Ancaman terhadap keberlangsungan hidup anoa di Sulawesi Tenggara masih terus terjadi. Hewan endemik Sulawesi yang dilindungi ini terus terjerat jebakan warga dan kehilangan tempat karena perambahan hutan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Ancaman terhadap keberlangsungan hidup anoa di Sulawesi Tenggara masih terus terjadi. Hewan endemik Sulawesi yang dilindungi ini terus terjerat jebakan warga dan kehilangan tempat karena perambahan hutan. Jaminan kelestarian perlu terus ditingkatkan.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra Lao Ode Kaida, Selasa (23/7/2019), menuturkan, kasus anoa yang terjerat jebakan warga ini adalah yang pertama untuk tahun ini. Pada 2016 tercatat seekor anoa juga terjebak jeratan warga. Sebuah kasus lain juga terjadi pada 2017.
”Untuk yang kali ini, anoa ditemukan terjerat jebakan tali warga di Desa Bangun Jaya, Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan, pada Minggu (21/7/2019) pagi. Sore hari, warga menyerahkan anoa ini kepada tim BKSDA, lalu hari ini kami tangani dan lakukan perawatan,” ucap Kaida, di Kendari.
Anoa dataran tinggi (Bubalus quarlesi) ini mengalami luka di kaki kiri depan karena jeratan tali. Hewan dilindungi ini diperkirakan terus meronta untuk melepaskan diri selama lebih dari dua hari. Gesekan tali membuat kulit kaki terkelupas dan sebuah kukunya juga hampir tercabut.
Anoa itu kini ditangani tim kesehatan BKSDA Sultra. Setelah dibersihkan, anoa juga diberi antibiotik untuk mencegah bakteri menempel. Masa pemulihan diperkirakan sekitar dua minggu.
Menurut Kaida, ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam pelestarian anoa sebagai hewan endemik di Sultra. Beberapa di antaranya adalah perambahan hutan, penebangan pohon secara ilegal, perburuan liar, dan konflik satwa.
”Ini yang menjadi tantangan kami. Akan tetapi, kami terus melakukan sosialisasi dan patroli di dalam kawasan hutan. Sejauh ini, hasilnya menunjukkan tren positif. Apalagi sudah ada instruksi untuk membersihkan jerat hewan di kawasan hutan,” ucap Kaida.
Dari data BKSDA Sultra, populasi anoa di wilayah monitoring bertambah meski dengan tingkat pertumbuhan sangat minim. Sejak 2013, pertambahan anoa di wilayah monitoring hanya sekitar 14 ekor. Basis data pemantauan anoa pada 2013 sejumlah 179 ekor, sementara pada 2018 sejumlah 193 ekor.
Peningkatan jumlah ini hanya untuk di wilayah pemantauan, bukan untuk kondisi Sulawesi Tenggara secara umum. Lokasi pemantauan anoa sebanyak empat titik di dua kawasan, yakni dua lokasi di Taman Suaka Marga Satwa Tanjung Peropa dan selebihnya di Buton Utara. Total luas wilayah pemantauan ini adalah 76 hektar.
Anoa merupakan hewan dilindungi dengan status rentan punah. Di Sulawesi, hewan ini terdiri atas dua spesies, yaitu anoa dataran tinggi dan anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis).
Anoa adalah salah satu satwa yang membuat Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris, kebingungan. Saat berkunjung ke Manado pada Juni-September 1859, ia menulis, ”Telah terjadi kontroversi apakah satwa ini digolongkan sebagai lembu, kerbau, atau antelop.” Di masa itu pula, Wallace mencatat, perburuan daging anoa telah mengancam populasi satwa unik tersebut (Kompas, 1/8/2018).
Kelangsungan hidup hewan ini terus terusik akibat rusaknya habitat juga karena perburuan. Di Sultra, pembukaan kawasan hutan untuk industri dan perkebunan skala besar juga terus terjadi.
Rosek Nursahid, pendiri ProFauna Indonesia, menegaskan, ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup anoa memang terus tinggi. Selain perburuan, perambahan hutan juga menjadi pemicu utama.
”Dalam beberapa kasus, para perambah, penebang liar yang tinggal di hutan ikut memburu anoa untuk diperjualbelikan. Mereka sekalian melakukan perburuan hewan ketika berada di dalam hutan,” kata Rosek.
Selain itu, ujarnya, pembukaan hutan dengan berbagai tujuan membuat hewan yang tinggal di dalamnya terusik lalu mencari tempat lain di luar kawasan. Saat keluar, hewan itu menjadi sasaran empuk pemburu atau terjadi konflik dengan masyarakat.
Yang perlu diapresiasi adanya instruksi untuk membersihkan jerat hewan di hutan.
Oleh karena itu, ujar Rosek, program pemantauan dan monitoring harus terus dilakukan untuk menjaga kelestarian hewan endemik ini. Patroli rutin harus selalu dijalankan agar kasus perburuan semakin berkurang.
”Yang perlu diapresiasi adanya instruksi untuk membersihkan jerat hewan di hutan. Tetapi, karena ini masih baru, maka harus terus dioptimalkan. Kami berharap agar program perlindungan hewan terus dilakukan berbagai pihak,” kata Rosek.