Kemarau Tahun Ini Lebih Kering
JAKARTA, KOMPAS — Musim kemarau tahun ini terpantau lebih kering dibandingkan rata-rata klimatologisnya. Sejumlah daerah telah mengalami hari tanpa hujan selama lebih dari dua bulan, padahal saat ini belum memasuki puncak musim kemarau.
"Sebanyak 35 persen wilayah Indonesia saat ini sudah masuk musim kemarau dan 65 persen masih musim hujan," kata Deputi Bidang Klimatologi Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Herizal, di Jakarta, Rabu (26/7/2019).
Wilayah yang memasuki musim kemarau ini meliputi pesisir utara dan timur Aceh, Sumatera Utara bagian utara Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan bagian tenggara, pesisir barat Sulawesi Selatan, pesisir utara Sulawesi Utara, pesisir Sulawesi Tengah, sebagian Maluku, dan Papua bagian selatan.
Daerah yang dalam status awas karena telah mengalami hari tanpa hujan berturut-turut lebih dari dua bulan di antaranya sebagian besar wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Sampang dan Malang di Jawa Timur, sebagian besar Nusa Tenggara Timur, Indramayu di Jawa Barat, dan Buleleng di Bali. Sedangkan status siaga atau daerah yang telah mengalami hari tanpa hujan selama sebulan berturut-turut di antaranya Jakarta Utara, Lebak dan Tangerang di Banten, Nusa Tenggara Barat, dan sebagian besar Jawa Tengah.
"Masyarakat diimbau waspada kekeringan terutama untuk pertanian tadah hujan, kelangkaan air bersih, dan risiko kebakaran hutan dan lahan," kata dia.
Baca juga: NTB Mengalami Musim Kemarau Kering
Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto menambahkan, intensitas kemarau di sejumlah daerah, khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT hingga Juni ini terpantau lebih kuat dibanding normalnya. "Curah hujan di bawah normal klimatnya," kata Siswanto. "Intensitas kemarau hingga bulan Agustus mendatang diprediksi semakin meningkat."
Intensitas kemarau di sejumlah daerah, khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT hingga Juni ini terpantau lebih kuat dibanding normalnya. "Curah hujan di bawah normal klimatnya.
Musim kemarau yang lebih kering tersebut belum bisa dipastikan apakah dampak dari El Nino. Pantauan BMKG dan beberapa lembaga internasional terhadap anomali iklim global di Samudera Pasifik masih menunjukkan adanya El Nino dalam kategori lemah. Pada kejadian El Nino kuat seperti 2015, diketahui memiliki dampak yang signifikan pada peningkatan rerata suhu global dan kekeringan parah di Indonesia.
Kondisi kemarau yang lebih kering tersebut dipengaruhi suhu permukaan laut di wilayah Samudera Hindia yang menunjukkan adanya Indian Ocean Dipole (IOD) positif. Pada periode IOD positif, perairan di Samudera Hindia bagian tenggara umumnya lebih dingin dari rata-rata, sedangkan perairan di sebelah baratnya lebih hangat.
Akibatnya, potensi terbentuknya awan dan hujan bergeser dari Samudera Hindia bagian timur ke arah barat dan membawa hujan lebih banyak di bagian timur benua Afrika. Sebaliknya, wilayah Samudera Hindia bagian timur, termasuk Indonesia, mengalami kekeringan. Kondisi ini diperkirakan akan berlangsung setidaknya hingga Oktober-November-Desember 2019.
Suhu dingin
Siswanto mengatakankan, citra satelit inframerah Himawari beberapa hari terakhir menunjukkan keadaan cerah dan bebas awan yang mendominasi wilayah Indonesia bagian selatan. Ini menandai penjalaran angin monsun Australia yang membawa massa udara kering dan dingin.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, fenomena musim kemarau kali ini juga diwarnai dengan suhu dingin di sejumlah wilayah Indonesia, terutama di dataran tinggi. Pengamatan suhu minimum harian oleh Stasiun Observasi BMKG menunjukkan, wilayah Tretes di Malang dan Satarcik di Ruteng, Manggarai tercatat paling dingin dalam beberapa hari terakhir. Suhu minimum tercatat antara 11 derajat celcius hingga 13 derajat celcius.
Baca juga: Suhu Dingin Dipicu Aliran Massa Udara Dingin Australia
Menurut Siswanto, kondisi di Tretes terpantau lebih dingin tiga derajat celcius di bandingkan rata-rata tahunannya. Kondisi ini merupakan yang terdingin ke-3 dalam 37 tahun terakhir. Namun demikian, beberapa daerah di dataran rendah dan dekat perkotaan suhu dingin tidak lebih rendah dari rata-ratanya.
Siswanto menambahkan, laju penurunan suhu pada umumnya akan bertambah 0,65 derajat celcius setiap naik 100 meter. Oleh karena itu, sejumlah daerah di ketinggian, seperti dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah yang berketinggian 2093 meter akan mencapai 4,5 derajat celcius.
"Tidak adanya tutupan awan menyebabkan radiasi balik gelombang panjang pada malam hari semakin kuat dan lebih banyak dilepas langsung ke atmosfer. Akibarnya, permukaan tanah dan atmosfer bagian bawah lebih cepat mendingin, bahkan hingga di bawah titik beku nol derajat dan menciptakan fenomena embun beku," kata dia.