Gugatan Kivlan Zen Pintu Masuk Penyelesaian Kasus 1998-1999
Koalisi masyarakat sipil mendesak Presiden Joko Widodo segera membentuk pengadilan hak asasi manusia (HAM) ad hoc dan memerintahkan Jaksa Agung, HM Prasetyo menyidik hasil penyelidikan Komisi Nasional HAM atas kasus pelanggaran HAM berat 1998-1999.
Oleh
sharon patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Gugatan perdata mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen terhadap mantan Panglima ABRI Jenderal (Purn) Wiranto terkait pembentukan Pam Swakarsa tahun 1998, harusnya menjadi pintu masuk untuk melanjutkan pengusutan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat 1998-1999.
Koalisi masyarakat sipil mendesak Presiden Joko Widodo segera membentuk pengadilan hak asasi manusia (HAM) ad hoc dan memerintahkan Jaksa Agung, HM Prasetyo menyidik hasil penyelidikan Komisi Nasional HAM.
Seperti diketahui, Kivlan Zen mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Wiranto. Gugatan masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur, 5 Agustus 2019. Gugatan terkait perintah Wiranto kepada Kivlan Zen untuk membentuk pasukan sipil Pam Swakarsa tahun 1998.
Saat itu, Wiranto disebut belum membayar keseluruhan biaya pengerahan sebanyak 30.000 orang Pam Swakarsa. Dari total biaya yang dihabiskan Rp 8 miliar, Kivlan mengaku baru menerima Rp 400 juta. Dalam gugatannya, Kivlan menuntut ganti rugi sebesar satu triliun rupiah.
Communication Officer Lokataru Foundation, Ahmad Sajali dalam jumpa pers koalisi masyarakat sipil bertajuk “Gugatan Kivlan Zen terhadap Wiranto: Kegagalan Pemerintahan Joko Widodo Mengadili dan Menyelesaikan Pelanggaran HAM Berat”, di Jakarta, Kamis (15/8/2019), menyebutkan, saat itu, Wiranto juga memerintahkan Kivlan Zen mengeluarkan kebijakan Operasi Mantap ABRI (1997-1998) dan Operasi Mantap Brata (1999).
Kebijakan menjadi dasar berbagai operasi penghadangan dan penyerangan terhadap demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil pada peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Pengerahan Pam Swakarsa bertujuan untuk mendukung pelaksanaan Sidang Istimewa MPR pada 10-13 November 1998. Sebuah sidang yang ditolak oleh mahasiswa pro-reformasi 1998 melalui unjuk rasa.
Koalisi masyarakat sipil yang hadir selain Lokataru Foundation, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Hadir pula sebagai narasumber, Divisi Koordinator KontraS Feri Kusuma; Maria Catarina Sumarsih, ibu Benardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I; dan Asih Widodo, ayah Sigit Prasetyo mahasiswa Universitas Yayasan Administrasi Indonesia yang tewas saat Tragedi Semanggi I.
Dalam peristiwa pelanggaran HAM berat periode 1998-1999, setidaknya ada 18 orang meninggal dunia termasuk mahasiswa. Mereka adalah Wawan; Sigit Prasetyo; Teddy Mardani, mahasiswa ITI; Engkus Kusnaedi, mahasiswa Unija Pulo Mas; Heru Sudibyo, mahasiswa STIE Rawamangun; dan Lukman Firdaus, pelajar.
Maria Catarina Sumarsih menyampaikan, gugatan Kivlan Zen dapat menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk menindaklanjuti dan mengungkap peristiwa pelanggaran HAM berat 1998-1999. Kejaksaan Agung diminta melanjutkan hasil penyelidikan Komnas HAM dan meningkatkannya ke penyidikan.
“Untuk kasus pelanggaran HAM berat, jelas pelakunya bukan lembaga negara tapi individu-individu. Maka tuntutan kami, agar Presiden Joko Widodo berani memerintahkan Jaksa Agung untuk menyidik kasus-kasus pelanggaran HAM berat,” kata Sumarsih.
Feri Kusuma menegaskan, sebagai negara hukum, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat menjadi indikator penting untuk menunjukkan sejauh mana komitmen Presiden Joko Widodo. Sebab, pelanggaran HAM berat telah menjadi beban sosial politik bangsa Indonesia.
“Kasus pelanggaran HAM berat masa lalu selama ini menimbulkan rasa ketidakadilan dan ketidakpastian bagi para korban dan keluarganya. Mereka terus meminta agar kasus-kasus ini diselesaikan,” kata Feri.
Oleh karena itu, penting bagi Kejaksaan Agung menuntaskan pengusutan pelanggaran HAM berat 1998-1999, dan membawa para pelaku yang diduga terlibat ke pengadilan. Terkait hal itu, Presiden Joko Widodo dituntut untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc.
“Pengadilan HAM ad hoc juga akan menjernihkan dan membuka fakta siapa saja yang terlibat dan bersalah. Ini penting bagi kelangsungan masa depan bangsa kita dalam menangani perkara-perkara pelanggaran HAM berat,” kata Feri.
Mediasi
Sementara itu, gugatan Kivlan terhadap Wiranto mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, hari ini. Dikutip dari Kompas.com, dalam sidang perdana itu, kuasa hukum kedua belah pihak sepakat bermediasi.
Proses mediasi memakan waktu 30 hari dan bisa diperpanjang jika diperlukan. Hasil mediasi rencananya akan diumumkan dalam sidang berikutnya yang digelar pada 26 September 2019.
"Kalau mediasi itu berhasil, kita akan lanjutkan persidangan dengan membuat keputusan akta perdamaian sesuai kedua belah pihak," kata Antonius. Namun, bila mediasi tidak membuahkan perdamaian, sidang akan dilanjutkan, dan pembacaan putusan dijadwalkan pada 19 Desember 2019.