LEEUWARDEN, KOMPAS – Para peternak sapi perah Tanah Air yang sedang mengikuti pelatihan di Friesland, Belanda, mengemukakan sejumlah kendala dalam usaha mereka, yakni keterbatasan modal, pakan, lahan, dan teknologi. Mereka menyampaikan persoalan itu saat berbagi pengalaman dengan beberapa peternak sukses dan peneliti peternakan Belanda, Rabu (3/7/2019) di Friesland.
Ada empat peternak sapi perah pemenang kompetisi Farmer2Farmer (F2F) dari Indonesia yang sedang mengikuti pelatihan di lingkungan peternakan maju Friesland, Belanda utara dalam dua minggu ini. Program F2F merupakan program pengembangan susu (dairy development program) dari perusahaan induk FrieslandCampina, yang dijalankan oleh Frisian Flag Indonesia (FFI) sejak 2013.
Keempat peternak sapi perah itu adalah Apid dari Pengalengan (Jawa Barat), Nenih dari Lembang (Jabar), Mita Kopiyah dari Tulungagung (Jawa Timur), dan Yanto dari Pasuruan (Jatim). Mereka masing-masing bernaung di bawah binaan koperasi yang menjadi mitra kerja FFI dan lolos kompetisi setelah bersaing dengan 110 peternak sapi perah lainnya.
Apid dan Nenih mengikuti pelatihan di peternakan milik Minne Holtrop. Mita dan Yanto mengikuti pelatihan di peternakan Paul Sinnige. Minne adalah peternak generasi kedelapan keluarga Holtrop dan Paul merupakan generasi keempat. Dua peternak Belanda ini menguasai lahan peternakan seluas 100 hektar lebih per orang dengan jumlah sapi perah sedikitnya 150 ekor hingga 200 ekor.
Sapi perah di sini dimengerti dalam empat kategori, yakni pedet (anak sapi berusia 0-6 bulan), dara (sapi yang tidak memproduksi susu, hanya untuk pembiakan, tapi bisa juga dijadikan sapi laktasi), dara bunting (hamil) yang berusia sekitar 10-15 bulan, sapi laktasi (10-24 bulan), dan sapi kering (hamil 7-9 bulan). Sapi yang akan diperah susunya disebut sapi perah atau sapi laktasi.
Baik Apid, Nenih, Yanto, maupun Mita, sama-sama mengungkapkan persoalannya yang sama. Mereka terperangah ketika mengetahui, produksi susu setiap sapi perah di peternakan Paul dan Minne sekitar 30-40 liter/hari. Sedangkan setiap sapi mereka hanya memproduksi susu sekitar 10-15 liter per hari dan menaik setelah mengikuti program F2F yakni menjadi 17-20 liter per hari.
Yanto (33), misalnya, yang kini memiliki 10 ekor sapi perah (delapan sapi laktasi dan dua pedet), setelah mengikuti program F2F, satu ekor sapi laktasi miliknya sudah bisa menghasilkan 17 liter susu per hari. Satu ekor sapi laktasi di antaranya bisa menghasilkan 20 liter susu per hari. Walau demikian, empat peternak itu merasa ternyata produksi mereka jauh di bawah Belanda.
Sumber pakan yang terbatas, akses modal usaha yang minim, lahan yang sempit, dan ketiadaan teknologi perah yang maju merupakan lingkaran persoalan yang selalu dihadapi para peternak sapi perah Indonesia. Setidaknya hal itu dapat diwakili oleh keterangan dari empat peternak peserta program F2F yang kini sedang mengikuti studi bading atau pelatihan di Frisian, Belanda.
Apid dan Mita mengatakan, akses modal mereka ke bank sangat terbatas. Kalaupun mereka akhirnya mendapat pinjaman modal usaha dari bank, jangka waktu pinjaman hanya berlangsung lima tahun dengan bunga sekitar 4 sampai 4,5 persen per tahun. Sedangkan Paul dan Minne menceritakan, di Belanda mereka dikasih tenor pinjaman selama 30 tahun dengan bunga 2,5 persen per tahun.
Menurut Apid, lahan yang dimilikinya hanya 200 are untuk menampung 10 ekor sapi perah. Selain itu, dia juga sering kesulitan pakan, berupa rumput hijau atau daun jagung. Pakan seperti itu bisa didapat dengan membeli atau mencari di luar lahannya. Tentu saja itu akan membutuhkan tenaga kerja dengan upah yang tidak murah. Untuk dua ekor sapi perlu satu kwintal rumput hijau per hari.
Biasanya, untuk satu pekerja bisa mendapatkan satu kwintal dengan upah sekitar Rp 70.000 per orang per kwintal. Jika memiliki 10 ekor sapi perah, tentu dibutuhkan lima kwintal per hari, atau sekitar Rp 350.000 per hari. Bagi dia, hal itu sangat mahal dan berat. “Itu baru soal lahan, pakan, dan modal,” katanya, sambil menambahkan belum lagi untuk perawatan kandang dan sapi.
Itu sebabnya, kata empat perternak tadi, untuk bisa sukses peternak harus didukung oleh modal yang kuat, pakan yang berlimpah, serta lahan yang luas. Belum berbicara tentang teknologi pemerahan, yang lebih modern seperti yang dilakukan para peternak maju di Belanda.
Hielke M Sportel, Area Manager CRV, sebuah lembaga pembiakan sapi paling terkenal di Belanda menyebutkan, di negaranya memiliki 1,6 juta sapi perah dengan 85 persen di antaranya terdaftar resmi. Saat ini Belanda memiliki 18.000 usaha peternakan khusus sapi perah yang mampu memproduksi 12,7 miliar kg susu per tahun.
Sedangkan di Indonesia, merujuk data Kementerian Pertanian pada Desember 2016, perkembangan populasi sapi perah secara nominal terjadi pertumbuhan signifikan pada periode 2012-2016, rata-rata sekitar 522.000 ekor. Produksi susu lima tahun terakhir menurun 1,03 persen per tahun atau rata-rata 847.000 ton. Pada 2017 hingga 2020, Indonesia diperkirakan akan mengalami defisit susu sebesar 71.000 ton hingga 103.000 ton.