Kerugian paling besar terjadi pada 2015 ketika pemerintah pusat meminjamkan dana Rp 5 triliun untuk menyehatkan BUMD, yang sampai kini ternyata belum juga dikembalikan.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja 1.097 badan usaha milik daerah di seluruh Indonesia masih belum memuaskan. Alih-alih menjadi sumber pendapatan, keberadaan badan usaha milik daerah justru membebani anggaran pemerintah.
”Selama lima tahun menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, lebih dari 70 persen perusahaan daerah air minum itu rugi. PDAM DKI Jakarta saja rugi,” kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam Rapat Koordinasi Nasional Keuangan Daerah 2019 di Jakarta, Rabu (28/8/2019). Rapat dihadiri, antara lain, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Teguh Supangkat, serta 3.000 pengurus badan usaha milik daerah (BUMD) dan sekretaris daerah dari seluruh Indonesia.
Mendagri mengungkapkan hal tersebut karena sebagian besar PDAM masih rugi meskipun pemerintah pusat telah berupaya keras menyehatkannya. Kerugian paling besar terjadi pada 2015 ketika pemerintah pusat meminjamkan dana Rp 5 triliun untuk menyehatkan BUMD, yang sampai kini ternyata belum juga dikembalikan.
Berdasarkan laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada Agustus 2019, BUMD meraih laba Rp 10,37 triliun atau 3 persen dari total aset senilai Rp 340,12 triliun. Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Hadi Prabowo melaporkan hal ini dalam rakornas tersebut.
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin mengungkapkan, kinerja yang belum optimal berdampak pada tidak tercapainya tujuan pendirian BUMD. Pasal 4 Huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan, BUMD ditujukan untuk memberikan manfaat bagi perekonomian daerah.
Kontribusi PAD
Masih dalam pasal yang sama, dijelaskan pula bahwa tujuan pendirian BUMD adalah untuk memperoleh laba. Keuntungan itu bisa diukur dari kontribusi BUMD terhadap pendapatan asli daerah (PAD).
Namun, keuntungan rata-rata dari total 1.097 BUMD ternyata masih minim. ”Rata-rata nasional kontribusi BUMD terhadap PAD hanya 3 persen,” kata Syarifuddin.
Dari 3 persen tersebut, hampir seluruhnya disumbang Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang juga mengandalkan kredit konsumsi pegawai negeri sipil. Kondisi ini sangat timpang karena hanya 26 BPD dari 1.097 BUMD di seluruh Indonesia yang menghasilkan keuntungan.
Bagi Tjahjo, kinerja BUMD sejauh ini mengecewakan. Dari analisis kinerja tersebut, semestinya banyak badan usaha yang dimerger atau bahkan ditutup. Namun, pengajuan pendirian BUMD baru dari daerah-daerah justru begitu banyak.
Mendagri mengatakan, salah satu akar masalah kinerja BUMD adalah pengelolaan yang terbentur konflik kepentingan. Pejabat daerah ikut andil dalam mengurus BUMD, kemudian menggunakan penghasilan perusahaan untuk kepentingan pribadi.
Obyek pemerasan
Berkait lemahnya kinerja korporasi BUMD tersebut, KPK menilai hal ini terjadi akibat masih dominannya pejabat daerah, baik eksekutif maupun legislatif, dalam tata kelola perusahaan ketimbang pengurus BUMD. Saut mengatakan, BUMD sering kali menjadi obyek pemerasan pejabat daerah.
”BUMD biasanya jadi ATM (anjungan tunai mandiri), benar tidak? Jangan sampai terjadi lagi,” ujar dia kepada semua peserta rapat.
Ia mengimbau kepada semua pengelola BUMD agar menolak tekanan dari oknum pejabat daerah. Keberlangsungan badan usaha yang sehat amat ditentukan oleh integritas pegawainya.
Sekjen Kemendagri mengatakan, untuk merevitalisasi BUMD, perlu ada pengubahan pola dan budaya kerja. Badan usaha tidak akan bisa berfungsi optimal dalam menyokong perekonomian daerah jika masih ada konflik kepentingan di dalam pengelolaan.
Apalagi, budaya kerja yang diterapkan selama ini cenderung birokratis. Sebagian besar pengelola BUMD belum bekerja secara profesional.
Hadi menjelaskan, harus ada budaya kerja baru yang terdiri dari beberapa prinsip. Pertama, perekrutan sumber daya manusia (SDM) berdasarkan kompetensi.
”Kita tinggalkan perekrutan lama yang didasarkan pada kedekatan dan tidak mempertimbangkan kompetensi. BUMD kadang kala dihadapkan pada permasalahan SDM yang pola kerjanya masih terjebak pada gaya lama. Naluri bisnisnya tidak ada sehingga BUMD dirasa tidak memberikan manfaat, tetapi justru membebani daerah,” papar Hadi.
Selain itu, pengelolaan BUMD juga harus dilaksanakan secara transparan, akuntabel, serta taat pada peraturan perundang-undangan.
Saut menambahkan, diperlukan pula kepastian hukum dalam menjalankan usaha. Setiap BUMD semestinya membuat daftar aturan detail untuk memastikan setiap langkah yang dilakukan tidak melanggar hukum.
KPK pun bersedia mendampingi BUMD. Saat ini, terdapat sejumlah koordinator wilayah yang ditempatkan pada sembilan kawasan. Salah satu tugas mereka adalah membantu memperbaiki tata kelola BPD.
”Selain fokus pada pencegahan, kami juga mendorong BUMD agar bersedia melaporkan jika terdapat indikasi tindak pidana korupsi,” ujar Saut.