Bagaimana Empat Abad Sedimentasi Membentuk Rupa Jakarta?
Sejak era kolonial Belanda, Jakarta menghadapi bayang-bayang sedimentasi muara sungainya. Penataan wilayah hulu, orientasi pembangunan lingkungan, dan perilaku warga kota dapat mencegah potensi banjir di Ibu Kota sebagai dampak endapan.
Wilayah DKI Jakarta memiliki dua lanskap, punya daratan seluas 662 kilometer persegi dan wilayah lautan sebesar 6.977 kilometer persegi. Dari lanskap perairan ini, Jakarta mempunyai 110 pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu. Di sebelah utara wilayah Ibu Kota ini membentang pantai dari barat ke timur sepanjang 35 km yang menjadi bermuaranya sungai-sungai yang melewati Jakarta.
Ekosistem air tersebut memberi manfaat bagi masyarakat Jakarta. Kepulauan Seribu adalah salah satu daerah wisata menarik bagi warga Ibu Kota. Kepulauan Seribu menawarkan keindahan alam pantai di jajaran pulaunya, bangunan sejarah, juga keindahan alam bawah laut, seperti di Pulau Pramuka, Sepa, Bira, Tidung, Pari, Harapan, Kelapa, Bidadari, Cipir, Onrust, dan Kelor.
Pada 2017, sebanyak 878.971 wisatawan domestik dan mancanegara berlibur di Kepulauan Seribu. Tahun lalu, sebanyak 82.525 wisatawan memanfaatkan waktu libur Lebaran di sejumlah pulau Seribu.
Baca juga: Plus Minus Normalisasi dan Naturalisasi Sungai
Demikian juga dengan sumber daya laut, seperti kerang dan ikan. Data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta mencatat, pada 2015 terdapat 362 pembudidaya kerang hijau di Teluk Jakarta.
Mereka tersebar di wilayah Kamal Muara dan Cilincing dan dapat menyerap 1.194 tenaga kerja. Selain kerang hijau, terdapat pula potensi perikanan. Pada 2017, transaksi ikan di pasar Muara Baru mencapai Rp 9 miliar per hari dengan jumlah ikan diperdagangkan mencapai 400 ton.
Namun, selain memberi manfaat, tidak jarang lanskap air di Jakarta juga memberi dampak negatif bagi warganya. Terlebih wilayah Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut.
Kondisi ini membuat bencana banjir dan rob sering menghampiri penduduk Jakarta. Pada 2017, setidaknya banjir masih terjadi di 201 RW di 57 kelurahan. Terakhir, luapan Sungai Ciliwung pada 26 April 2019 membuat 2.942 warga Jakarta Timur dan Jakarta Selatan mengungsi akibat banjir.
Banyak faktor menjadi penyebab banjir. Salah satu penyebabnya adalah karena pendangkalan di daerah muara. Pendangkalan dipicu oleh sedimentasi berlebihan di hilir sungai, utamanya Sungai Ciliwung.
Ciliwung
Pada periode sebelum kemerdekaan Indonesia (1625-1945), wilayah muara Ciliwung mengalami pergeseran garis pantai rata-rata 5,5 meter per tahun. Hal ini disebabkan oleh sedimentasi atau pengendapan yang berlebihan. Terdapat perbedaan laju pergeseran garis pantai pada sisi timur dan sisi barat hulu Ciliwung.
Sedimentasi terjadi lebih cepat pada sisi barat Ciliwung. Kondisi ini menyebabkan pergeseran garis pantai sekitar 7 meter per tahun. Sementara di sisi timur sungai 4 meter dalam satu tahun.
Dulu, VOC merawat sistem kanal yang cepat mendangkal dengan mengeruk endapan lumpur di dasar kanal.
Dilihat dari hasil tumpang susun (overlay) peta tahun 1625, 1667, 1740, 1780, 1897, 1906, dan 1945 yang diambil dari koleksi Universitas Leiden Belanda, selama 320 tahun garis pantai utara Batavia telah bergeser 2.250 meter pada sisi barat Ciliwung dan 1.400 meter di sisi timur.
Jika mencermati kondisi geografisnya, pada bagian barat Ciliwung terdapat lebih banyak muara sungai. Dari peta Batavia tahun 1906 terdapat Muara Baru, Muara Pekulitan, Muara Pegantungan, dan Muara Karang.
Semakin banyak muara sungai, artinya semakin banyak material endapan yang terbawa air sungai dan menjadi sedimen di tepi laut. Sedimentasi merupakan kejadian yang alami, tetapi yang terjadi di mulut Ciliwung merupakan sedimentasi yang berlebihan.
Sedimentasi ini memberi dampak negatif. Penumpukan material bawaan sungai Ciliwung menjadi kendala bagi VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dalam mengelola kota pelabuhan Batavia.
Adolf Heuken SJ dalam buku Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta Jilid II (2001) menuliskan, pendangkalan karena sedimentasi di mulut Ciliwung menyulitkan kapal barang dan penumpang merapat di Pelabuhan Batavia. Akibatnya, barang dan penumpang harus diturunkan di tengah laut, kemudian diangkut dengan kapal yang lebih kecil untuk dapat mencapai pelabuhan di hulu Ciliwung.
Pada mulanya kapal-kapal layar dapat mencapai bagian dalam Sungai Ciliwung, setidaknya hingga Galangan Kapal VOC. Bekas galangan kapal ini sekarang dimanfaatkan sebagai kedai kopi bernama VOC Galangan Resto Café yang terletak di Jalan Kakap.
Titik lokasi bekas Galangan VOC dengan pelabuhan Sunda Kelapa saat ini berjarak sekitar 600 meter. Jika mengacu pada jarak dua lokasi tersebut, sedikitnya garis pantai Jakarta sudah bergeser sejauh 600 meter dalam kurun waktu empat abad.
Pengembangan kota
Masifnya pengembangan kota Batavia sedikit banyak berpengaruh pada sedimentasi pesisir utara Jakarta. Susan Blackburn dalam buku Jakarta, Sejarah 400 Tahun (2011) menyebutkan, saat itu VOC membutuhkan tanggul kanal untuk mengendalikan banjir dan menjamin lancarnya jalur masuk kapal dari laut ke Sungai Ciliwung.
Menghadapi hal ini, VOC membangun kanal batu karang di kanan kiri Ciliwung pada 1634 untuk mencegah pendangkalan. Di kemudian hari, tanggul kanal dibuat semakin memanjang ke utara untuk menjaga jalur kapal tetap dapat dilalui. Tanggul kanal ini merupakan cikal bakal Pelabuhan Sunda Kelapa yang ada sekarang.
Merujuk pada perbandingan peta Batavia tahun 1625 terbitan Biro Topografi Batavia dan peta tahun 1667 karya GB Hooyer dan JW Yzerman, terjadi pergeseran garis pantai sejauh 350 meter di barat kali dan 300 meter di sisi timur. Pada periode ini, bagian utara Kasteel Batavia atau Benteng Batavia tidak lagi berada di garis pantai.
Dalam kurun waktu 62 tahun, Pemerintah Batavia berhadapan dengan pergeseran garis pantai sejauh 7,7 meter per tahun. Kecepatan pergeseran garis pantai pada periode 1625-1667 lebih tinggi daripada laju rerata dalam kurun 320 tahun (1625-1945), yakni 5,5 meter per tahun.
Tingginya sedimentasi yang mendorong garis pantai jauh ke utara pada awal pembangunan Batavia disebabkan sedikitnya oleh tiga faktor, yakni sistem kanal yang dibangun Belanda, pembukaan lahan di luar kota Batavia, dan penebangan pohon hutan di hulu Ciliwung.
Sistem kanal yang dibangun Belanda mempercepat aliran air menuju laut dengan membawa material endapan. Selain endapan, limbah kota juga turut dibuang ke sungai, hal ini menyumbang percepatan sedimentasi di muara.
Awalnya, tanggul kanal yang dibuat adalah pelurusan Ciliwung yang sekarang menjadi Kali Besar di Kota Tua. Tujuan pelurusan ini untuk memperlancar lalu lintas perahu dan meningkatkan kecepatan aliran air kali supaya tidak menggenangi kota.
Selain pembangunan infrastruktur, dibukanya lahan untuk perluasan Kota Batavia di sisi barat Ciliwung serta lahan pertanian dan perkebunan di luar kota turut menambah terjadi sedimentasi.
Komoditas pertanian yang menjadi primadona kala itu adalah produk gula. VOC membuka banyak lahan tebu. Hasil tanaman tebu kemudian diolah menjadi gula dan arak untuk komoditas ekspor.
Hulu
Kota Batavia semakin besar dan meluas dari waktu ke waktu. Populasi penduduk Batavia tahun 1673 sebanyak 27.000 jiwa tinggal di wilayah dalam tembok kota. Selisih 57 tahun kemudian, pada 1730, populasi di dalam kota turun menjadi 20.000 jiwa dan warga luar kota sebanyak 15.000 penduduk.
Lingkungan dalam tembok kota Batavia yang dinilai semakin tidak sehat mulai ditinggalkan penduduknya. Mereka mendirikan permukiman di selatan Batavia yang disebut Weltevreden, sekarang bernama Lapangan Banteng di Jakarta Pusat. Jumlah penduduk Batavia pada 1779 sejumlah 173.117 jiwa. Sebanyak 12.131 jiwa tinggal di Batavia lama (Kota Tua) dan 160.986 penduduk tinggal di luar Kota Tua.
Semakin banyak penduduk, kebutuhan ruang tempat tinggal dan lahan budidaya pangan turut meningkat. Perambahan hutan untuk tempat tinggal serta perkebunan dan sawah semakin meluas dan menjamah hulu sungai.
Lebih lanjut Susan Blackburn menyebutkan, lumpur yang terbawa ke hilir sungai semakin banyak akibat pembukaan lahan di bagian hulu untuk pertanian. Daerah hulu sekarang dikenal sebagai wilayah Bogor.
Sedimentasi merupakan kejadian yang alami, tetapi yang terjadi di mulut Ciliwung merupakan sedimentasi yang berlebihan.
Akibat kerusakan alam daerah hulu sungai, pendangkalan di muara juga semakin menjadi. Dibandingkan dengan tahun 1667, satu abad kemudian garis pantai pada 1780 bergeser sejauh 600 meter di timur Ciliwung dan 450 meter di sisi barat.
Pendangkalan akibat sedimentasi sesungguhnya proses alamiah terbawanya material ringan dari hulu ke hilir sungai. Sedimentasi berpotensi mengganggu keseimbangan kehidupan saat endapan yang muncul berlebihan dan dibiarkan terus-menerus.
Dulu, VOC merawat sistem kanal yang cepat mendangkal dengan mengeruk endapan lumpur di dasar kanal. Gambaran ini sama persis dengan kegiatan pasukan oranye Pemprov DKI Jakarta yang melakukan pengerukan di kali-kali ataupun saluran pembuangan air di permukiman warga.
Saat ini, masalah tersebut masih dihadapi oleh Jakarta, terutama ketika musim hujan tiba. Akibat pendangkalan di muara, kecepatan aliran air menjadi lambat, hal ini menyebabkan genangan dan berpotensi menyebabkan banjir.
Belajar dari rekam jejak sejarah pembangunan Batavia, faktor antropogenik turut membuat kondisi yang tidak membaik selama empat abad ini. Manusia menjadi pemain utama dalam akumulasi pencemaran ekosistem alam Jakarta. Pengembangan kota dan perilaku warga yang tidak memperhatikan aspek lingkungan membuat sedimentasi tak juga tersapu.
Warga Ibu Kota dapat berpartisipasi dengan tidak membuang sampah/limbah ke aliran air. Pemangku kebijakan juga harus merumuskan paradigma pembangunan yang memperhatikan aspek daya dukung lingkungan agar ekosistem Jakarta tetap lestari. (LITBANG KOMPAS)