Perlawanan Pramoedya Ananta Toer
Hari-hari terakhir ini, dua karya Pramoedya Ananta Toer, Perburuan (1950) dan Bumi Manusia (1980), bisa disaksikan dalam tayangan layar lebar. Penjara dan kerja paksa tak mampu meredam pemikiran Pram. Ia melawan dengan caranya sendiri.
Jika Pramoedya Ananta Toer masih hidup, ia akan berusia 94 tahun. Mungkin juga ia punya kesempatan mengetahui bagaimana akhir dari kisah hidupnya yang berliku.
Hari-hari terakhir ini, dua karyanya, Perburuan (1950) dan Bumi Manusia (1980), bisa disaksikan dalam tayangan layar lebar, sesuatu yang barangkali tidak pernah diimpikan Pram.
Ia hanya selalu bilang,”Ingin tahu bagaimana akhir dari semua ini.” Rupanya rangkaian kalimat sederhana inilah yang menjadi kunci daya hidup Pram meski disekap dari penjara satu ke penjara berikutnya.
Seseorang yang berpikiran logis seperti saya tidak akan pernah mampu mencerna secara baik bagaimana Pram bisa bertahan dari upaya-upaya pelenyapan eksistensi dirinya. Pengarang kelahiran Blora, 6 Februari 1925, ini mendekam tiga tahun dalam penjara pemerintah Kolonial Belanda dan satu tahun dibui oleh Pemerintah Orde Lama.
Pada masa Orde Baru, Pram diberangus dengan ganjaran penjara sejak 13 Oktober 1965 hingga Juli 1969. Kemudian penjara Nusakambangan, Juli 1969-16 Agustus 1969.
Itu pun belum cukup. Ia kemudian dibuang ke Pulau Buru, Agustus 1969-12 November 1979. Ketika akhirnya dipulangkan dari Pulau Buru, bukan berarti ia meraih kebebasannya. Pada November 1979-Desember 1979, Pram masih dikurung lagi di penjara Banyumanik, Magelang. Semuanya tanpa proses pengadilan!
Bahkan, ketika akhirnya dibebaskan serta dinyatakan tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI pada 11 Desember 1979, Pram masih pula menjadi tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara, dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur selama dua tahun.
Apakah Pram benar-benar kalah? Kutipan yang berulang diucapkan Nyai Ontosoroh, perempuan gundik Belanda dalam novel Bumi Manusia, berbunyi, ”Kita kalah, tetapi kita sudah melawan!”
Perlawanan Pram adalah perlawanan seorang penulis, seseorang yang mencurahkan segenap kemampuan intelektualnya lewat karya tulisan. Meski bertubi-tubi hukuman badan diterimanya, Pram tidak pernah terlihat berusaha untuk melakukan gugatan secara hukum atas perlakuan tidak adil yang diterimanya.
Bahkan, ketika menulis pun, Pram hampir-hampir tidak memperlihatkan bahwa ia sedang melakukan gugatan atas kesemena-menaan pengurungan dirinya di dalam penjara.
Tetralogi yang ditulis Pram pada masa pembuangan di Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) mengisahkan masa pra-kemerdekaan tahun 1898-1918 tentang seorang tokoh kebangkitan nasional bernama Tirto Adhi Soerjo.
Kisah-kisah dalam novel ini terjadi satu dekade sebelum nama Indonesia benar-benar digemakan dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Dengan ini Pram ingin menunjukkan pikiran-pikirannya yang nasionalis walau pernah diakuinya ia nasionalis yang kekiri-kirian.
Tuduhan terhadap dirinya, dan atas dasar itu ia dijebloskan ke penjara, bahwa ia penyebar ajaran komunis dan terlibat G30S/PKI, ”dibantah” Pram dengan bercerita.
Sangat berbeda dengan peraih Hadiah Nobel Sastra asal Rusia, Aleksandr Isayevich Solzhenitsyn (1918-2008). Gara-gara menulis surat protes kepada penguasa Rusia, Joseph Stalin, ia dipenjara dan dibuang ke kamp kerja paksa Gulag.
Solzhenitsyn kemudian menulis seluruh kekejaman kamp kerja paksa Gulag dalam novel besar yang terdiri atas beberapa jilid, Gulag Archipelago (1973). Karya ini sekali lagi membuat penguasa Rusia marah dan berujung pada pemenjaraan serta pengusiran Solzhenitsyn dari negaranya.
Pram sangat berbeda. Perlawanannya dalam pembuangan di Pulau Buru tidak dilakukan dengan menulis kekejaman kerja paksa di pulau yang masih penuh dengan binatang buas pada fase 1960-an itu.
”Banyak tahanan politik yang meninggal gara-gara malaria dan sakit kuning. Saya bertahan karena setiap pagi minum air putih,” kata Pram dalam satu wawancara dengan media.
Di sela-sela kerja paksa sebagai peladang, Pram menuturkan karya-karyanya secara lisan kepada para tapol (tahanan politik) lainnya. Cuma cara itulah yang bisa ia lakukan di tengah kekangan intelektual, yang tidak memperbolehkan Pram menulis.
Kalaupun kemudian ia coba-coba menulis dalam kertas-kertas rombeng yang ia temukan, pada akhirnya kertas-kertas itu pun disita oleh penguasa. Baru pada tahun 1973, Pram mendapatkan sedikit kelonggaran.
Ia diperbolehkan menggunakan mesin tik untuk menyalurkan ide-ide besar dalam karyanya. Akhirnya, dari mesin tik tua bermerek Royal, Pram melahirkan tetralogi Pulau Buru.
Bukan berarti setelah karya-karya Pram lahir masalah selesai. Setelah dibebaskan pada 1979, Pram masih harus menjalani pemenjaraan berikut. Setelah diterbitkan untuk publik, semua karya Pramoedya dilarang beredar oleh Jaksa Agung.
Baca juga: Salon Artjog
Bahkan, sering kali terdengar penyitaan dan pembakaran buku karya Pram. Orang-orang yang secara sembunyi-sembunyi menyimpan karyanya bisa berujung sebagai penghuni terali besi.
Hanung Bramantyo dan Richard Oh bersama Falcon Pictures lewat film Bumi Manusia dan Perburuan seolah menghidupkan perlawanan Pram. Perlawanan yang coba ia benihkan lewat tulisan-tulisannya, tentang percik-percik nasionalisme, yang tersemai jauh sebelum kita semua mengenal identitas Indonesia.
Perjuangan Minke dan Nyai Ontosoroh untuk merebut hak-hak bangsa pribumi yang terjajah berabad-abad sangat jelas menunjukkan kesadaran Pram sejak dini bahwa demokrasi dan persamaan hak di hadapan hukum menjadi perjuangan tak berujung.
Sebagai individu, manusia memiliki kebebasan untuk menyuarakan pendapat dan menentukan nasibnya sendiri. Namun, sebagai bagian dari bangsa yang tertindas, ia harus terus menghidupkan kesadaran tentang pentingnya memiliki identitas kebangsaan, yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Sampai akhir hayatnya, Pram tak pernah mengeluhkan, apalagi marah secara berlebihan atas pemberangusan terhadap dirinya. Ia yakin karya-karyanya suatu saat kelak akan menjadi sumber pencerahan intelektual bagi bangsa yang amat dicintainya.
Barangkali lewat dua film yang hari-hari ini tayang di gedung bioskop akan lebih banyak lagi publik yang tercerahkan. Bahwa perjuangan itu seperti jalan tak berujung dan menjadi Indonesia adalah perkelahian yang tak kenal lelah.
Sayang, Pram akhirnya menyerah pada 30 April 2006. Ia meninggal pada usia 81 tahun. Selain para seniman, pejabat, dan para penggemar karya-karyanya, hadir pula Wakil Presiden Jusuf Kalla saat pemakamannya.
Baca juga: Museum Waktu yang Meleleh
Meski jasadnya terkubur di Karet Bivak, Jakarta, karya-karyanya terus hidup dan meninggalkan jejak di kepala para anak bangsa, yang kian hari kian mencintainya.
Bangsa Indonesia masih terus berharap agar nama Pramoedya Ananta Toer semakin bergema di kancah dunia sebagai pemenang Hadiah Nobel, seperti yang telah diterima oleh Aleksandr Isayevich Solzhenitsyn.