Konsistensi dan Kreativitas, Modal Menjadi Periset Berkelas Dunia
Pembangunan nasional perlu didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kuat. Oleh karena itu, sumber daya periset yang tangguh dan berdaya saing global, sangat dibutuhkan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pembangunan nasional perlu didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kuat. Oleh karena itu, sumber daya periset yang tangguh dan berdaya saing global, sangat dibutuhkan.
“Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh para periset Tanah Air agar tangguh dan berdaya saing di peringkat global,” ujar Profesor Senior di International Islamic University Malaysia (IIUM), Prof Irwandi Jaswir, saat memberikan orasi ilmiah pada acara penganugerahan penghargaan ilmu pengetahuan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sarwono Award XVIII dan LIPI Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture XIX, di Jakarta, Kamis (22/8/2019).
Irwandi Jaswir termasuk yang menerima anugerah LIPI Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture XIX. Irwandi merupakan pionir riset halal sains di dunia. Adapun anugerah LIPI Sarwono Award XVIII diterima oleh pakar fisika nuklir dan partikel yang juga Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Prof Terry Mart.
Ajang penganugerahan tersebut merupakan inisiasi dari LIPI terhadap periset Indonesia yang berdedikasi serta konsisten mengembangkan ilmu pengetahuan.
Irwandi menyebutkan setidaknya tiga hal yang harus dilakukan oleh periset Tanah Air agar tangguh dan berdaya saing global.
Pertama, kualitas dan kuantitas riset perlu ditingkatkan sehingga terlihat di tingkat global. Kedua, riset yang dihasilkan perlu diarahkan ke tahap komersial. Ketiga, kualitas periset itu sendiri juga harus ditingkatkan.
Kemudian, agar periset lebih berdaya saing, kualitas periset di Indonesia bisa ditingkatkan melalui beberapa cara.
Diantaranya, mengubah pola pikir pada orientasi kolaborasi global, meningkatkan soft skill, serta memiliki konsistensi dan ketekunan dalam riset. Hal itu penting agar periset selalu termotivasi dalam meraih capaian yang maksimal.
“Rendahnya tingkat inovasi Indonesia salah satunya disebabkan rendahnya kuantitas periset. Jumlah periset di Indonesia hanya 90 orang per satu juta penduduk. Jika dibandingkan dengan negara maju seperti Jepang dan Swedia, perbandingan jumlah periset 5.000 per satu juta penduduk. Pemerintah punya peran penting. Berbagai aturan dan birokrasi yang terlalu kaku sebaiknya ditinjau kembali dan dipermudah bagi periset,” ucapnya.
Selain itu, produktivitas ilmiah perkapita di Indonesia tergolong masih rendah. Dalam jurnal yang dihasilkan oleh Nature, produktivitas ilmiah perkapita Indonesia hanya satu artikel jurnal internasional per satu juta penduduk.
Jumlah ini dinilai sudah meningkat, namun jika dibandingkan dengan Malaysia sepuluh tahun lalu, produktivitas ilmiah yang dicapai bisa sebanyak 25 artikel per satu juta penduduk.
Terry menambahkan, ketekunan menjadi modal penting yang harus dimiliki oleh para periset karena proses dari sebuah penelitian membutuhkan waktu yang sangat panjang. Cara kerja peneliti harus dilakukan dengan tekun dan tabah supaya bisa mencapai hasil yang optimal.
“Jadi saya sarankan bagi para periset sebaiknya segera mengambil bidang yang akan ditekuni dan dinilai memiliki prospek yang baik di masa depan. Tekuni bidang tersebut secara konsisten dan upayakan yang terbaik agar menjadi peneliti profesional,” katanya.
Ilmuwan diaspora
Irwandi berpendapat, potensi ribuan diaspora asal Indonesia yang berkarya dan berprestasi di luar negeri bisa dioptimalkan untuk mengembangkan kualitas dan kuantitas periset bangsa.
Dia mencontohkan Tiongkok, India, dan Korea Selatan, potensi para diaspora negara tersebut dikolaborasikan dengan sumber daya yang ada di dalam negeri. Oleh karena itu, kebijakan terkait jejaring riset antara Indonesia dan negara lain perlu menjadi prioritas pemerintah.
Menanggapi hal itu, Kepala LIPI Laksana Tri Handoko menyampaikan, jumlah penerimaan tenaga diaspora untuk bisa bekerja di Indonesia akan ditingkatkan pada 2019. Setidaknya, LIPI akan membuka kesempatan bagi 120 diaspora yang kompeten untuk menjadi peneliti ahli madya dengan tunjangan dan fasilitas pendukung yang terjamin.
“Kita harap ekosistem dan iklim riset di Indonesia bisa lebih kondusif. Para ilmuwan diaspora ini mungkin tidak semua akan kembali karena tetap diperlukan untuk menjadi jembatan kolaborasi antarnegara. Namun, kami harap juga banyak yang kembali karena telah dipermudah lewat program pegawai pemerintah perjanjian kerja (P3K). Kami juga pastikan infrastruktur yang diperlukan telah tersedia,” ujarnya.