DPR dan Pemerintah sepakat merevisi UU KPK secara diam-diam; melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Pada saat bersamaan, RUU kontroversial lainnya juga digulirkan, memicu gelombang aksi unjuk rasa pada akhir 2019.
Oleh
AGNES THEODORA WOLKH WAGUNU, RIANA A IBRAHIM
·4 menit baca
*Artikel berikut ini pernah terbit di Harian Kompas edisi 5 September 2019. Kami terbitkan kembali dalam rubrik Arsip Kompas.id mendampingi perilisan Narasi Fakta Terkurasi, aset NFT perdana Harian Kompas.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat kembali menggulirkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Rancangan legislasi yang dibahas DPR secara tertutup dari publik itu akan mengubah kedudukan dan kewenangan lembaga KPK.
Rancangan revisi UU KPK yang akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR, Kamis (5/9/2019), itu dinilai sebagai bagian dari pelemahan sistematis terhadap pemberantasan korupsi. Apalagi, pada saat bersamaan, masyarakat sipil menduga, di antara 10 nama calon unsur pimpinan KPK periode 2019-2023 yang Rabu siang disampaikan Presiden Joko Widodo ke DPR, masih ada sejumlah nama yang diduga bermasalah.
Selain itu, dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang dibahas DPR dan pemerintah, ancaman pidana untuk koruptor diperingan, misalnya Pasal 2 UU Tipikor terkait perbuatan memperkaya diri yang diadopsi Pasal 604 RKUHP. Ancaman penjara minimum untuk pelaku lebih singkat, dari sebelumnya 4 tahun menjadi 2 tahun. Dalam RUU Pemasyarakatan yang sedang dibahas, ada juga pasal yang bisa meringankan syarat bebas bersyarat dan asimilasi untuk narapidana korupsi.
Ketua KPK Agus Rahardjo terkejut mendengar rencana revisi UU KPK kembali digulirkan DPR. Terlebih lagi, di antara poin revisi itu, muncul kembali pengaturan agar KPK dapat menghentikan perkara, pembentukan Dewan Pengawas KPK, hingga penyadapan yang perlu izin Dewan Pengawas.
”Kalau yang direvisi ini, jelas akan melemahkan KPK. Saat ini yang diperlukan KPK bukan revisi terhadap UU KPK. Namun, yang jauh lebih penting untuk direvisi ialah Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi,” ujar Agus. Ia juga menyesalkan dimasukkannya pengaturan tipikor ke RKUHP.
Rapat tertutup
Revisi UU KPK diputuskan dalam rapat pleno Badan Legislasi (Baleg), Selasa (3/9) malam. Dalam rapat tertutup itu, semua fraksi setuju UU KPK direvisi. Wakil Ketua Baleg DPR Sudiro Asno lalu menyurati pimpinan DPR agar RUU itu dibawa ke rapat paripurna untuk diputuskan sebagai usul inisiatif DPR.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi PDI-P, Masinton Pasaribu, mengatakan, rencana revisi UU KPK sudah bergulir lama, tetapi sempat terhenti karena kesibukan anggota DPR menghadapi Pemilu 2019. Setelah pemilu, pembahasan itu dilanjutkan. Ia membenarkan, perancangan revisi UU KPK dibahas dalam rapat-rapat tertutup.
”Di DPR itu ada berbagai jenis rapat. Tentu yang diketahui publik adalah rapat terbuka. Rapat-rapat tertutup itu cukup di Baleg saja,” kata Masinton yang hadir dalam rapat.
Revisi UU KPK dimunculkan saat ini karena bertepatan dengan proses seleksi calon pimpinan KPK periode 2019-2023. Dengan demikian, pimpinan KPK yang baru nanti bisa bekerja dengan mengacu pada UU KPK yang baru.
Adapun substansi revisi yang disepakati menyangkut enam poin perubahan kedudukan dan kewenangan KPK. Pertama, kedudukan KPK disepakati berada pada cabang eksekutif yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya bersifat independen. Pegawai KPK akan berstatus aparatur sipil negara.
Kedua, penyadapan oleh KPK baru dapat dieksekusi setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas KPK. Ketiga, KPK menjadi bagian tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia yang harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya.
Keempat, kinerja KPK di bidang pencegahan akan ditingkatkan. Setiap instansi, kementerian, dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara sebelum dan sesudah berakhir masa jabatan. Kelima, munculnya Dewan Pengawas KPK yang berjumlah lima orang yang bertugas mengawasi KPK.
Keenam, kewenangan KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tak selesai dalam jangka waktu setahun. Hal itu harus dilaporkan ke Dewan Pengawas dan diumumkan ke publik.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menyampaikan, sejumlah poin dalam rancangan revisi UU KPK teridentifikasi melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi secara sistematis.
”Kalau isinya seperti ini, jelas melemahkan. Harusnya ada alasan kenapa perlu direvisi. Sampai saat ini, tak ada persoalan dari penerapan pasal-pasal UU KPK. Lalu apa tujuan dan urgensinya,” katanya.
Pendiri Lingkar Madani, Ray Rangkuti, mengatakan, revisi UU KPK menjadi kado pahit di ujung masa bakti anggota DPR 2014-2019. ”Rencana revisi ini seperti dipaksakan jika dilihat dari masa bakti anggota DPR 2014-2019 yang hanya tinggal tiga minggu lagi,” ujarnya.
Rencana revisi UU KPK beberapa kali muncul sejak era pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono hingga Presiden Joko Widodo. Pada tahun 2015, rencana revisi UU KPK digulirkan. Namun, hal ini ditolak kelompok masyarakat sipil dan KPK. Presiden Joko Widodo dan DPR pada awal tahun 2016 sepakat menunda revisi UU KPK. (AGE/IAN)