Tujuh Provinsi Akan Bahas Tenaga Kerja
Yayat Supriatna, pengamat tata kota dari Universitas Trisaksi Jakarta, berpendapat, urbanisasi yang menjadikan kampung berubah menjadi kota adalah persoalan nasional.
Mitra Praja antara Provinsi DKI Jakarta dan enam provinsi lain masih berlanjut untuk menekan laju urbanisasi. Setelah 18 tahun Mitra Praja ada, pembahasan soal tenaga kerja baru akan dilakukan.
JAKARTA, KOMPAS — Perjanjian kerja sama antartujuh provinsi terkait persoalan tenaga kerja sudah diinisiasi oleh sekretariat bersama ke dinas terkait. Urusan tenaga kerja akan dibahas bersama dalam waktu dekat.
Mitra Praja Utama (MPU) beranggotakan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Bali, dan Lampung. Dari catatan Kompas, MPU mulai terbentuk sejak tahun 2001 atau 18 tahun silam. Kepala Biro Tata Pemerintahan Pemprov DKI Jakarta Premi Lasari mengatakan, perjanjian kerja sama tenaga kerja dilakukan dalam rangka menghadapi bonus demografi di provinsi MPU.
”Ini nanti jadi bahan masukan saat rapat gabungan daerah-daerah pada Juli 2019. Rapat ini lebih ke arah pembahasan teknis karena dinas-dinas terkait hadir,” ujar Premi, Senin (10/6/2019).
Premi mengatakan, sebelumnya, ada empat program yang sudah dibahas MPU, yaitu tentang orang dengan masalah kejiwaan/orang dengan gangguan jiwa; pariwisata, perdagangan, dan investasi; ketahanan pangan; serta kebencanaan.
Baca juga: Tergoda Cerita Kota
Yayat Supriatna, pengamat tata kota dari Universitas Trisaksi Jakarta, berpendapat, urbanisasi yang menjadikan kampung berubah menjadi kota adalah persoalan nasional.
”Di kita, persoalan terbesar itu, tidak ada lembaga yang mengelola dan bertanggung jawab tentang urbanisasi. Persoalan urbanisasi seolah-olah persoalan daerah. Padahal urbanisasi itu sudah menjadi persoalan nasional. Urbanisasi itu bukan hanya pada masalah angkatan kerja atau penduduk yang berpindah. Tetapi, terkait pada to urban, pengotaan atau menjadi kota,” kata Yayat.
Di kita, persoalan terbesar itu, tidak ada lembaga yang mengelola dan bertanggung jawab tentang urbanisasi. Persoalan urbanisasi seolah-olah persoalan daerah. Padahal urbanisasi itu sudah menjadi persoalan nasional.
Lebih lanjut Yayat mengatakan, Mitra Praja dengan tujuh daerah pengirim tenaga urban ke Jakarta belum terlihat gerakannya. ”Pertanyaannya, nota kesepahamannya sudah ada, aksinya tidak ada,” ujarnya.
Baca juga: Urbanisasi Berpotensi Rusak Ekosistem Ciliwung
Layani pendatang
Terkait pendatang yang tiba bersamaan dengan arus balik Lebaran, setiap daerah memiliki kebijakannya masing-masing.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, pemerintah daerah akan memberikan pelayanan jasa bina kependudukan kepada semua warga, termasuk pendatang baru di Jakarta. Ia meminta warga yang baru datang untuk melapor ke petugas.
Di sisi lain, Anies memastikan tidak melakukan pembatasan atau pelarangan atas kedatangan orang. ”Jadi bedanya (dengan pemda lain), kami tidak melakukan operasi penangkapan-penangkapan karena memang tidak perlu ada yang ditangkap. Semuanya warga negara Indonesia (WNI) yang berhak untuk bergerak ke mana saja selama mereka berada di wilayah Indonesia,” kata Anies dalam berbagai kesempatan, termasuk saat halalbihalal Lebaran, Rabu (5/6/2019).
Selisih data pendatang tidak banyak. Pada Lebaran 2018, jumlah pemudik 5.865.000 orang. Adapun jumlah orang yang balik ke Jakarta 5.934.000 orang. —Ada selisih 69.000 orang, tapi angka selisih itu dari tahun ke tahun tidak beda banyak. Tahun lalu tidak ada operasi yustisi,” kata Anies.
Untuk tahun ini, Pemprov DKI memprediksi jumlah pendatang 71.000 orang.
Dhany Sukma, Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) DKI Jakarta, menjelaskan, DKI fokus memberikan pelayanan kependudukan. Kami akan melakukan pendataan. Kami identifikasi melalui spot data di Jakarta,” jelasnya.
Untuk mengetahui jumlah pendatang yang tahun ini ikut datang bersama arus balik Lebaran, Disdukcapil bekerja sama dengan posko terpadu Kementerian Perhubungan. Dengan begitu, data penduduk yang pergi dan yang datang selama Lebaran terlihat.
Pendataan warga oleh Disdukcapil DKI akan dilakukan pada 14–25 Juni, bekerja sama dengan RT dan RW. Penduduk yang tercatat akan diberikan pelayanan kependudukan.
Pemerintah Kota Tangerang Selatan juga tidak akan melakukan operasi yustisi kependudukan. Akan tetapi, mereka akan mendata penduduk nonpermanen.
Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany mengatakan, perpindahan penduduk di seluruh Indonesia pada dasarnya merupakan hak WNI. Peraturan dan ketentuan tentang hal ini lebih bersifat teknis dan administratif, seperti mekanisme perpindahan penduduk dan pendataan penduduk nonpermanen.
Terkait pendataan penduduk nonpermanen, kata Airin, akan dilakukan dalam rangka penyusunan kebijakan.
Baca juga: Jakarta 1970-an, Urbanisasi dan KB
Airin berpendapat, jumlah sumber daya penduduk yang besar pada prinsipnya harus dilihat sebagai peluang mengakselerasi pembangunan. ”Yang perlu dilakukan adalah mengelola sumber daya tersebut agar menjadi kapabel dan kompeten sehingga mampu memberikan kontribusi terhadap kemajuan kota,” katanya, kemarin.
Di sisi lain, jumlah penduduk yang besar menuntut sebuah kota untuk mampu menyediakan fasilitas dan layanan publik yang layak dan tentunya ini merupakan sebuah tantangan. Satu hal yang harus dicatat, setiap kota memiliki batas daya dukung terhadap jumlah penduduk. Jika batas daya dukung ini sudah terlampaui, kualitas hidup penduduk di kota tersebut akan menurun.
Airin mengatakan, pertumbuhan penduduk di Tangsel setiap tahun setelah Lebaran tidak terlalu melonjak tajam.
Adapun Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah mengatakan, pihaknya akan melakukan operasi yustisi kependudukan. ”Pasti akan dilakukan (operasi kependudukan).”
Wali Kota mengimbau pendatang yang mau tinggal di Kota Tangerang untuk melengkapi dokumen kependudukan dan kepastian pekerjaan. Dengan begitu, tidak menambah beban bagi Kota Tangerang. ”Pastikan mereka (pendatang) punya pekerjaan. Kenapa? Karena enggak mudah mencari pekerjaan di Kota Tangerang atau bahkan daerah sekitar,” ujarnya, Sabtu.
Daya saing
Wakil Wali Kota Depok Pradi Supriatna, Senin, mengatakan, tidak ada larangan bagi warga yang ingin tinggal di Depok. Namun, isu urbanisasi menjadi sangat penting dilihat dari kualitas manusianya.
”Ada beban yang ditanggung pemerintah, yaitu memberikan pelayanan seperti rumah atau lapangan pekerjaan kepada warga yang tidak memiliki kompetensi dan keahlian. Sementara ada warga ber-KTP Depok yang perlu diperhatikan terlebih dahulu, terutama untuk menyerap tenaga kerja,” kata Pradi.
Ia menuturkan, pendatang tidak bisa serta-merta mendapatkan pelayanan hidup, terutama bagi mereka yang tidak memiliki kompetensi.
”Menyediakan rumah dan lapangan pekerjaan untuk pendatang? Kami belum berpikir sampai situ. Warga asli Depok (KTP Depok) adalah prioritas. Oleh karena itu, penting bagi pendatang memiliki kompetisi. Ini jadi salah satu solusi menjaga kualitas kota agar tidak terjadi ledakan jumlah penduduk dan pengangguran yang lebih besar,” katanya.