JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan argumentasi dan dalil yang kokoh dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi tidaklah cukup. Untuk benar-benar memperkarakan selisih hasil pemilu di MK, tim hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno perlu menunjukkan bukti-bukti primer yang kuat guna menunjukkan adanya pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Kliping pemberitaan dari media mengenai berbagai kebijakan pemerintahan petahana semata dinilai tidak memadai untuk membuktikan adanya pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
”Tidak cukup hanya argumentasi yang dimunculkan untuk membangun framing pemilu yang curang. Ini semestinya harus dibuktikan. Dan, pelanggaran TSM itu bukanlah pelanggaran yang tidak dapat terukur. Itu ada indikator yang harus terpenuhi. Tidak bisa dinilai secara umum saja,” kata Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi, Kamis (13/6/2019), dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) di Jakarta.
Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden 2019 akan digelar pada Jumat (14/6/2019).
Seperti diketahui, MK pada Selasa (11/6/2019) telah meregistrasi permohonan sengketa hasil pemilihan presiden yang diajukan pasangan calon Prabowo-Sandiaga. MK akan menggunakan berkas permohonan yang diserahkan tim kuasa hukum Prabowo-Sandi pada 24 Mei, sedangkan perbaikan permohonan dijadikan lampiran.
Saat mendaftarkan sengketa, tim Prabowo-Sandi menyerahkan berkas setebal 37 halaman. Sementara berkas perbaikan permohonan yang disampaikan pada Senin (10/6/2019) jauh lebih tebal, yakni 146 halaman.
Menurut Veri, untuk membuktikan adanya pelanggaran TSM, tim hukum Prabowo-Sandi perlu menunjukkan sejumlah bukti konkret.
Pertama, perlu dibuktikan bahwa adanya perintah untuk melibatkan struktur pemerintahan. Kedua, apabila memang ada perintah, perlu dibuktikan apakah benar perintah ini dilaksanakan.
Ketiga, apabila benar dilaksanakan, harus ada bukti yang menunjukkan bahwa perintah ini diterapkan secara masif. Terakhir, perlu dibuktikan bahwa tindakan terstruktur itu memengaruhi hasil pemilu, atau melebihi selisih suara antara dua pasangan calon yang bersaing tersebut.
Untuk membuktikan adanya pelanggaran TSM, tim hukum Prabowo-Sandi perlu menunjukkan sejumlah bukti konkret.
Selain itu, menurut Veri, ada keterputusan argumen dalam dokumen permohonan Prabowo-Sandi. Permohonan itu tidak menjelaskan kaitan konkret antara penyelenggaraan pemilu yang dituduh curang dan penggagalan kemenangan Prabowo-Sandi.
”Misalnya (Prabowo-Sandi) klaim kemenangan 10 persen. Maka harus dibuktikan, kemenangan 10 persen itu diperoleh dari mana,” kata Veri.
Dalam pokok permohonannya yang diperbaiki, kuasa hukum Prabowo-Sandiaga mengklaim bahwa pasangan calon Prabowo-Sandi seharusnya memperoleh 52 persen suara nasional, sementara pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin memperoleh 48 persen.
Komisi Pemilihan Umum pada Selasa (21/5/2019) telah menetapkan bahwa Jokowi-Amin mendapatkan 55,5 persen suara nasional, sedangkan Prabowo-Sandi sebesar 44,5 persen.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti juga menyampaikan hal yang serupa. Menggunakan berbagai kutipan ahli kepemiluan dan konstitusi untuk mendukung sebuah dalil dalam dokumen permohonan tidaklah memadai.
Menggunakan berbagai kutipan ahli kepemiluan dan konstitusi untuk mendukung sebuah dalil dalam dokumen permohonan tidaklah memadai.
Netralitas hakim MK
Netralitas hakim MK pun, menurut Bivitri, juga tidak perlu diragukan. Bivitri menyebut bahwa banyak studi menunjukkan, mekanisme pemilihan sembilan hakim MK oleh tiga pihak yang berbeda—pemerintah, DPR, dan Mahkamah Agung—bertujuan untuk menjaga netralitas.
Untuk itu, pengerahan massa ke MK dengan tujuan menekan MK agar berlaku adil, menurut Bivitri, tidak diperlukan. ”Tekanan massa itu, saya kira, tidak akan terlalu berpengaruh. Dari segi bagaimana mereka dipilih, saya yakin mereka netral,” kata Bivitri.
Tindakan Prabowo yang mengimbau pendukungnya untuk tidak mendatangi MK dan menyerahkan hasil kepada MK, menurut peneliti The Indonesian Institute, Aulia Y Guzasiah, perlu diapresiasi.
Aulia berpendapat, guna menurunkan tensi politik pasca-Pemilu 2019 yang tidak kunjung mereda, setiap elite politik perlu mengikuti langkah tersebut.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jerry Sumampouw mengingatkan, siapa pun harus bisa menerima putusan MK, apa pun hasilnya.