Anjloknya Harga Gabah Bisa Menekan Kesejahteraan Petani
Di tengah inflasi terhadap komoditas pangan, beras mengalami deflasi sejalan dengan anjloknya harga gabah di tingkat petani. Sebagian kalangan menilai kenyataan ini salah satunya dipicu oleh tidak optimalnya penyerapan beras oleh Badan Urusan Logistik. Imbasnya, kesejahteraan petani semakin tertekan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah inflasi terhadap komoditas pangan, beras mengalami deflasi sejalan dengan anjloknya harga gabah di tingkat petani. Sebagian kalangan menilai, kenyataan ini salah satunya dipicu oleh tidak optimalnya penyerapan beras oleh Bulog. Imbasnya, kesejahteraan petani semakin tertekan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mendata, inflasi umum pada Mei 2019 sebesar 0,68 persen secara bulanan dan 3,32 persen secara tahunan. Berdasarkan pengeluaran, kelompok bahan makanan mengalami inflasi sebesar 2,02 persen secara bulanan dan 4,14 persen secara tahunan.
Andil kelompok bahan makanan terhadap inflasi bulanan sebesar 0,43 persen. Dalam kelompok ini, beras memberikan sumbangan deflasi sebesar 0,02 persen. Deflasi beras disebabkan penurunan harga gabah di tingkat petani. Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp 4.356 per kilogram pada Mei 2019. Harga ini turun 0,02 persen dibanding dengan bulan sebelumnya dan merosot 4,36 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja mengatakan, deflasi gabah di tengah inflasi merupakan kondisi yang perlu mendapatkan perhatian. ”Artinya, pendapatan petani menurun. Padahal, sebagai konsumen, petani mesti menghadapi kenaikan harga bahan makanan selain beras,” katanya saat dihubungi, Minggu (16/6/2019).
Adapun di desa terjadi inflasi sebesar 0,59 persen pada Mei 2019. Kelompok bahan makanan di tingkat desa mengalami inflasi senilai 0,9 persen. Hal ini turut tecermin dalam indikator nilai tukar petani tanaman pangan (NTPP). Guntur menyoroti merosotnya NTPP dalam lima bulan terakhir sepanjang 2019 yang mendekati angka 100 sebagai titik impas.
Berdasarkan data BPS, NTPP pada Mei 2019 turun 0,55 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Angka ini terbentuk dari penurunan indeks harga yang diterima petani (It) sebesar 0,07 persen dan kenaikan indeks harga dibayar petani (Ib) senilai 0,48 persen. Dalam komponen Ib, indeks konsumsi rumah tangga naik 0,59 persen. Sepanjang Januari-Mei 2019, NTPP turun 3,82 persen. NTPP pada Januari 2019 sebesar 107,58 dan pada Mei 2019 senilai 103,46.
Guntur berpendapat, penurunan NTPP tersebut patut diwaspadai. ”Angka yang semakin menurun mendekati 100 tersebut menandakan petani semakin sulit memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak,” katanya.
Sebagai solusi, Guntur mengimbau Perum Bulog untuk mengoptimalkan penyerapan gabah untuk cadangan beras pemerintah (CBP) sehingga harga di tingkat petani dapat membaik. Tak hanya itu, pengoptimalan penyerapan gabah juga berperan dalam mempersiapkan stok untuk menghadapi produksi semester II-2019 yang lebih sedikit dibandingkan dengan semester I.
Terkait dengan penurunan harga gabah, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengatakan, tidak optimalnya penyerapan Bulog untuk pengadaan CBP sepanjang Januari-Mei 2019 menjadi salah satu penyebabnya. Karena Bulog tak menyerap dengan optimal, stok di penggilingan kecil menumpuk. Akibatnya, penggilingan tidak memiliki daya untuk menyerap gabah di tingkat petani.
Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian mendata, serapan untuk pengadaan CBP hingga 29 Mei 2019 sebesar 600.090 ton setara beras. Adapun Bulog mendata, serapan untuk pengadaan CBP sepanjang Januari-Mei 2018 mencapai 871.200 ton setara beras.
Dengan mekanisme serapan dalam negeri untuk CBP, Bulog memiliki peran dalam membentuk harga di tingkat petani.
Apabila Bulog optimal dalam menyerap gabah, Dwi menyebutkan, jumlah serapannya mencapai 15 persen dari produksi nasional. Proporsi serapan tersebut cukup untuk menaikkan harga di tingkat petani. Adapun menurut riset AB2TI, ongkos produksi gabah di tingkat petani saat ini sebesar Rp 4.523 per kg.
Senada dengan Guntur, Dwi mengatakan, Bulog harus memperbesar jumlah penyerapan. ”Dengan mekanisme serapan dalam negeri untuk CBP, Bulog memiliki peran dalam membentuk harga di tingkat petani,” kata Dwi.
Sebelumnya, Kepala BPS Suhariyanto menyebutkan, turunnya harga gabah dan beras disebabkan oleh stok yang masih melimpah di pasar ataupun penggilingan. Stok tersebut berasal dari panen raya pada April 2019 lalu.