Dua Gajah di Aceh Luka Parah Terkena Jerat Pemburu
Dua gajah liar berjenis kelamin betina ditemukan terluka parah di kaki akibat terkena jerat. Setelah diobati tim dokter hewan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh, kedua gajah itu bisa dilepaskan kembali ke habitatnya.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
IDI, KOMPAS — Dua gajah liar berjenis kelamin betina ditemukan terluka parah di kaki akibat terkena jerat. Setelah diobati tim dokter hewan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh, kedua gajah itu bisa dilepaskan kembali ke habitatnya.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Sapto Aji Prabowo mengatakan, dua gajah itu ditemukan pada Sabtu (29/7/2019) dan Senin (29/7/2019) oleh ranger Forum Konservasi Leuser (FKL) di dalam kawasan perkebunan sawit milik perusahaan di Desa Rantau Panjang, Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur.
Keduanya diduga berumur 35 tahun dan bergerak bersama. Seekor gajah terkena jerat di pergelangan kaki kanan dan gajah lainnya terjerat di pergelangan kaki kiri.
”Kami menduga gajah ini kena jerat sekitar satu bulan lalu. Keduanya memiliki seekor anak, usianya sekitar 7 tahun,” kata Sapto.
Saat ditemukan, gajah itu dalam kondisi sekarat. Bahkan, untuk berdiri saja gajah itu kesulitan. Pergelangan kaki gajah mengalami luka parah dan mulai membusuk. Tali tambang melilit erat di pergelangan kakinya. Sementara anak gajah berada tak jauh menunggui induknya.
Tim medis bersama ranger FKL membuka tali jerat dan mengobati luka. Setelah dipastikan dalam kondisi membaik, gajah itu dilepaskan kembali ke habitatnya.
”Menurut tim dokter, gajah ini bisa dilepaskan kembali,” kata Sapto.
Ini bukan kali pertama gajah terkena jerat. Pada 18 Juni 2019, seekor anak gajah berusia satu tahun sekarat dengan kaki terjerat. Anak gajah ini kemudian dievakuasi ke pusat mitigasi gajah. Gajah bernama Salma itu kondisinya mulai membaik.
Sapto mengatakan, jerat itu diduga sengaja dipasang pemburu. Perdagangan satwa lindung di pasar gelap memicu pemburu menangkap satwa lindung dengan cara memasang perangkap, menembak, dan meracun.
”Aksi itu mengancam keselamatan satwa lindung,” kata Sapto.
Koordinator Wildlife Protection Team-Forum Konservasi Leuser (WPT-FKL) Dediansyah mengatakan, perburuan masih menjadi ancaman utama terhadap keberlangsungan satwa lindung di Leuser. Tahun 2017, tim patroli FKL menemukan 729 kasus perburuan dan 814 jerat satwa.
Setahun kemudian, patroli dilakukan selama 302 kali (satu kali patroli durasi 15 hari) menurunkan 26 tim. Selama 2018, tim patroli menempuh perjalanan 18.800 kilometer dengan temuan 613 kasus perburuan, 843 jerat dan perangkap, serta 176 tempat tinggal sementara para pemburu. Tim juga memergoki 38 pemburu yang sedang memasang perangkap dan menemukan 96 bangkai satwa yang diduga diburu.
Kata Dediansyah, meski ada penurunan penemuan kasus, perburuan masih sangat marak. ”Kami berhadapan langsung dengan pemburu di lapangan. Mereka sebagian besar orang Aceh, tetapi ada juga dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat,” kata Dediansyah.
Bentuk jerat dan perangkapnya beragam. Ada yang terbuat dari baja sling, papan yang dipasangi paku, dan jeruji besi yang dilas. Pemburu menangkap beragam hewan dilindungi, seperti gajah, harimau, rusa, beruang, rangkong, dan orangutan.
Bentuk jerat dan perangkapnya beragam. Ada yang terbuat dari baja sling, papan yang dipasangi paku, dan jeruji besi yang dilas.
Dediansyah mengatakan, perburuan marak terjadi karena penegakan hukum dan perlindungan satwa di dalam kawasan itu masih lemah. Pemburu dengan mudah masuk ke dalam kawasan dan memburu satwa lindung.
”Permintaan terhadap organ satwa di pasar gelap tinggi sehingga perburuan juga marak. Tanpa penegakan hukum yang tegas, satwa-satwa lindung ini akan punah,” kata Dediansyah.