Dengan sedikit tergagap-gagap, Fathur Rozi, saksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari Kecamatan Kedungdung, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, menjelaskan kronologi kejanggalan hasil perhitungan suara di wilayahnya kepada majelis hakim konstitusi. Beberapa kali ia meminta maaf kepada majelis hakim karena penjelasannya yang dipandangnya kurang baik.
Fathur adalah salah satu saksi yang dihadirkan di dalam sidang Mahkamah Konstitusi, Selasa (23/7/2019), terkait dengan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) legislatif. Selaku saksi PKB di sidang itu Fathur harus bisa meyakinkan majelis bahwa benar ada suara partainya yang hilang di tingkat kabupaten. PKB dalam permohonan itu mengajukan sengketa karena mengklaim ada perolehan suaranya yang ditulis nol atau tidak ada suara sama sekali di Sampang. Padahal, selama beberapa kali pemilu, daerah itu merupakan salah satu basis partai.
“Yang hilang di dua desa, Pak Hakim. Desa Daleman, Kecamatan Kedungdung, dan Desa Batu Porot Timur, Kecamatan Gundu. Ini tidak rasional, kok lumbung caleg, malah caleg ini jadi nol. Oleh karenanya Pak Hakim, saya mohon dengan sangat agar suara itu dikembalikan kepada partai,” kata Fathur.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang berdiskusi dengan saksi pun mengingatkan, agar saksi tidak mengatakan permohonan itu. “Oh itu tidak boleh itu saksi berkata demikian. Bukan porsi saksi. Itu nanti yang mengatakan itu adalah pemohon. Bukan Saudara saksi. Jadi selaku saksi hanya menjelaskan apa yang saudara lihat, dengar, alami sendiri. Kalau untuk memohon itu bukan bagian saksi,” kata Arief.
Fathur yang menyadari kekeliruan itu lalu mohon maaf. “Maaf Pak Hakim, saya tidak tahu. Saya terus terang baru ini masuk ke ruang sidang dan jadi saksi,” katanya dengan logat yang kental.
“Oh tidak apa-apa, tidak apa-apa itu. Itu biasa itu,” kata Arief yang disambut tawa hadirin.
Suasana sidang dengan agenda pembuktian di ruang sidang panel satu yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman serta dua anggota, Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih, berlangsung cair. Humor kerap dilontarkan oleh para hakim untuk menanggapi keterangan saksi yang polos dan apa adanya. Pemandangan itu sedikit berbeda dengan sidang pembuktian dalam sengketa pemilu presiden beberapa waktu lalu, yang suasananya lebih serius dan tegang, lantaran para hakim harus pula mengendalikan pertanyaan dari para kuasa hukum yang berpengalaman.
Belum lagi pemohon, termohon, dan pihak terkait, menghadirkan ahli-ahli yang berkompeten, menguasai bidang keahlian tertentu, dan umumnya adalah kalangan akademisi. Diskusi yang mendalam dan serius terbangun dalam tanya-jawab antara hakim, advokat, dan para saksi serta ahli.
Dalam sidang pembuktian sengketa pemilu legislatif, para saksi yang umumnya adalah rakyat kebanyakan, kader partai di tingkat desa atau kecamatan, mendominasi. Mereka berbicara dengan pengalaman riil yang mereka lihat, dengar, dan alami langsung. Kadang-kadang logat daerah mereka yang kental memancing tawa hadirin. Tetapi keberanian mereka menyampaikan apa yang mereka alami dengan sejujur-jujurnya memiliki nilai yang tiada tara.
Di panel dua yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto, kepolosan itu juga meluncur dari Andri Ticualu, yang merupakan saksi partai Nasdem di Kecamatan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, Banten. Saat ditanyai hakim apakah ia memiliki mandat sebagai saksi, Andri mengatakan tidak.
“Lho, Saudara tidak memiliki mandat, tetapi bisa masuk, itu bagaimana. Berarti Saudara ini saksi ilegal?” tanya Aswanto.
“Tidak Yang Mulia. Saya memang tidak bawa mandat, tetapi buktinya saya bisa masuk, dan banyak juga di sana saksi yang tidak membawa mandat,” katanya.
Hakim sempat bertanya kepada anggota KPU Hasyim Asy’ari selaku perwakilan termohon, tentang keharusan mandat tersebut. Menurut Hasyim, untuk bisa menjadi saksi dalam rekap penghitungan suara, seseorang harus memiliki mandat.
Juru bicara MK yang juga hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan, saksi tidak dilihat dari statusnya, melainkan apa yang disampaikannya. Nilai saksi justru ditimbang dari apa yang ia lihat, dengar, dan alami sendiri. Saksi yang mengatakan dengan jujur apa yang ia alami memiliki nilai kesaksian yang tinggi. Dalam konteks persidangan PHPU, keterangan saksi penting, dan merupakan bukti sekunder (secondary evidence) yang seharusnya bisa mendukung bukti berupa dokumen.
“Dalam sidang di MK, bukti dokumen menempati prioritas pertama, sedangkan keterangan saksi adalah secondary evidence yang merupakan bukti tambahan atau pendukung bagi bukti berupa dokumen itu,” ujarnya.
Dalam sidang di MK, bukti dokumen menempati prioritas pertama, sedangkan keterangan saksi adalah secondary evidence yang merupakan bukti tambahan atau pendukung bagi bukti berupa dokumen itu
Suasana yang relatif cair dan banyak diwarnai humor maupun pemakluman dalam menghadapi saksi-saksi selama sidang pembuktian PHPU legislatif, menurut Palguna, adalah cara mahkamah untuk menggali keterangan sedalam mungkin dari para saksi. Harapannya ialah saksi yang tidak semuanya pernah bersidang itu tidak merasa tertekan, atau takut dan stres, di dalam sidang yang terlampau serius dan menguras pikiran. Saksi yang lebih rileks dengan demikian akan leluasa menyampaikan apa yang mereka lihat, dengar, dan alami sendiri.
Pendidikan hukum
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, mengatakan, sidang MK yang terbuka untuk umum, dan dihadiri tidak hanya dari kalangan akademisi yang setiap hari akrab dengan proses hukum, merupakan pendidikan hukum yang baik bagi masyarakat. Konsep peradilan modern yang berupaya diterapkan MK membuka akses secara luas kepada publik untuk terlibat.
“Di dalam sidang pembuktian mungkin banyak saksi yang baru pertama ini bersidang, masuk ke ruang sidang, dan menjawab pertanyaan hakim. Mereka berasal dari beragam latar belakang. Hal ini justru baik, karena dengan demikian publik semakin sadar pelibatan mereka dalam demokratisasi, dan upaya menjaga konstitusionalitas pemilu melalui MK,” katanya.
Rakyat kebanyakan tidak teralienasi dari demokratisasi yang selama ini kerap hanya didominasi wacana perebutan kekuasaan oleh para elite politik. Persidangan di MK yang terbuka dan memungkinkan akses bagi rakyat kebanyakan untuk berpartisipasi dalam sidang MK sejatinya merupakan pendidikan hukum yang baik.
“Rakyat menjadi tahu dan merasa terlibat dalam pelaksanaan demokrasi. Bukan hanya ketika mereka menjadi pemilih, tetapi ketika mereka berperan mengawasi proses, dan juga memertahankan atau berpartisipasi dalam mewujudkan pemilu yang demokratis. Salah satunya ialah dengan hadir menjadi saksi di persidangan MK,” kata Veri.
Pendidikan hukum yang ditampilkan MK dalam pembuktian sengketa pemilu legislatif sedikit banyak menguntungkan proses demokrasi. Proses yang terbuka dan melibatkan banyak orang akan membuat tingkat kepercayaan publik semakin tinggi terhadap proses demokratisasi yang sedang berjalan.
“Mereka yang selama ini meragukan demokrasi ada manfaatnya, atau lebih banyak mudharatnya (keburukannya), dengan pelibatan rakyat yang lebih luas dalam persidangan di MK ini mungkin akan berubah pikiran. Mereka berpotensi makin percaya dengan demokrastisi yang sedang berjalan, atau setidaknya melihat harapan bahwa demokrasi kita dalam proses menuju tahapan yang lebih baik,” katanya.