95 Persen Perkawinan Anak Ilegal, MA Segera Terbitkan Perma
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS –— Perkawinan anak masih menjadi persoalan di Tanah Air, bahkan sudah masuk dalam kondisi darurat perkawinan anak. Mahkamah Agung menemukan praktik perkawinan secara ilegal yang jumlahnya sekitar 95 persen. Jumlah ini jauh lebih besar ketimbang jumlah permohonan dispensasi perkawinan anak melalui pengadilan agama yang hanya berjumlah lima persen.
Untuk mencegah perkawinan anak, Mahkamah Agung dalam waktu dekat akan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang mengatur tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Selain untuk kepentingan anak, kebijakan Perma tersebut diharapkan menjadi payung hukum bagi para hakim dalam meligitimasi putusan pengadilan.
“Saya bilang di sini 95 persen perkawinan anak di Indonesia ilegal, dan akan terjadi persoalan-persoalan rumit berikutnya. Sangat rumit sekali kalau kita persentasikan dan jabarkan akan muncul persoalan-persoalan baru. Karena kalau ilegal apa yang terjadi? Anak-anak yang ilegal tidak punya status hukum, itu sangat berbahaya untuk masa depan anak,” ujar Mardi Candra, Hakim Yustisial Mahkamah Agung, pada acara Seminar Nasional “Strategi dan Inovasi Pencegahan Perkawinan Anak” di Jakarta, Rabu (28/8/2019).
Seminar yang digelar Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) didukung Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dan program Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2). Selain Mardi yang menjadi pemantik diskusi, hadir sebagai pembicara kunci Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga (KPAPO) Bappenas, Woro Srihastuti Sulistyaningrum, serta pengantar diskusi dari Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Lenny N Rosalin.
Mardi dalam materinya berjudul “Perma Dispensasi Kawin sebagai bentuk Inovasi MA dalam Pencegahan Perkawinan Anak” memaparkan belasan ribu anak Indonesia menikah setiap tahun, dan jumlah tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun.
Ia memaparkan perkara dispensasi kawin pada lembaga yudikatif, khususnya Pengadilan Agama juga memperlihatkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2011 terdapat 1.504 perkara, namun tahun 2012 meningkat tajam menjadi 10.093 perkara, dan terus meningkat. Tahun 2018 dispensasi kawin sebanyak 13.815 perkara.
“Berdasarkan data di atas ditemukan fakta, bahwa jumlah perkawinan anak berdasarkan pemberian dispensasi kawin dari lembaga peradilan tidak lebih dari 5 persen dari total keseluruhan perkawinan anak di Indonesia,” kata Mardi.
Jumlah perkawinan anak berdasarkan pemberian dispensasi kawin dari lembaga peradilan tidak lebih dari 5 persen dari total keseluruhan perkawinan anak di Indonesia.
Dengan demikian, menurut Mardi, sebanyak 95 persen perkawinan anak di Indonesia adalah ilegal. “Atas nama kepentingan dan kebutuhan tidak sedikit terjadi penyelundupan hukum dengan melakukan upaya hukum melalui permohonan itsbat nikah di lembaga peradilan,” katanya.
Langkah pemerintah
Adapun Woro mengungkapkan berbagai upaya dilakukan pemerintah dalam mencegah perkawinan anak, antara lain Target dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024, pemerintah menargetkan terjadi penurunan angka perkawinan anak dari 11,2 persen di 2018 menjadi 8,74 persen di 2024.
Pemerintah menargetkan terjadi penurunan angka perkawinan anak dari 11,2 persen di 2018 menjadi 8,74 persen di 2024.
Selain itu bersama berbagai lembaga pemerintah dan organisasi, melakukan program advokasi, pelibatan remaja dalam Forum Anak dan Generasi Perencana (Genre), layanan konseling, penguatan regulasi, dan proyek percontohan di berbagai provinsi.
“Putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materi batas usia perkawinan telah ditindaklanjuti oleh KPPPA dengan penyusunan naskah akademik sebagai dokumen pelengkap amandemen UU No. 1/1974 tentang Perkawinan,” ujar Woro.
Mengenai putusan MK, menurut Lenny N Rosalin, hingga kini berbagai kemajuan telah dicapai. Pasca putusan MK, DPR membentuk panitia kerja untuk menjalankan amanat putusan MK untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Perkawinan. Bahkan, targetnya revisi UU Perkawinan disahkan dalam waktu kurang dari satu bulan atau sebelum periode 2014-2019 berakhir pada akhir September.
“Penyelarasan naskah akademik sudah selesai, harmonisasi revisi UU juga sudah selesai, sekarang permintaan tanda tangan dari lima menteri, begitu selesai akan dikeluarkan surat presiden dan kita siapkan dengan panja di DPR,” kata Lenny.
Kegiatan advokasi
Direktur Rumah Kitab Lies Marcoes, menyatakan fenomena perkawinan anak di Indonesia sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang mengkhawatirkan. Praktik ini terjadi hampir merata di berbagai wilayah di negeri ini dengan beragam faktor penyebab.
“Sejak 2017 Rumah Kitab mengembangkan kegiatan penyadaran dan advokasi pencegahan perkawinan anak melalui pendekatan sosial keagamaan dengan menggunakan perspektif jender,” ujar Lies.
Kegiatan tersebut didukung Bappenas dan program AIPJ2 di tiga wilayah urban yaitu Cilincing (Jakarta Utara), Kesunean (Cirebon), dan Panakukkang (Makassar).