder, aileron/alat kendali utama pesawat) yang mengakibatkan pesawat sulit atau tidak dapat dikendalikan sehingga pilot bisa kehilangan kendali.
Balon udara juga bisa masuk ke mesin pesawat yang berakibat mesin mati, terbakar, atau bahkan meledak. Balon udara juga bisa menutup pitot static tube sensor (sensor utama pengukur ketinggian dan kecepatan pesawat) yang bisa mengakibatkan terganggunya, bahkan tidak berfungsinya, informasi ketinggian dan kecepatan pesawat.
Selain itu, balon udara juga berpotensi menutupi bagian depan atau pandangan pilot sehingga pilot kesulitan mendapatkan visual guidance (panduan pandangan kasat mata) dalam pendaratan.
Balon udara bisa masuk ke mesin pesawat yang berakibat mesin mati, terbakar, atau bahkan meledak.
Potensi bahaya seperti ini kurang disadari oleh masyarakat yang awam penerbangan. Mereka lupa atau tidak menyadari bahwa ada kesibukan di atas udara yang sangat rentan dengan bahaya.
Kesadaran masyarakat akan bahaya penerbangan memang masih menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh pemangku kepentingan. Bahkan, beberapa kali masyarakat menjadikan potensi bahaya itu sebagai gurauan. Mereka, misalnya, mengaku membawa bom kepada awak pesawat. Pelakunya tidak hanya penumpang kelas ekonomi, melainkan juga penumpang kelas bisnis, laki-laki dan perempuan.
Gurauan yang tidak lucu ini tidak akan disambut tawa oleh kru pesawat karena akan membuat penerbangan terlambat minimal satu jam. Seluruh barang di bagasi akan dikeluarkan lagi untuk diperiksa. Sementara penumpang akan dikeluarkan dari pesawat untuk diperiksa ulang untuk memastikan keberadaan bom.
Penumpang yang akan melanjutkan penerbangan dengan waktu yang mepet sudah pasti akan terlambat. Begitu juga semua penerbangan, yang akan menggunakan pesawat itu, akan terlambat. Bisa dibayangkan berapa kerugiaan yang ditimbulkan baik materi maupun immateri akibat gurauan semacam itu.
Gurauan tersebut melanggar Pasal 437 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Dalam salah satu ayat di undang-undang itu ditulis, setiap orang yang menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan dipidana dengan pidana penjara paling lamasatu tahun.
Di ayat lain disebutkan bahwa apabila gurauan itu kemudian mengakibatkan matinya seseorang pelakunya bisa dipidana penjara paling lama 15 tahun.
Soal balon udara sudah diatur dalam Peraturan Menteri (PM) Perhubungan Nomor 40 Tahun 2018. Jika mengakibatkan kecelakaan, pelakunya bisa dituntut berdasarkan Undang-undang 1/2009 tentang Penerbangan.
Kesadaran masyarakat akan keselamatan penerbangan masih harus ditumbuhkan. Sosialisasi baik dengan pendekatan individu, kelompok, dan juga melalui perangkat pemerintahan, harus terus dilakukan. (M CLARA WRESTI)