Apakah "polisi bahasa" itu? Pekolom Eko Endarmoko melontarkan tanyaan tersebut dalam buku terbarunya, Polisi Bahasa: Tentang Peran Penutur yang Absen (PBK, 2019). Tanyaan itu ia jawab sendiri samar-samar: bahwa polisi bahasa itu “sejak semula berdiri di sana dengan teguh berpegang pada apa yang seharusnya. Normatif preskriptif.” Jika aparat kepolisian negara bertugas menegakkan ketertiban dalam masyarakat, katanya lagi, polisi bahasa “sama sekali tak memiliki kewenangan memaksa, atas nama hukum (bahasa) sekalipun.”
Sebenarnyalah “polisi bahasa” tak pernah nyata mewujud di negeri ini. Benar juga tak punya kuasa memaksakan suatu aturan yang dibuatnya. Istilah “polisi bahasa” cuma sebutan populer yang merujuk kepada lembaga, fungsi, atau tindakan normatif tadi demi pembinaan dan pengembangan bahasa. Orang ramai mungkin akan mengingat balai bahasa, direktorat bahasa, lembaga bahasa, pusat bahasa, hingga badan bahasa. Jika cakupannya diperluas, siapa pun yang peduli menjaga ketertiban (ber)bahasa, termasuk rubrik bahasa di media, mestinya juga berlaku sebagai polisi bahasa.
Sejauh terlacak, sebutan “polisi bahasa” bermula di Provinsi Québec, Kanada, yang berbahasa resmi Perancis. Istilah itu julukan tak resmi bagi Office québécos de la langue française (OQLF, sejenis badan bahasa di sini), yang dibentuk semasa pemerintahan liberal Jean Lesage pada 1961. Historis, OQLF bisa dilihat sebagai ekspresi ketegangan akut antara golongan anglofon dan frankofon saat kolonialisme Inggris dan Perancis membelah Kanada pada abad ke-18/19. Tak heran bila tujuan organisasi itu “memajukan Canadianism yang hebat dan melawan Anglicanism”.
Dalam upaya “menormalkan bahasa di Kanada dan mendukung pembinaan bahasa utama Perancis di Québec,” OQLF bisa bertindak layaknya polisi beneran. Pernah “merazia” motel yang memajang kata reception di meja penerima tamu dan meralatnya dengan office. Restoran Hull didenda gara-gara menuliskan dry gin pada daftar menunya. Resto Italia juga disurati agar mencoret sebutan menu andalannya pasta atau antipasto, disulih jadi des pâtes jika mengikut citarasa Perancis. Begitu pula hamburger dilipat oleh hambourgeois yang lebih “merancis.” Dan lain-lain.
Dijuluki language cops atau tongue troopers menurut tuturan Inggris, OQLF menjadi agen francization atawa “pemerancisan” bagi imigran yang datang ke Québec, terutama kelompok yang tak berbahasa Inggris tak pula berperancis dari Asia, Eropa (non-Inggris), dan Afrika. Kelompok pendatang itu ditengarai tak hanya berbahasa-asal di rumah masing-masing, tapi juga “ngobrol di saluran telepon” dengan bahasa serupa. Berdasarkan Undang-undang Bahasa Perancis (Bill 101), mereka harus “dibentuk” jadi frankofon di tanah Québec.
OQLF tumbuh sebagai penjaga dan pembela bahasa nasional yang andal di negerinya dan, dengan demikian, meneguhkan identitas budaya sendiri. Dengan cara berbeda, fungsi dan tugas semacam itu patut dimangkuskan pada Badan Bahasa di Tanah Air—tanpa perlu disebut-sebut sebagai “polisi” dalam nada peyoratif.
KASIJANTO SASTRODINOMO, Alumnus FIB Universitas Indonesia