Pemegang saham BDNI, Sjamsul Nursalim, yang kembali ditetapkan sebagai tersangka perkara korupsi BLBI, masih berada di Singapura. Sjamsul pun diminta bersikap kooperatif dalam pemanggilan selanjutnya untuk mengikuti persidangan.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia atau BDNI, Sjamsul Nursalim, yang kembali ditetapkan sebagai tersangka perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI, masih berada di Singapura. Sjamsul pun diminta bersikap kooperatif dalam pemanggilan selanjutnya untuk mengikuti persidangan.
”Ya, benar, Pak Nursalim bersama Ibu (istri Sjamsul Nursalim, Itjih Nursalim) memang saat ini berada di Singapura, tetapi tepatnya berada di mana saya enggak tahu,” ujar kuasa hukum Sjamsul, Maqdir Ismail, saat dihubungi Kompas, Selasa (11/6/2019).
Maqdir menilai, putusan penetapan tersangka Sjamsul dan Itjih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Senin, 10 Juni, adalah langkah yang janggal. Sebab, proses penetapan tersangka seharusnya didahului pemeriksaan sebagai calon tersangka.
Penetapan tersangka Sjamsul dan Itjih merupakan pengembangan kasus korupsi Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung yang sebelumnya ditangani KPK. Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, hakim menyatakan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul sebesar Rp 4,58 triliun.
Angka ini merujuk pada Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2017 sebagai kerugian negara. Dengan begitu, Sjamsul dan Itjih akan dikenai Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Langkah ini diambil KPK untuk memulihkan aset negara.
”KPK ini tidak jujur. Dalam hasil audit yang dibuat oleh BPK pada 2017, sebenarnya ada satu nama yang hilang dan seolah digantikan oleh Ibu Nursalim (Itjih). Padahal, dalam laporan itu, Ibu Nursalim tidak disebut di kegiatan yang dianggap merugikan keuangan negara,” tutur Maqdir.
Lebih lanjut, Maqdir juga mengatakan, penyelesaian kasus BLBI tidak dapat diselesaikan melalui peradilan pidana. Sebab, perkara ini menyangkut persoalan administrasi yang seharusnya termasuk dalam perkara perdata.
”Dalam ketentuan MSAA (Master Settlement Acquisition Agreement), perselisihan antara BPPN dan Pak Nursalim terkait penandatanganan penyelesaian pengambilalihan pengelolaan BDNI itu harusnya diperkarakan ke perdata. Lagi pula, persoalan penandatanganan ini, kan, sudah selesai,” ujarnya.
Maqdir berpendapat, Sjamsul sebenarnya tidak dapat lagi dimintai pertanggungjawaban karena telah memperoleh release and discharge yang berarti sudah menyelesaikan seluruh kewajiban dalam MSAA. Dengan begitu, hak tagih atas utang terhadap Sjamsul pun menjadi hilang atau hapus.
Terkait persidangan, KPK sebelumnya telah menegaskan agar Sjamsul dan Itjih dapat hadir. Selain untuk memberikan kesempatan bagi para tersangka untuk menggunakan hak jawab, kehadiran mereka pun akan membuat keterangan atas perkara menjadi utuh.
Maqdir tidak dapat memastikan kehadiran Sjamsul dan Itjih dalam persidangan yang akan digelar. Sebab, menurut dia, kasus ini sudah selesai dan kalaupun ingin kembali diperkarakan, seharusnya melalui peradilan perdata.
Meski demikian, apabila memang pada akhirnya kedua tersangka tetap tidak hadir, persidangan akan dilakukan secara in absentia atau dengan ketidakhadiran. Langkah ini dipilih demi memulihkan aset negara.
Penegakan hukum
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, menyampaikan, DPR menyerahkan soal kelanjutan penanganan perkara BLBI kepada aparat penegak hukum yang dalam hal ini adalah KPK. Ia menilai, yang terpenting adalah membangun kesadaran bahwa harus menghormati kewenangan penegak hukum.
”Namun, penegak hukum juga harus menghormati hak dari siapa pun yang ditersangkakan untuk mendapat bantuan hukum dan membela dirinya dengan baik. Jangan penanganan kasus korupsi ini ’difestivalisasi’ atau seolah mereka yang menjadi tersangka pasti bersalah,” katanya.
Arsul menegaskan, tidak hanya DPR, tetapi pemerintah dan lembaga peradilan juga perlu mendukung penyelesaian semua kasus dugaan korupsi yang besar, tidak hanya perkara BLBI.
”Kemudian, semua juga perlu mengawasi penegak hukum agar proses hukumnya tidak tebang pilih dan tidak proporsional,” ucapnya.