Obituari Rudy Badil (Kompas, 12/7/2019), yang dipanggil Sang Pencipta 11 Juli yang lalu, bertajuk “Omelannya Tak Akan Kita Dengar Lagi”. Apa makna kata omel? Dari judul yang berupa kalimat itu tersirat maknanya: bukan untuk konsumsi mata, melainkan untuk telinga. Makna kata omel(an) adalah sesuatu untuk didengar dan bukan dilihat atau dibaca.
Kata itu mengandung maksud positif atau negatif? Tak tersuratkan pada kalimat judul itu. Namun, secara tak langsung dapat ditangkap yang dirasakan atau hendak disampaikan penulisnya saat mewujudkan kalimat itu: merasa kehilangan dan hanya bisa merindukan.
Bagaimana kata omel dibentangkan penjelasannya di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi V (2017)? Kata mengomel dimaknai ‘marah dengan mengeluarkan kata-kata’. Di balik makna ini tersiratkan maksud yang positif atau negatif? Kata marah di situ berwarna emosi yang negatif sebab tak bisa diganti dengan kata bangga, tetapi dapat dengan kata seperti kesal, misalnya. Baru lebih kelihatan nuansa negatifnya pada penjelasan kata dalam bentuk nomina (kata benda): omelan ‘perkataan yang menyatakan kurang senang’.
Nuansa negatif kata omel tersingkapkan juga pada padanan bahasa Inggris, sebagaimana tertera pada Kamus Stevens dan Schmidgall-Tellings (2009), yang menginggriskannya dengan grumbling, complaining, grousing. Lebih terasakan warna negatifnya membaca contoh kalimatnya: "Jika saya mandi lebih dari lima gayung, ibu kos saya akan (me)ngomel panjang". Pada kata (me)ngomeli contohnya "Anak jangan (me)ngomeli ortunya".
Tesaurus Endarmoko ed. II (2016) menyinonimkan omel dengan gerutu, gerundel, marah-marah. Sebetulnya ada kata lain yang, jika ditilik dari padanan maknanya pada KBBI, dapat bermiripan makna dengan omel: bawel, cerewet, nyenyeh, nyinyih, yang kesemuanya bernuansa negatif.
Bagaimana merumuskan makna kata omel? Bentuk verbanya (kata kerja) oleh KBBI dimaknai ‘marah dengan mengeluarkan kata-kata’. Pemaknaan KBBI ini, jika dilengkapi dengan padanan kata di atas, dapat teruraikan begini. Kata mengomel bukan (a) “verba tindakan” (seperti meloncat, menari), melainkan (b) “verba komunikasi” (diucapkan kepada orang lain supaya didengar) yang (i) berupa lisan, (ii) nadanya keras, (iii) bisa berupa rentetan kata panjang atau berulang-ulang, dan (iv) disertai warna emosi negatif.
Tanyaannya, apabila diterapkan pada konteks obituari Badil, persis samakah jika diuraikan maknanya? Sama-sama bermakna (b), tetapi hanya butir (i) sampai dengan d. (iii) yang persis sama. Butir (iv) berbeda. Menurut kamus bernuansa negatif, di obituari bernuansa positif, sebagaimana terungkap pada gambaran mengenai diri Badil ini.
Pada obituari dituliskan diri Badil sebagai “jurnalis unik yang sering ngomel, tetapi punya hati selembut kapas”. Penutupnya: “Omelanmu gak bakal terdengar lagi. Tapi, omelanmu, dampratanmu tak akan dilupakan banyak pengagummu.” Makna mana yang benar: makna yang di kamus atau yang di konteks obituari? Konteks bisa bermacam-macam; salah satu contohnya obituari Badil. Ini bukan ihwal benar atau salah. Tugas kamus hanya menguraikan atau mendaftar potensi atau kemungkinan makna kata – terlepas, tak terkait dengan konteks pemakaian saat kita berbahasa. Makna sesungguhnya di dalam bahasa adalah makna sebagaimana yang digunakan di dalam konteks, yang dapat berupa percakapan atau teks (tulisan).
Bisa tidak persis sama dengan yang dijelaskan di kamus? Ya. Itulah bahasa – terbuka banyak kemungkinan, terpulang pada siapa yang berbicara atau menulis, tentang apa, kapan, di mana, dan kepada siapa ditujukan.
BAMBANG KASWANTI PURWO, Guru Besar Linguistik Unika Atma Jaya