Rapat Paripurna DPR memutuskan menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air. Penundaan pengesahan disebut karena masih adanya persoalan teknis yang harus diselesaikan, bukan karena hal yang substansial.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rapat Paripurna DPR memutuskan menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air yang semula diagendakan Selasa (3/9/2019) ini. Penundaan disebut karena masih adanya persoalan teknis yang harus diselesaikan, bukan karena hal yang substansial.
”Kami mohon persetujuan Dewan agar pembicaraan tingkat II atau pengambilan keputusan terhadap RUU (Rancangan Undang-Undang) SDA (Sumber Daya Air) dapat diagendakan kembali pada rapat paripurna terdekat,” ujar Wakil Ketua DPR dari Fraksi PDI-P Utut Adianto saat memimpin Rapat Paripurna DPR, Selasa ini, di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Ini kemudian disetujui oleh anggota DPR yang menghadiri rapat paripurna. Maka, RUU SDA baru akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR berikutnya.
Utut menyebut penundaan karena masih adanya sejumlah persoalan teknis yang perlu dituntaskan. Namun, dia tak menyebutkan apa persoalan tersebut.
Persoalan redaksional
Seusai rapat, anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Bambang Haryo, yang terlibat dalam pembahasan RUU SDA, menyebut persoalan teknis dimaksud terkait redaksional di dalam RUU. ”Kurang sedikit, kurang sempurna dalam penulisan (pasal ataupun penjelasan di RUU),” ujarnya.
Jadi, penundaan bukan karena masih ada materi di dalam RUU yang belum disetujui oleh DPR ataupun pemerintah. DPR dan pemerintah telah menyetujui semua materi di dalam RUU. DPR dan pemerintah juga telah mempertimbangkan dan mengakomodasi masukan dari masyarakat.
”Tidak ada substansi yang bermasalah lagi,” kata Bambang.
Dia melanjutkan, RUU SDA penting untuk segera disahkan karena materi di dalamnya mengamanatkan perlindungan SDA. Komersialisasi SDA oleh segelintir pihak pun dihindarkan.
Sementara itu, terkait pengelolaan SDA, sudah tidak ada perubahan. Dalam rapat terakhir pemerintah dan DPR, pengelolaan SDA disepakati ditangani sejumlah kementerian dan lembaga.
Masyarakat adat
Selain itu, masyarakat adat yang tinggal di wilayah konservasi juga tetap diperbolehkan menggunakan sumber air setempat. Namun, mereka dilarang untuk memperjualbelikan air tersebut.
Secara terpisah, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, dalam pembahasan tingkat I RUU SDA antara Komisi V DPR dan pemerintah, masyarakat sudah diberi ruang untuk menyampaikan aspirasinya. Selain itu, RUU SDA disebutnya telah mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebelumnya membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA.
Dalam putusannya, MK menyatakan enam poin, di antaranya setiap pengusahaan air tidak boleh mengganggu dan meniadakan hak rakyat, negara harus memenuhi hak rakyat atas air sebagai salah satu hak asasi manusia (HAM), dan pengelolaan air harus mengingat kelestarian lingkungan hidup.
Selain itu, air sebagai salah satu cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak sesuai dengan Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945 harus diawasi dan dikendalikan oleh negara. Pengusahaan air diprioritaskan pada badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD).
Terakhir, jika seluruh batasan telah terpenuhi dan masih ada ketersediaan air, pemerintah dimungkinkan membuka peluang pada swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat tertentu dan ketat.
”Pengesahan RUU SDA akan mengisi kekosongan regulasi terkait penggunaan air setelah UU No 7/2004 dibatalkan oleh MK pada 2015,” kata Bambang.
Pernyataan Bambang itu terkait dengan kritik sejumlah pihak terhadap substansi RUU SDA. Salah satunya, RUU dinilai masih mengutamakan pendekatan komoditas karena tidak ketat membatasi pengelolaan air oleh swasta. Ini terlihat dari Pasal 47 RUU SDA yang memberikan izin penggunaan SDA milik pemerintah untuk kebutuhan usaha kepada pihak swasta yang memenuhi syarat tertentu.
Pasal 47 Huruf g RUU SDA yang mengatur kewajiban konservasi SDA pelaku industri juga dipermasalahkan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Pada pasal tersebut, kewajiban konservasi dibebankan dalam bentuk penyisihan minimal 10 persen dari laba usaha. Hal itu dinilai akan menambah beban pengusaha karena mereka sudah wajib membayar pajak penggunaan SDA 10-20 persen sesuai dengan UU Pajak Daerah dan Retribusi.
Sebelumnya, Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Wahyu Perdana mengatakan, pengelolaan SDA selama ini tumpang tindih karena diatur oleh banyak kementerian dan lembaga dari sektor yang berbeda. Akibatnya, kerap terjadi ketidakharmonisan aturan. Untuk itu, pihaknya mengusulkan pembentukan lembaga atau kementerian yang mengoordinasikan pengelolaan air.
Contohnya, izin pengelolaan SDA dikeluarkan Kementerian ESDM, pemipaan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), permukaan air oleh Kementerian PUPR dan KLHK, irigasi dari Kementerian Pertanian, serta pencemaran di KLHK.