Cerita Kejujuran dan Kesetiaan Si Pedas Cabai
Festival Peh Cun di Kota Tangerang sudah usai. Namun, kenangan atas semua kemeriahan masih terasa hingga kini. Tahun ini juga ada yang berbeda dengan festival tahun-tahun sebelumnya. Ada festival cabai yang dari tampilan dan pedasnya menggugah rasa, menggugah selera.
Festival Peh Cun di Kota Tangerang sudah usai. Namun, kenangan atas semua kemeriahan masih terasa hingga kini. Tahun ini juga ada yang berbeda dengan festival tahun-tahun sebelumnya. Ada festival cabai yang dari tampilan dan pedasnya menggugah rasa, menggugah selera.
Semua pasti tahu tentang cabai. Tak hanya berwarna merah, cabai dengan beragam varietas memiliki warna unik lainnya, seperti jingga dan ungu. Di balik sebuah cabe tersimpan cerita kejujuran dan kesetiaan.
Cabe adalah buah berasal dari Amerika Latin dan tersebar ke seluruh dunia melalui seorang pelaut negara Barat, termasuk Colombus, pelaut asal Italia. Pada tahun 1492, ia mendarat di Benua Amerika dan membawa pulang buah cabai ke Eropa yang disebut red pepper.
Padahal, saat itu, Colombus ditugaskan oleh Ratu Isabella dari Spanyol untuk berlayar ke Asia mencari pepper atau lada. Ternyata temuannya tidak lain adalah cabai merah yang disebut red pepper atau paprika, sebagai nama generik di Eropa.
Hingga kini, semua orang mengenal cabai. Menurut pengamat dan pemerhati budaya Tionghoa, Udaya Halim, cabai memiliki filosofi sebagai simbol kejujuran dan kesetiaan.
Dikatakan simbol kejujuran karena cabai tidak bisa berbohong. Pedasnya cabai tidak bisa dinilai dari warna, ukuran, atau bentuk. Akan tetapi, yang namanya cabai pasti rasanya pedas. Selanjutnya, rasa pedas itu akan terasa seketika. Tidak ada yang makan cabai sekarang, namun rasanya pedas pada keesokan hari.
Dikatakan simbol kejujuran karena cabai tidak bisa berbohong.
Sementara dikatakan cabai sebagai lambang kesetiaan karena buah ini selalu ada di lingkungan kita. Setiap rumah tangga biasanya memiliki cabai, baik berupa penambah rasa di setiap masakan, bumbu dapur, maupun dalam bentuk sambal. Cabai selalu setia dan tidak pernah absen dari rumah tangga.
Dikatakan cabai sebagai lambang kesetiaan karena buah ini selalu ada di lingkungan kita.
Dari filosofi kesetiaan dan kejujuran inilah, Museum Benteng Heritage dan Museum Kuliner Roemboer Tangga Ronggeng bekerja sama dengan Kementerian Pertanian melalui Museum Pertanian di Bogor, Persaudaraan Pertiwi, dan Pemerintah Kota Tangerang menggelar Festival Cabai atau Chili Festival 2019 di kawasan Roemboer Tangga Ronggeng, Jalan Cilangkap Pasar Lama, Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang. Festival berlangsung Sabtu (15/6/2019) hingga Minggu (16/6/2019).
Baca juga: Ritual Peh Cun Kembali Hadir di Kota Tangerang
Festival ini merupakan rangkaian acara perayaan Peh Cun, pesta rakyat Tangerang yang merupakan tradisi temurun-keturunan Tionghoa. Selama dua hari tersebut, pengunjung dapat menyaksikan 125 jenis cabai impor dari beberapa negara, yang sebagian sudah dibudidayakan di Indonesia, dan cabai lokal dari Kementerian Pertanian.
Dalam pameran ini, Ridwan Riyanto, petani cabai Cilacap, memamerkan 85 jenis cabai impor yang sudah dibudidayakannya di Desa Ciporos, Karang Pucung, Cilacap, Jawa Tengah. Di antaranya adalah cabai Giant Aconcagua. Sesuai namanya, cabai ini terbesar di dunia, memiliki panjang 25 sentimeter (cm) dan lebar 7 cm.
Ridwan Riyanto, petani cabai Cilacap, memamerkan 85 jenis cabai impor yang sudah dibudidayakannya di Desa Ciporos, Karang Pucung, Cilacap, Jawa Tengah. Di antaranya adalah cabai Giant Aconcagua. Sesuai namanya, cabai ini terbesar di dunia, memiliki panjang 25 sentimeter (cm) dan lebar 7 cm.
Jenis cabai berukuran besar lainnya adalah Italian Sweet Pepper. Panjang cabai ini 20 cm dan lebar 5 cm. Ada pula 10 cabai terpedas di dunia, di antaranya Carolina Ripper (berwarna merah) dan Carolina Yellow (berwarna kuning), Habanero Peach (cabai berwarna peach), dan Bubble Gum Orange (berwarna jingga/oranye).
Ridwan mengatakan, cabai Carolina asal dari Rockhill, South Carolina, ini memiliki bentuk kurang bagus, tetapi tingkat kepedasannya mencapai 1.569.300 plus SHU (scoville heat unit). Tingkat kepedasan ini melebihi lima ratus kali lipat dari tabasco. Sementara tingkat kepedasan cabai rawit berkisar 30.000 sampai 50.000 SHU.
Cabai Carolina asal dari Rockhill, South Carolina, ini memiliki bentuk kurang bagus, ettapi tingkat kepedasannya mencapai 1.569.300 plus SHU (scoville heat unit). Tingkat kepedasan ini melebihi lima ratus kali lipat dari tabasco. Sementara tingkat kepedasan cabai rawit berkisar 30.000 sampai 50.000 SHU.
Ketua Panitia Chili Festival Hendra Ang mengatakan, tak hanya memamerkan cabai berukuran jumbo, pada festival ini mereka juga memajang beragam jenis tanaman cabai. Juga diselenggarakan lomba mengulek cabai yang disambut antusias oleh pengunjung.
Baca juga: Berlayar Membelah Sungai Cisadane
Festival cabai ini merupakan salah satu bagian dari perayaan Peh Cun. Festival ini dilakukan karena karena hasil bumi memiliki makna bagi warga peranakan Tionghoa.
Peh Cun
Kejujuran dan kesetiaan tidak hanya pada cabai. Sikap itulah yang ditunjukkan seorang perdana menteri yang juga pujangga, Khut Gwan (Qu Yuan), yang lebih memilih menceburkan diri ke sungai daripada hidup bergelimang dengan dosa. Sikapnya jujur dan setia kepada warga dan negara sehingga ia tidak mau mengkhianati negara dan membohongi rakyat (tiga abad sebelum Masehi).
Sebagai peringatan akan kesetiaan dan kejujurannya, setiap tanggal 5 bulan 5 dalam penanggalan Imlek, warga Tionghoa dan keturunannya rutin merayakan Pecun (disebut juga Pek Cun atau Peh Cun dalam dialek Betawi). Tradisi merengkuh dayung atau mendayung perahu ini sebagai penghormatan kepada Khut Gwan, seorang Perdana Menteri Negeri Chu, yang bijaksana dan menjunjung tinggi kesetiaan, kebijaksanaan, dan kejujuran.
Di Tangerang, Banten, perayaan Peh Cun diyakini sudah dilangsungkan lebih dari seratus tahun seiring dengan keberadaan warga Tionghoa di tepian Sungai Cisadane. Tahun ini, perayaan Pecun diselenggarakan pada Jumat (7/6/2019).
Udaya Halim mengatakan, karena perayaan Peh Cun itu bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, berbagai festival diselenggarakan Sabtu (15/6/2019) dan Minggu (16/6/2019). Sementara pada Sabtu (7/6/2019) hanya dilakukan upacara ritual diawali dengan cuci perahu naga pada tengah malam dan dilanjutkan persembahyangan Twan Yang pada pagi hari serta kegiatan mendirikan telur di pinggir Sungai Cisadane.
Ketua panitia festival, Eddy Setiawan, mengatakan, Peh Cun yang merupakan perayaan dari adat Tionghoa ini terjadi pada tanggal 7 Juni, bertepatan dengan peristiwa alam semesta.
Ketua panitia festival, Eddy Setiawan, mengatakan, Peh Cun yang merupakan perayaan dari adat Tionghoa ini terjadi pada tanggal 7 Juni, bertepatan dengan peristiwa alam semesta.
”Kalau orang kami menyebutnya tuang yan, itu ketika matahari dan bumi dalam jarak terdekat. Makanya, pada 7 Juni 2019 pukul 11.00 sampai 13.00 masyarakat keturunan Tionghoa dan masyarakat umum mendirikan telur tegak lurus karena itu adalah peristiwa yang tiap tahun terjadi,” tutur Tan Lie.
Kalau orang kami menyebutnya tuang yan, itu ketika matahari dan bumi dalam jarak terdekat. Makanya, pada 7 Juni 2019 pukul 11.00 sampai 13.00 masyarakat keturunan Tionghoa dan masyarakat umum mendirikan telur tegak lurus karena itu adalah peristiwa yang tiap tahun terjadi.
Selain itu, perayaan Peh Cun identik dengan lomba mendayung perahu naga di Sungai Cisadane. Kali ini, perlombaan ini diikuti 14 kapal—dalam satu kapal ada sekitar 20 orang—pada Sabtu (15/6/2019) dan Minggu (16/6/2019).
Lomba balap perahu naga ini merupakan budaya yang telah berlangsung beratus tahun sebagai bagian dari budaya peranakan Tionghoa untuk berterima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam.
Jakarta
Tradisi Peh Cun ini juga pernah dilakukan di tempat lain, termasuk di Jakarta. Udaya Halim memiliki dokumen berupa foto perayaan Peh Cun di di Jatinegara, Jakarta Timur, milik dari ayahnya, Juni tahun 1965. Inilah terakhir kali perayaan Peh Cun di Indonesia.
Setelah tahun itu, tak pernah ada perayaan ini lagi. Sampai akhirnya perayaan tersebut kembali diizinkan pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Sampai dengan masa pemerintahan Presiden Soekarno, tahun 1950 dan 1960-an, perayaan Peh Cun sangat meriah. Bahkan, perayaannya sampai tujuh hari tujuh malam.
Berbagai pertunjukan dan atraksi serta permainan menarik diadakan, seperti lomba perahu (liong dan papak), barongsai, gambang kromong, permainan bola tangkas, dan kuda lari.
Kemeriahan perayaan Peh Cun di masa lalu ini digambarkan dalam lagu gambang kromong berjudul ”Nonton Pecun” yang dibawakan Lilis Suryani (1962).
Perayaan Peh Cun sudah sejak lama digelar warga keturunan Tionghoa di Kota Tangerang. Perayaan tersebut sempat menjadi andalan acara wisata yang sangat terkenal. Bahkan, banyak warga Tionghoa dari luar negeri, seperti Singapura, Hong Kong, Taiwan, dan Belanda, datang ke Tangerang untuk merayakan Peh Cun.
”Setiap kali Peh Cun, kami selalu datang ke Tangerang. Sehari sebelum Peh Cun atau subuh sudah jalan dari Karawang,” kata Setiawan atau Ko Iwan di sela-sela melihat lomba perahu naga. Ia mengatakan sejak kecil sudah diajak orangtuanya ke Tangerang setiap perayaan Peh Cun.
Wisata Tangerang
Wakil Wali Kota Tangerang Sachrudin yang membuka Festival Peh Cun di Kota Tangerang berterima kasih kepada penyelenggara festival karena ini dapat meningkatkan kunjungan wisata ke Kota Tangerang.
Dalam peresmian pembukaan festival tersebut, Sachrudin melepas puluhan balon berwarna merah putih ke udara di tengah sungai.
Ia melanjutkan, Festival Peh Cun yang tiap tahun diselenggarakan ini bisa menambah daya tarik pariwisata Kota Tangerang.
Ia berharap, ke depan, pelaksanaan Peh Cun lebih meriah. Untuk menggelar Peh Cun sebagai salah satu acara wisata tahunan tersebut harus dilakukan kerja sama, perencanaan, dan persiapan terkoordinasi. Salah satu ikon wisata di Kota Tangerang ini akan memiliki daya tarik lebih besar bagi masyarakat sehingga menjadi obyek wisata yang menarik.