Semestinya tak ada alasan populis lagi untuk menetapkan harga bahan bakar minyak (BBM) tak sesuai kenyataan. Pelajaran di masa lalu, selain tak mendidik masyarakat berperilaku hemat, tarif listrik dan harga jual BBM yang tak berubah bertahun-tahun menyebabkan penerimaan badan usaha (Pertamina dan PLN) tertekan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Pemilu 2019 sudah selesai. Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024 yang dilantik nanti harus memerhatikan kebijakan mengenai harga jual energi dengan cermat. Tak ada lagi alasan populis dengan menetapkan harga yang tak sesuai kenyataan.
Pelajaran di masa lalu, tarif listrik dan harga jual bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar bersubsidi tak berubah sampai 2019. Alasan pemerintah adalah semata-mata menjaga daya beli masyarakat. Kebijakan itu, selain tak mendidik masyarakat berperilaku hemat, menyebabkan penerimaan badan usaha (Pertamina dan PLN) tertekan.
Secara umum, harga jual listrik dan BBM dipengaruhi tiga faktor, yaitu nilai tukar rupiah terhadap dollar AS; harga minyak mentah dunia atau harga batubara; dan inflasi. Harga minyak dunia dan nilai tukar berpengaruh langsung terhadap harga jual BBM. Pasalnya, sebagian BBM dan minyak mentah kita didapat dari impor. Produksi minyak dalam negeri yang kurang dari 800.000 barel per hari belum cukup memenuhi konsumsi BBM nasional yang mencapai 1,5 juta barel per hari.
Sejak April 2016, harga jual premium dan solar bersubsidi tak pernah berubah, yaitu masing-masing Rp 6.450 per liter dan Rp 5.150 per liter. Harga sebesar itu ditetapkan saat harga minyak dunia rata-rata 40 dollar AS per barel. Sekarang, mengacu pada laman Bloomberg, harga minyak mentah dunia di kisaran 60 dollar AS per barel. Beberapa waktu lalu, harga minyak sempat menyentuh level 75 dollar AS per barel.
Dampak bagi korporasi lewat penetapan harga jual dengan model tersebut di atas adalah merosotnya penerimaan kas. Pertamina sempat menyebut ada defisit hingga Rp 2.000 per liter akibat harga jual jauh di bawah harga keekonomian. Defisit korporasi menyebabkan terbatasnya investasi perusahaan lantaran penerimaan yang terbatas. Agak kurang baik apabila solusinya kemudian adalah menambah utang perusahaan untuk dijadikan modal kerja.
Tulisan ini tidak untuk mengimbau pemerintah menerapkan kebijakan harga pasar atau liberal. Sekali lagi, tidak. Akan tetapi, apa yang pernah diterapkan pemerintah di masa lalu sudah tepat. Harga jual BBM dievaluasi setiap tiga bulan dan disesuaikan dengan pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS maupun harga minyak mentah dunia.
Evaluasi berkala dengan menyesuaikan pergerakan harga minyak dunia memberikan pelajaran bagi masyarakat.
Evaluasi berkala dengan menyesuaikan pergerakan harga minyak mentah dunia memberikan pelajaran bagi masyarakat. Pertama, minyak sebagai energi fosil yang tak terbarukan tidak bisa diperlakukan dengan murah. Lantaran tak bisa diperbarui, minyak sejatinya adalah "barang mahal". Konsumen harus hemat dan bijaksana memakai BBM.
Kedua, keterbatasan penggunaan BBM lewat kebijakan harga dan pemakaian yang bijaksana, sejatinya bakal memaksa banyak pihak, terutama pengambil kebijakan, untuk memikirkan pilihan sumber energi lain. Contohnya adalah pengembangan kendaraan listrik untuk menggantikan kendaraan berbahan bakar minyak. Begitu pula pemanfaatan sumber energi terbarukan sebagai pilihan lain dari pembakaran batubara, misalnya tenaga panas bumi (geotermal); mikrohidro; bahan bakar nabati; atau tenaga surya.
Ketergantungan sepenuhnya pada minyak juga merongrong neraca perdagangan Indonesia. Defisit miliaran dollar AS akibat impor minyak dan BBM sepanjang 2018 pada neraca perdagangan ibarat menjadi rapor merah. Defisit akan menekan posisi rupiah terhadap dollar AS sehingga semakin lemah.
Kembali lagi pada pokok persoalan. Pemerintahan baru periode 2019-2024 memiliki momentum untuk memperbaiki kebijakan harga jual energi. Tak ada lagi alasan populis. Pertimbangan logis dan realistis harus dikedepankan.