Buku ”Untuk Republik: Kisah-Kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa” karya Faisal Basri dan Haris Munandar menampilkan kisah kesederhanaan para tokoh bangsa. Mulai dari Wapres pertama Bung Hatta, Kapolri pertama Jenderal (Polisi) Soekanto, hingga mantan hakim agung Artidjo Alkostar.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Hingga akhir hayatnya, Wakil Presiden pertama Indonesia Mohammad Hatta memilih untuk tidak memiliki sepatu merek Bally. Ini sekalipun Hatta mengidamkan sepatu berkualitas tinggi dan terkenal mahal harganya itu. Apalagi, dengan jabatannya, seharusnya tidak sulit untuk memilikinya.
Tak lama setelah wafat pada 14 Maret 1980, keluarga Bung Hatta menemukan lipatan guntingan iklan lama dalam dompetnya. Iklan itu adalah iklan sepatu merek Bally, sepatu yang mendunia kualitasnya, dan mahal harganya.
Namun, hingga Hatta wafat, dia memilih untuk tidak memilikinya. Padahal, dengan jabatannya sebagai wakil presiden, apalagi dia juga berasal dari keluarga yang tak kekurangan, bukan perkara sulit untuk memilikinya.
Hatta bersikukuh memilih untuk tidak memilikinya karena dia memilih untuk hidup sederhana.
Selain sifat sederhana, Hatta juga dikenal sebagai tokoh yang bersih dan jujur. Hal ini ditunjukkan Hatta ketika memarahi sekretarisnya saat di pemerintahan, I Wangsa Wijaya, yang menggunakan tiga lembar kertas Sekretariat Negara (Setneg) untuk membuat surat kantor wapres. Hatta kemudian mengganti tiga lembar kertas Setneg tersebut dengan uang kas wapres.
Meski terkesan remeh, Hatta selalu berusaha untuk tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Jenderal Soekanto
Sifat meninggalkan kemewahan yang ditawarkan dari sebuah jabatan dan kedudukan juga ditunjukkan Kepala Polri pertama Jenderal (Polisi) Soekanto. Soekanto yang menjabat Kepala Polri selama 14 tahun sejak 1945-1959 ini jauh dari citra korup dan memiliki integritas tinggi.
Banyak kalangan menilai, Jenderal Soekanto merupakan perwira tinggi polisi yang sederhana, bahkan bisa dibilang termiskin. Bahkan, lebih miskin dari Kepala Polri kelima Jenderal (Polisi) Hoegeng yang ditokohkan sebagai polisi jujur serba sederhana. Sebab, hingga akhir hayatnya, Soekanto tidak memiliki rumah dinas ataupun rumah pribadi.
Setelah Soekanto mengakhiri jabatannya sebagai Kepala Polri pada Desember 1959, dia langsung meninggalkan rumah dinasnya di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta, dan pindah ke rumah kontrakan tua di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta.
Padahal, sebagai pejabat setingkat menteri dia berhak atas rumah tersebut. Namun, Soekanto tidak pernah mengeluh atau menyesali nasibnya.
Artidjo Alkostar
Figur lain yang dikenal bersih, jujur, dan sederhana juga melekat pada mantan hakim agung yang baru pensiun pada 2018, Artidjo Alkostar.
Kesederhanaan dan kejujuran tersebut setidaknya terlihat dari harta kekayaannya. Dia hanya memiliki rumah seluas 50 meter persegi di Yogyakarta. Sementara di Jakarta, Artidjo tinggal sendiri di rumah kontrakan di perkampungan padat Kramat Kwitang.
Selain itu, Artidjo juga terkenal dengan ketegasannya dalam menjatuhkan hukuman maksimal pada kasus korupsi dan bandar narkoba kelas kakap. Dia selalu menyatakan, vonisnya itu didasarkan pada pertimbangan hukum yang jelas dan bisa diperiksa oleh semua ahli hukum.
Kisah teladan
Kisah kesederhanaan dan kejujuran baik Hatta, Soekanto, maupun Artidjo ini terangkum dalam buku Untuk Republik: Kisah-Kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa karya Faisal Basri dan Haris Munandar yang diluncurkan di Galeri Nasional, Jakarta, Selasa (13/8/2019) .
Dalam buku tersebut, Faisal dan Haris tidak hanya menulis kisah Hatta dan Soekanto. Mereka juga mengisahkan 21 tokoh lainnya. Di antaranya, Inggit Ganarsih Soekarno, Agus Salim, WR Soepratman, Jenderal Soedirman, dan Baharuddin Lopa.
Meski demikian, Faisal mengatakan bahwa jumlah tokoh sederhana, jujur, bersih, dan mulia bisa jadi lebih banyak dibandingkan yang dipaparkan dalam buku tersebut. Hanya saja, tokoh-tokoh tersebut sengaja memilih kesederhanaan sebagai prinsip pribadi sehingga tidak untuk dipamerkan. Kisah kesederhanaan mereka juga tidak dapat diketahui karena orang terdekatnya memilih untuk merahasiakan atau menutupinya.
Perlu diteladani
Putri ketiga Muhammad Hatta, Halida Hatta, yang turut hadir dalam peluncuran buku itu, mengatakan, kesederhanaan ayahnya secara tidak langsung juga diwariskan kepada keluarganya. Salah satunya, keluarganya selalu membangun jati diri untuk menjalani hidup sesuai kebutuhan.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif melihat, kesederhanaan para tokoh tersebut menunjukkan mereka tidak pernah memaksakan diri untuk memiliki barang-barang yang pada kenyataannya belum tentu dibutuhkan.
Sifat memaksakan diri itu jika dipraktikkan dapat memicu orang untuk melakukan tindakan tidak terpuji, seperti korupsi. Dan, hal itu pula yang terlihat pada koruptor yang banyak ditangkap KPK.
”Orang tidak kaya juga bisa sukses. Contohnya saja orang yang baik dan berkarakter itu tidak perlu menyuap dan membeli suara untuk menang pemilu. Dia juga tidak perlu berkampanye karena orang akan percaya untuk memilih dia,” tambahnya.
Kisah kesederhanaan dari para tokoh terdahulu sudah sepatutnya diteladani, khususnya oleh para elite bangsa ini. Apalagi, jika melihat kesederhanaan belakangan ini seperti barang langka. Yang ada, elite tak henti-hentinya menimbun harta kekayaaan sekalipun mereka sadar masih banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan.