JAKARTA, KOMPAS - Polemik buruknya kualitas udara di Jakarta disebabkan oleh perbedaan metode serta standar baku yang diacu. Hingga saat ini, ambang baku mutu sejumlah polutan udara di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan Badan Kesehatan Dunia. Pemerintah harusnya segera memperbarui ambang baku mutu ini.
"Sepanjang Juni hingga awal Juli, data konsentrasi PM10 dan PM2,5 di BMKG mengindikasikan peningkatan konsentrasi partikel polutan, terutama pada 20 hari terakhir. Nilai konsentrasi tertinggi dapat mencapai 190 mikro gram per meter kubik pada jam-jam tertentu," kata Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Siswanto, di Jakarta, Kamis (11/7/2019).
Untuk Jakarta, menurut Siswanto, konsentrasi partikel polutan memiliki variasi harian dimana pada jam-jam tertentu mencapai nilai konsentrasi tinggi, yaitu pagi hari pada saat jam sibuk transportasi. Konsentrasi rendah terjadi pada jam-jam yang lain di luar itu. Demikian halnya, konsentrasi PM 2,5 mencapai puncak menjelang tengah hari. "Bulan Juni hingga September merupakan bulan bulan dimana konsentrasi partikulat polutan lebih tinggi dibandingkan bulan bulan lainnya," katanya.
Berdasarkan pada aplikasi pemantau kualitas udara global AirVisual, indeks kualitas udara di Jakarta pada pada bulan Juni hingga awal Juli masuk ke dalam katagori “tidak sehat”. Menurut Siswanto, aplikasi AirVisual untuk Jakarta melibatkan 8 lokasi pengukuran konsentrasi PM 2.5 yang meliputi 3 lokasi berasal dari pengukuran instrumen terstandar internasional milik lembaga pemerintah, yaitu satu punya BMKG di Kemayoran dan dua unit di Kedutaan Besar Amerika Serikat. "Alat lainnya menggunakan instrumen sensor murah milik Greenpeace dan perseorangan," kata dia.
Menurut Siswanto, hasil pengukuran konsentrasi debu partikulat digunakan untuk menghitung Indeks Kualitas Udara (air quality index/AQI). Semakin tinggi nilai AQI, semakin meningkat risiko kesehatan masyarakat.
Tiap negara memiliki indeks kualitas udara berbeda, sesuai dengan standar kualitas udara nasional yang telah ditetapkan masing-masing. Meskipun sama-sama berasal dari data konsentrasi partikel polutan, rumusan yang berbeda akan menghasilkan indeks yang berbeda pula. Badan Kesehatan Dunia (WHO) sendiri memiliki indeks yang berbeda sebagaimana ditentukan dalam inisiatif Platform Global tentang Kualitas dan Kesehatan Udara.
Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengatakan, Greenpeace bersama Koalisi Ibukota telah melayangkan gugatan kepada Presiden RI, Menteri LHK, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten agar segera melakukan langkah-langkah konkret untuk melindungi warga dan masyarakat Indonesia dari bahaya polusi udara yang dinilai semakin mengancam.
Pemerintah, terutama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) diminta segera memperbaiki standar kualitas udara nasional menjadi standar dunia sesuai standar WHO, memasang lebih banyak alat pemantau polusi udara dan membuka data polusi udara secara real time kepada masyarakat.
Baku mutu udara ambien Indonesia, seperti yang tercantum pada PP No. 41 Tahun 1999, peraturan ini sudah 20 tahun dan selama 20 tahun pengetahuan medis tentang pencemaran udara bertambah angka yang dulu dianggap aman sudah tidak memenuhi lagi dan parameter baru yang berbahaya pada kesehatan manusia, telah jauh dibawah baku mutu yang ditetapkan oleh WHO. Ambang batas yang digunakan oleh Kementerian LHK untuk partikulat debu halus PM2.5 dalam durasi waktu 24 jam adalah 65 mikrogram/m3, di mana ambang batas aman yang digunakan oleh WHO adalah 25 mikrogram/m3. Dengan kata lain, ambang batas yang selalu diacu oleh Kementerian LHK hampir tiga kali lipat lebih lemah daripada WHO.
Begitu pula halnya dengan ambang batas polutan lainnya, seperti PM10 yang lebih lemah tiga kali lipat dalam durasi pengukuran 24 jam, polutan NO2 yang lebih lemah dua kali lipat dibandingkan standar aman WHO dalam durasi pengukuran 1 jam, dan polutan SO2 yang lebih lemah 15 kali lipat dalam durasi pengukuran 24 jam. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan bagi masyarakat yang terpapar oleh polutan-polutan ini setiap harinya.