Permohonan tim hukum calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk mendiskualifikasi calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Ma’aruf Amin dinilai tidak relevan. Tim hukum Jokowi-Amin membantah dalil-dalil yang diajukan tim hukum Prabowo-Sandi.
Oleh
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Permohonan tim hukum calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk mendiskualifikasi calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Ma’aruf Amin dinilai tidak relevan. Tim hukum Jokowi-Amin membantah dalil-dalil yang diajukan tim hukum Prabowo-Sandi.
Bantahan terhadap dalil-dalil yang diajukan tim hukum Prabowo-Sandi disampaikan tim hukum Jokowi-Amin pada sidang lanjutan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. Sidang dipimpin Ketua MK Anwar Usman yang didampingi delapan hakim konstitusi lainnya, Selasa (18/6/2019).
Pada sidang pendahuluan, tim hukum Prabowo-Sandi, antara lain Bambang Widjojanto dan Denny Indrayana, menyebut, banyak terjadi pelanggaran dan kecurangan selama Pemilu 2019. Mereka menilai kecurangan itu terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Berangkat dari hal itu, MK diminta mendiskualifikasi Jokowi-Amin atau setidaknya menggelar pemilu ulang.
Menanggapi permohonan sanksi diskualifikasi itu, kuasa hukum Jokowi-Amin, I Wayan Sudirta, mengatakan, MK bukan forum penyelesaian dugaan kecurangan dan pelanggaran pemilu. Ia menyebut tim hukum Prabowo-Sandi telah mencampuradukkan kewenangan MK dengan kewenangan Bawaslu.
Dalam petitumnya, tim hukum Prabowo-Sandi mendalilkan masalah sanksi diskualifikasi bagi kecurangan TSM pada bagian akhir pokok permohonan pemohon. Untuk memperkuat petitumnya, kuasa hukum Prabowo-Sandi memberikan rujukan beberapa putusan MK terkait pemilihan kepala daerah (pilkada).
Kuasa hukum Prabowo-Sandi mencantumkan putusan MK yang mendiskualifikasi pasangan calon peserta Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Sengketa Pilkada Kotawaringin Barat adalah satu-satunya putusan MK yang mendiskualifikasi pasangan calon dengan dasar dalil politik uang yang bersifat TSM.
Sementara putusan-putusan lain yang disebutkan dalam petitum, yakni putusan tentang Pilkada Bengkulu Selatan 2008, putusan Pilkada Tebing Tinggi, Sumatera Utara 2010, dan Pilkada Supiori, Papua, tahun 2010 adalah putusan tentang tidak terpenuhinya syarat pencalonan. ”Maka, sangat tidak relevan jika dijadikan rujukan dalam permohonan,” ujar Sudirta.
Kesalahan berpikir
Kuasa hukum Jokowi-Amin, Luhut Pangaribuan, mengatakan, seluruh pendapat ahli yang dikutip dalam petitum pada dasarnya tidak terkait dengan pemilu, tetapi pilkada. Bahkan, pilkada-pilkada tersebut digelar sebelum UU Pemilu tahun 2017 disahkan.
”Lagi pula, penganalogian pemilu dengan pilkada adalah sebuah kesalahan berpikir dan keliru secara hukum,” ucap Luhut.
Luhut berpendapat, pilkada tidaklah sama dengan pemilu. Hal itu karena nomenklatur dan posisi hukum yang berbeda antara pemilu dengan pilkada. Oleh karena itu, menggunakan putusan dan cerita pilkada untuk kasus pilpres merupakan analogi yang keliru dan tidak dapat dibenarkan secara hukum.
Maka dari itu, kuasa hukum Jokowi-Amin menyatakan menolak seluruh dalil posita dan petitum tim hukum Prabowo-Sandi yang disampaikan dalam sidang pendahuluan untuk dijadikan dasar penerimaan, pemeriksaan, dan pembuktian dalam persidangan.