Harga kelapa terancam menurun karena berkurangnya permintaan ekspor kelapa bulat. Untuk itu, hilirisasi produk turunan kelapa sangat mendesak agar petani mendapat nilai tambah.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PEMULUTAN, KOMPAS — Harga kelapa terancam turun karena berkurangnya permintaan ekspor kelapa bulat terutama dari Thailand. Untuk itu, hilirisasi produk turunan kelapa sangat mendesak dilakukan agar harga kelapa terjaga dan produk turunan memberikan nilai tambah.
Salah satu eksportir kelapa di Sumatera Selatan, Veta Aminu, seusai pelepasan ekspor santan beku ke China dan Hong Kong di Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel, Sabtu (10/8/2019), menuturkan, ekspor kelapa bulat tidak lagi menguntungkan karena beberapa negara sudah mengurangi penyerapan kelapa bulat dari Sumsel. Thailand, misalnya, sudah membatasi penyerapan kelapa dari Indonesia. Apalagi, saat ini Thailand sudah memiliki perkebunan kelapa sendiri.
Berkurangnya pemesanan juga disebabkan oleh kualitas kelapa bulat Indonesia yang belum baik. ”Banyak kelapa yang tidak diterima karena busuk atau bertunas di tengah perjalanan,” kata Veta. Selain itu, harga kelapa bulat yang ditawarkan Vietnam juga jauh lebih murah.
Dampak dari penurunan pemesanan Thailand juga sudah mulai terasa setelah tahun 2016-2017. Pada periode itu, Veta bisa mengirim sekitar 30 kontainer kelapa per minggu, tetapi sekarang hanya tinggal 5 kontainer per minggu.
Dari sekitar 1 juta butir kelapa per bulan, 60 persen diekspor ke China dan Thailand, sisanya dikirim ke Lampung dan Pangandaran, Jawa Barat, untuk diolah. ”Jadi, dengan tidak adanya pasar ekspor, tentu akan berpengaruh signifikan terhadap harga kelapa,” kata Veta.
Veta mencontohkan, pada Oktober 2018, harga kelapa menyentuh Rp 600 per butir. Hal ini terjadi karena China dan Thailand menghentikan impor hingga dua bulan. Kondisi ini merugikan petani karena untuk memproduksi satu butir kelapa dibutuhkan biaya sekitar Rp 400.
Namun, kedua negara itu kembali menyerap impor pada Maret 2019. Harga pun kembali melonjak dari Rp 600 menjadi Rp 1.500 per butir. Padahal, tahun 2016-2017, harga kelapa menyentuh Rp 3.800 per butir.
Untuk itu, lanjut Veta, hilirisasi sangat dibutuhkan. Hilirisasi bisa memberikan nilai tambah bagi petani. Ia yakin, langkah tersebut bisa terwujud karena di Indonesia sudah ada Pangandaran yang telah membuat industri turunan kelapa yang lengkap, seperti pengolahan sabut, air kelapa, santan, dan beragam turunan lain.
”Sebagai penghasil kelapa terbesar di Indonesia, tentu Sumsel punya potensi ke sana,” ujar Veta.
Hilirisasi bisa memberikan nilai tambah bagi petani.
Langkah itu salah satunya sudah dilakukan PT Kelapa Puncak Nusantara yang mengekspor santan beku ke China, Hong Kong, dan Thailand. Pemilik PT Kelapa Pucuk Nusantara, Romli Rusli, mengatakan, pembuatan santan beku dilakukan karena memiliki nilai ekonomis yang lebih baik daripada mengekspor kelapa dalam bentuk kelapa bulat.
Kalau kelapa diekspor dalam bentuk kelapa bulat, satu kelapa hanya dihargai Rp 1.300 per butir. Namun, saat mengekspor santan, dapat dihargai sekitar Rp 10.000 per kilogram. Dalam 1 kilogram santan dibutuhkan sekitar tiga kelapa, berarti bahan baku hanya sekitar Rp 3.900 per kilogram.
Sejak berproduksi 10 bulan lalu, kebutuhan kelapa putih terus meningkat. Pada hari pertama produksi, perusahaannya membutuhkan 1 ton kelapa putih (kelapa yang telah dikupas) per hari. Adapun per Juni 2019, kebutuhan kelapa sudah 12 ton per hari. ”Sampai akhir tahun, kemungkinan kapasitas akan ditingkatkan menjadi 20 ton per hari,” kata Romli.
Pada periode November 2018-Juli 2019, Romli telah mengekspor santan kelapa sebanyak 758 ton ke China, Hong Kong, dan Thailand dengan nilai Rp 2,8 triliun. Ia belum membuat industri turunan kelapa yang lain karena keterbatasan alat.
Untuk membuat air kelapa, misalnya, dibutuhkan alat fregmentasi. Kalau tidak, air kelapa akan mudah basi. Adapun untuk sabut, kelapa yang didatangkan memiliki sabut yang tipis sehingga tidak bisa diolah lagi.
Kepala Badan Karantina Pertanian Ali Jamil menyebutkan, pengiriman ekspor dalam bentuk santan kelapa bisa memberikan nilai tambah sekitar 30 persen dibandingkan dengan pengiriman ekspor dalam bentuk kelapa bulat. Hari itu Ali melepas ekspor santan perdana periode Agustus 2019 sebanyak 79,2 ton tujuan China dan 12,6 ton tujuan Hong Kong.
Berdasarkan data lalu lintas komoditas pertanian Badan Karantina Pertanian, setidaknya ada 12 negara yang menjadi konsumen santan asal Indonesia, antara lain Thailand, Amerika Serikat, Belgia, Australia, Selandia Baru, dan Belanda.
Ali menuturkan, selain dalam bentuk santan, kelapa bisa diolah dalam bentuk turunan lain, misalnya batok kelapa sebagai bahan pembuat arang, sabut, air kelapa, atau bahkan gula semut.
”Untuk air kelapa sekitar 500 mililiter saja dihargai belasan ribu rupiah. Hanya butuh dua kelapa untuk menghasilkan air sebanyak itu,” ucapnya. Potensi ini tentu akan memberikan nilai tambah kepada petani sehingga harga yang diperoleh bisa jauh lebih tinggi.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru menuturkan, dirinya akan mendukung investor yang mengedepankan penyerapan tenaga kerja dan pengolahan produk turunan.
”Saya sudah menginstruksikan seluruh kepala daerah untuk mempermudah pemberian izin agar investasi bisa masuk,” katanya.
Di sisi lain, pembangunan infrastruktur pelabuhan laut dalam juga akan diupayakan agar eksportir bisa lebih mudah memasarkan produknya langsung dari Sumsel. ”Mudah-mudahan setelah pembentukan kabinet baru, sudah ada perkembangan,” lanjutnya.
Herman berharap, hilirisasi tidak hanya terjadi pada kopi, tetapi juga komoditas unggulan Sumsel yang lain, seperti karet, kopi, dan kelapa sawit.