Angkutan Daring sebagai Pengumpan Perlu Payung Hukum Kuat
Angkutan daring perlu diatur undang-undang agar dapat terintegrasi sebagai pengumpan moda raya. Undang-undang juga semakin dibutuhkan sebagai dasar hukum dalam mewujudkan persaingan sehat demi kesejahteraan konsumen dan pengemudi.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angkutan daring perlu diatur undang-undang agar dapat terintegrasi secara sistematis sebagai pengumpan moda raya, seperti kereta rel listrik commuter line, Transjakarta, dan MRT. Undang-undang juga semakin mendesak dibutuhkan sebagai dasar hukum kehadiran negara dalam mewujudkan persaingan sehat demi kesejahteraan konsumen dan pengemudi.
Hal itu mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Regulasi Menjadi Kunci Penataan Angkutan Online dalam Transportasi Perkotaan” yang diselenggarakan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Jumat (21/6/2019), di Jakarta.
Sekretaris Jenderal MTI Harya S Dillon mengatakan, meski belum masuk UU, saat ini sudah ada preseden dari Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 118 Tahun 2018 yang mengatur angkutan daring roda empat. Peraturan tersebut dinilai cukup baik karena telah mencakup standar pelayanan, kewenangan penetapan tarif, pedoman pemberian promosi, dan sanksi administrasi yang tegas.
”Langkah tersebut sudah tepat dalam menjaga agar kompetisi sehat sehingga bernilai tambah bagi konsumen dan pengemudi. Namun, pemerintah harus tetap memprioritaskan moda raya sebagai tulang punggung transportasi. Studi menunjukan bahwa angkutan online roda dua difungsikan sebagai feeder (pengumpan) moda raya,” ujarnya.
Agar moda raya menjadi andalan transportasi publik, kata Harya, diperlukan integrasi secara sistematis yang diatur dalam UU. Salah satu yang harus diatur adalah regulasi penataan angkutan dalam jaringan (online). ”Memang masih banyak kekurangan dalam angkutan roda dua. Namun, menutup mata tidak akan menyelesaikan masalah,” katanya.
Ia melanjutkan, teknologi telah membuka peluang untuk meregulasi secara efektif. Sangat tepat apabila aplikasi daring digunakan sebagai pintu masuk regulasi dan pengawasan. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam penyusunan undang-undang nanti.
Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung, Prawira Fajar Belgiawan, mengatakan, dari hasil penelitiannya dan kawan-kawan ditemukan efek positif dan signifikan dari penggunaan angkutan umum. Peningkatan angkutan umum menyiratkan peningkatan penggunaan ojek daring.
”Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kami menyarankan agar pemerintah mengatur baik dan mempertimbangkan ojek daring ataupun ojek pangkalan sebagai bentuk angkutan umum dengan persyaratan khusus. Juga sebaiknya memusatkan perhatian pada peningkatan pemeliharaan angkutan umum karena kami menemukan bahwa ojek daring mendukung keberadaan angkutan umum,” kata Fajar.
Selain itu, kata Fajar, diperlukan integrasi layanan umum dan layanan ojek daring. Integrasi bisa berupa sistem tiket, diskon tiket terintegrasi, serta aplikasi layanan terintegrasi.
Sementara itu, Lia Arlinta (27), warga Kebon Melati, Tanah Abang, setuju jika ojek daring dijadikan transportasi pengumpan menuju stasiun KRL atau halte Transjakarta. ”Hampir setiap hari saya menggunakan ojek daring ke Stasiun Karet. Jalan kaki keluar gang menuju jalan raya agak jauh dan jika naik naik angkot saya bisa telat. Hanya saja, jika ojek daring terintegrasi, biaya harus diturunkan,” ujarnya.
Persaingan tidak sehat
Ekonom ari Universitas Indonesia, Harryadin Mahardika, mengatakan, strategi pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga sangat rendah (predatory pricing) diduga telah terjadi di industri transportasi daring. Caranya melalui perang harga atau promosi (predatory promotion) dan diskon besar-besaran untuk menarik perhatian masyarakat atau konsumen.
”Perang harga atau promosi di industri transportasi daring bisa jadi sangat berbahaya karena ditujukan agar mematikan pesaing dan mengarah ke persaingan tidak sehat. Terdapat perbedaan dengan perusahaan konvensional yang melakukan promosi dengan menyisihkan profit untuk menjaga loyalitas konsumen. Sementara promosi oleh perusahaan transportasi daring cenderung membakar modal untuk penguasaan pangsa pasar,” tutur Harryadin.
Ia melanjutkan, ada beberapa indikasi dan modus praktek predatory pricing yang dilakukan perusahaan transportasi daring. Bentuk promosi yang dilakukan berupa diskon sehingga mencapai harga yang tidak wajar. Promosi dilakukan dalam jangka waktu lama yang melebihi kelaziman dan terindikasi mematikan peluang usaha lain.
Selain itu, kata Harryadin, ada niat yang disampaikan secara publik oleh pelaku usaha atau pemilik modal untuk mendominasi pasar dan harga aktual yang dibayar konsumen lebih rendah dibandingkan harga yang diterima pengemudi dan diduga berada di bawah biaya produksi.
Menurut dia, hilangnya persaingan akibat monopoli pelaku usaha predator di industri transportasi daring akan langsung memperlemah posisi tawar para mitranya dan konsumen.
”Contoh di Singapura. Pasca-akuisisi Uber oleh Grab, tarif dinaikkan hingga 10-15 persen dari Maret-Juli 2018 dan diprediksi meningkat drastis 20-30 persen hingga 2021. Di saat bersamaan, besaran insentif bagi mitra pengemudi juga ditemukan menurun secara signifikan pasca-akuisisi. Temuan ini menyebabkan Grab diberi denda sebesar Rp 140 miliar oleh Competition and Consumer Commission of Singapore (CCCS),” katanya.
Untuk itu, ia merekomendasikan kepada Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) untuk memberikan pengawasan bagi persaingan di industri transportasi perkotaan, terutama transportasi daring.
”Khususnya untuk menemukan indikasi-indikasi praktik predatory pricing yang mengarah ke persaingan usaha tidak sehat. KPPU juga perlu mendukung upaya positif pemerintah untuk menjaga keberlanjutan industri transportasi daring,” ucap Harryadin.