Pemerintah Dorong Kualitas dan Kuantitas Gula Produksi Domestik
Pemerintah berkomitmen memperbaiki kualitas gula kristal putih atau GKP olahan pabrik yang berbahan baku tebu dalam negeri. Perbaikan ini beriringan dengan target swasembada gula pada 2029.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berkomitmen memperbaiki kualitas gula kristal putih atau GKP olahan pabrik yang berbahan baku tebu dalam negeri. Perbaikan ini beriringan dengan target swasembada gula pada 2029.
Rencana tersebut dibahas dalam rapat koordinasi tingkat Kementerian Koordinator Perekonomian di Jakarta, Selasa (3/9/2019). Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyo, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim, dan Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Wahyu Kuncoro hadir dalam rapat itu.
Perbaikan kualitas gula olahan pabrik dimulai dari BUMN, seperti PT Perkebunan Nusantara (Persero) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero). ”Pabrik gula BUMN diminta menaikkan kualitasnya dengan nilai ICUMSA (International Commission For Uniform Methods of Sugar Analysis) maksimal 200,” kata Wahyu saat ditemui setelah rapat koordinasi.
Saat ini standar ICUMSA GKP untuk gula konsumsi berkisar 200-300. Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula mendefinisikan, bilangan ICUMSA adalah suatu parameter nilai kemurnian yang berkaitan dangan warna gula yang diukur berdasarkan standar internasional, dalam satuan internasional unit (IU).
Dari sisi perindustrian, Abdul mengatakan, pihaknya menyiapkan aspek dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) agar batas ICUMSA menjadi satu nilai tunggal. Hal ini turut menjadi bagian dari penyelesaian kebijakan gula nasional.
Di tingkat pengguna, ada dua jenis gula kristal, yakni GKP dan gula kristal rafinasi (GKR). Nilai ICUMSA GKR saat ini berada di bawah 100.
GKR berbahan baku gula kristal mentah (raw sugar) yang diimpor. Surat keputusan menteri yang sama menyebutkan, ICUMSA untuk gula kristal mentah yang diimpor minimal senilai 1.200. Adapun GKR digunakan sebagai bahan baku proses produksi di tingkat industri.
Secara jangka panjang, perbaikan kualitas di tingkat industri pengolah GKP bertujuan untuk menyatukan pasar gula. Artinya, tak ada lagi pembedaan pasar berbasis peruntukan yang selama ini terpecah menjadi GKP dan GKR.
Pendekatan kualitas GKP menjadi GKR berpotensi berujung pada peningkatan pemanfaatan gula hasil perkebunan tebu dalam negeri. Oleh sebab itu, perbaikan ini juga beriringan dengan peningkatan lahan dan produksi gula nasional dalam rangka swasembada pada 2029.
Kementerian Pertanian mencatat, luas lahan perkebunan tebu saat ini 452.198 hektar. Asosiasi Gula Indonesia memperkirakan, produksi gula dalam negeri untuk konsumsi sepanjang 2019 sebesar 2,1 juta ton.
Ada dua jenis gula kristal, yakni GKP dan gula kristal rafinasi (GKR). Nilai ICUMSA GKR saat ini berada di bawah 100.
Kasdi memaparkan, perluasan lahan untuk swasembada gula pada 2029 dibagi menjadi dua tahap. Pada 2024, pemerintah menargetkan luas perkebunan tebu 535.000 hektar. Luas ini diperkirakan dapat memproduksi gula secara nasional sebanyak 3,2 juta ton. Adapun kebutuhan gula nasional 5,8 juta ton.
”Pada 2029, perluasan perkebunan tebu diharapkan 735.000 hektar dengan produksi gula sekitar 5,9 juta ton,” kata Kasdi.
Bangun kebun
Rapat koordinasi juga membahas Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Ada target yang mesti dipenuhi di 2019.
Pasal 74 Ayat 1 aturan tersebut menyebutkan, setiap unit pengolahan hasil perkebunan tertentu yang berbahan baku impor wajib membangun kebun dalam jangka waktu paling lambat tiga tahun setelah unit pengolahannya beroperasi. Sementara Pasal 114 Ayat 2 aturan itu menyatakan, perusahaan perkebunan yang telah melakukan usaha perkebunan dan memiliki izin usaha perkebunan yang tidak sesuai dengan ketentuan UU ini diberi waktu paling lama lima tahun untuk melaksanakan penyesuaian sejak UU ini berlaku.
Oleh sebab itu, Darmin menyatakan, pemerintah tengah mencari jalan keluar agar perusahaan yang terkena Pasal 114 Ayat 2 UU tersebut memiliki kebun untuk industri pengolahannya pada tahun ini. Dalam proses pengolahan, akan ada proporsi tertentu dalam pemanfaatan bahan baku dari impor dan kebun dalam negeri.