Menuju Cita-cita Keadilan Elektoral
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memperkuat sejumlah kewenangan Badan Pengawas Pemilu. Sebuah upaya menghadirkan asas ”adil” terhadap penyelenggaraan pemilu.
Penguatan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) antara lain diatur dalam Pasal 461 UU 7/2017 tentang Pemilu, yakni terkait penyelesaian penanganan pelanggaran administratif pemilu. Penyelesaian itu meliputi perbaikan administrasi, tata cara, prosedur atau mekanisme yang sesuai dengan perundang-undangan; teguran tertulis; hingga sanksi dengan tak diikutsertakan dalam tahapan pemilu tertentu.
Pasal 462 UU No 7/2017 tentang Pemilu mengikat kewenangan Bawaslu itu sebagai sesuatu yang wajib diikuti Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik di tingkat nasional maupun KPU kabupaten/kota, dan provinsi. Dalam waktu tiga hari setelah putusan Bawaslu mengenai pelanggaran administratif itu dibacakan, KPU wajib menindaklanjuti putusan itu. Bila tidak ditindaklanjuti dalam batas waktu yang diatur, KPU bisa diadukan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
UU yang sama hanya mengecualikan sifat wajib tindak lanjut rekomendasi dan putusan Bawaslu itu untuk tiga hal. Tiga hal itu termaktub dalam sengketa proses pemilu, yakni yang terkait dengan verifikasi partai politik peserta pemilu; penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi; dan penetapan pasangan calon (presiden-calon wakil presiden). Pasal 469 UU No 7/2017 tentang Pemilu mengatur, putusan Bawaslu terkait dengan tiga hal itu bisa dibanding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Putusan PTUN terkait tiga hal itu bersifat final dan mengikat.
Kewenangan Bawaslu di dalam Pasal 468 Ayat (2) UU No 7/2017 tentang Pemilu juga menempatkan badan pengawas itu sebagai badan pengadil atau ajudikasi yang menyelesaikan sengketa dan pelanggaran di setiap tahapan pemilu. Mekanisme ajudikasi yang dijalankan Bawaslu pada praktiknya menyerupai lembaga pengadilan pada umumnya, yakni memeriksa perkara dengan format majelis, menghadirkan saksi, dan memeriksa alat bukti dari pihak penggugat dan tergugat. Persidangan di Bawaslu juga digelar terbuka untuk umum.
Peran Bawaslu tersebut jauh berbeda bila dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 2014, misalnya, Bawaslu hanya berperan memberikan rekomendasi sanksi atas pelanggaran administratif. Adapun kewenangan eksekutorial, sebagaimana diatur UU Pemilu sebelumnya, yakni di dalam Pasal 255 UU No 8/2012 tentang Pemilu, berada di tangan KPU.
Dalam penindakan pelanggaran pidana pemilu, UU 7/2017 memberikan peran koordinasi lebih besar kepada Bawaslu. Sekalipun lembaga penegak hukum yang tergabung dalam sentra penegakan hukum terpadu (gakumdu), yakni kepolisian, kejaksaan, memiliki otoritas sesuai tanggung jawab yuridis masing-masing, UU 7/2017 memberikan peran koordinasi melekat ke Bawaslu. UU Pemilu mengamanatkan anggaran gakumdu diambilkan dari anggaran Bawaslu. Dampak dari mekanisme anggaran itu, sekretariat gakumdu kini berada di kantor Bawaslu.
Peran koordinasi yang besar di tangan Bawaslu itu tidak diatur sebelumnya dalam UU 8/2012 tentang Pemilu. Di UU yang lama, gakumdu tidak diatur detail. Pasal 267 UU 8/2012 tentang Pemilu menyebutkan, ketentuan lebih lanjut tentang sentra gakumdu diatur berdasarkan kesepakatan bersama antara pimpinan kepolisian, kejaksaan, dan Bawaslu.
Penyempurnaan desain
Penguatan Bawaslu di Pemilu 2019, bila dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, membawa angin segar kendati masih menyisakan tantangan di masa depan.
Direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, penguatan Bawaslu menggambarkan desain penegakan hukum pemilu yang lebih baik dalam Pemilu 2019 daripada Pemilu 2014. Desain penegakan hukum pemilu yang diatur dalam UU 7/2017 lebih detail dan memberikan kewenangan lebih besar kepada Bawaslu daripada desain di UU 8/2012 yang dirujuk untuk penyelenggaraan Pemilu 2014.
Peran penyelesaian sengketa Pemilu 2019 lebih banyak diambil Bawaslu dan jajarannya di daerah. Keberadaan Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota yang kini tidak lagi bersifat ad hoc atau sementara membuat persoalan pemilu di setiap tingkatan bisa segera diselesaikan.
”Sekalipun sistem keadilan pemilu kita banyak tambal sulam, pelan-pelan mulai menemukan desainnya, dan mulai terlihat kanalisasi dalam pencarian keadilan elektoral itu,” kata Titi.
Kanalisasi pencarian keadilan elektoral itu antara lain terlihat dari kecenderungan turunnya permohonan sengketa hasil atau perselisihan hasil pemilu (PHPU) calon anggota DPR, DPRD, dan DPD ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pada Pemilu 2014, ada 903 permohonan sengketa PHPU legislatif ke MK. Tahun 2019, hingga 1 Juni, tercatat 337 permohonan PHPU legislatif yang diajukan ke MK.
Menurut Titi, hal ini merupakan perkembangan positif karena peserta pemilu tidak lagi menjadikan MK sebagai ”keranjang sampah” yang menjadi tempat terakhir bagi mereka untuk mencari keadilan elektoral. Kanal pencarian keadilan kini semakin lebar karena Bawaslu dan jajarannya memiliki wewenang lebih luas dan sifatnya eksekutorial.
”Jika dulu peserta pemilu ke Bawaslu tidak puas karena sifat putusannya rekomendasi, mereka ke MK. Sekarang, rasionalitas itu berubah. Sebab, pada tahapan pemilu, persoalan mereka bisa ditangani Bawaslu dan jajarannya hingga di daerah. Kalau ingin maju kembali ke MK karena tidak puas dengan putusan Bawaslu, mereka tentu harus rasional dan menimbang betul,” ujar Titi.
Kendati desain penegakan hukum pemilu dinilai membaik, cita-cita keadilan elektoral belum sepenuhnya tercapai. Bawaslu di satu sisi kurang progresif dalam penegakan hukum politik uang. Hingga 31 Mei 2019, ”baru” dikeluarkan 25 putusan pidana pemilu soal politik uang (money politics).
Problem regulasi
Ketua Bawaslu Abhan, dalam diskusi dengan media beberapa waktu lalu, mengatakan, ada problem regulasi pada penanganan politik uang. UU 10/2016 tentang Pilkada mengatur sanksi politik uang dikenakan baik kepada pemberi maupun penerima. Adapun di dalam UU Pemilu, hanya pemberi yang dikenai sanksi.
”Dalam UU Pilkada, pemberi dan penerima sama-sama bisa dihukum. Hal ini bisa menjadi peringatan bagi publik sehingga mereka berhati-hati karena sama-sama bisa dihukum. Namun, dalam UU 7/2017 tak demikian. Yang dipidana hanya pemberi,” kata Abhan.
Penegakan hukum dalam politik uang juga lemah karena subyek pelaku dalam UU 7/2017 tentang Pemilu tidak mengatur semua orang, dan terbatas hanya kepada mereka yang menjadi tim kampanye atau peserta pemilu.
Titi mengatakan, desain penegakan hukum pemilu masih perlu dikembangkan. Pengawasan terhadap dana kampanye, misalnya, saat ini masih lemah dan masih terkesan sangat administratif dan tidak substantif. Kepatuhan dalam pelaporan dana kampanye masih menjadi indikator utama, sedangkan substansi sumber dana dan penggunaannya kurang mendapatkan perhatian.
Oleh karena itu, pembahasan revisi UU Pemilu selanjutnya harus dilakukan dengan saksama sehingga berbagai aspek terkait dengan pencarian keadilan, termasuk pengawasan dana kampanye dan penanganan politik uang, bisa dibahas detail.
”UU Pemilu tidak cukup dibahas dalam tujuh bulan. Desain UU Pemilu semestinya dipertimbangkan teliti dengan tujuan mencapai keadilan elektoral,” kata Titi.
Semoga saja....