Tuntaskan Masalah Papua dengan Pendekatan Kultural
Penyelesaian masalah Papua perlu mengedepankan pendekatan kultural. Pemerintah pun semestinya memiliki pemahaman utuh mengenai warga Papua sebagai dasar perumusan kebijakan.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelesaian masalah Papua perlu mengedepankan pendekatan kultural. Pemerintah pun semestinya memiliki pemahaman utuh mengenai warga Papua sebagai dasar perumusan kebijakan.
Dialog juga penting dilakukan untuk memberikan saluran bagi aspirasi masyarakat. Dialog dan rekonsiliasi merupakan salah satu dari Peta Jalan Papua (Papua Road Map) yang dirumuskan dari penelitian panjang Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 2008.
Hal itu mengemuka dalam diskusi ”Mengurai Akar Masalah dan Kondisi Terkini Papua” di kantor redaksi harian Kompas, Jakarta, Kamis (5/9/2019). Dalam diskusi itu hadir Peneliti Senior LIPI Adriana Elisabeth, Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia 2001-2004 Manuel Kaisiepo, Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab, anggota Desk Papua Bappenas Moksen Idris Serfifa, dan mantan anggota DPR dari Papua, Simon Patrick Morin.
Selain itu, hadir pula Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Rikard Bagun dan Budiman Tanuredjo, serta Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy. Diskusi dimoderatori Wakil Redaktur Pelaksana Harian Kompas Marcellus Hernowo.
Manuel Kaisiepo mengatakan, pendekatan kultural dibutuhkan sebagai jalan masuk memahami warga Papua. Sebab, ketegangan berulang yang terjadi di daerah tersebut merupakan dampak dari masalah politik dan pelanggaran hak asasi manusia yang tak kunjung dituntaskan.
Masyarakat juga memiliki ingatan kolektif yang penuh kegetiran. Sejak diintegrasikan ke Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 1969, warga dihadapkan pada sejumlah operasi militer dan eksploitasi sumber daya alam yang memberikan efek traumatis.
”Pendekatan yang tepat terhadap warga Papua setidaknya pernah dilakukan Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid. Gus Dur tahu bahwa masyarakat yang punya kegetiran masa lalu itu harus didekati dengan pendekatan kebudayaan. Ia mengangkat harkat dan martabat mereka,” katanya.
Gus Dur tahu bahwa masyarakat yang punya kegetiran masa lalu itu harus didekati dengan pendekatan kebudayaan. Ia mengangkat harkat dan martabat mereka.
Hal itu, lanjut Manuel, diwujudkan dengan konsep kewarganegaraan setara, yang tidak pernah didapatkan warga selama 30 tahun di bawah rezim Orde Baru. Kemudian dilanjutkan dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Moksen Idris Serfifa menambahkan, selama ini pemerintah tak pernah mengenal masyarakat Papua secara utuh. Oleh karena itu, ragam kebijakan yang dirumuskan pun belum tepat sasaran.
Selain itu, stereotip terhadap masyarakat Papua pun masih kuat. Hal itu menambah rasa rendah diri di hadapan warga daerah lain.
”Langkah fundamental yang perlu dilakukan pemerintah adalah memahami kosmologi, kondisi psikologis, dan nilai-nilai yang dijujung masyarakat Papua,” ujarnya.
Peta Jalan Papua
Manuel mengatakan, setelah Gus Dur lengser, cara pandang terhadap permasalahan Papua cenderung memprioritaskan hal teknis. Pembangunan dilaksanakan tanpa memperhatikan nilai kultural.
Senada dengan Manuel, Adriana Elisabeth menyatakan, pembangunan infrastruktur yang dilakukan saat ini juga dilakukan tanpa bertanya. ”Proses memahami orang Papua itu hilang,” katanya.
Pembangunan infrastruktur yang dilakukan saat ini juga dilakukan tanpa bertanya. ”Proses memahami orang Papua itu hilang.”
Menurut Adriana, sejak 1980-an LIPI telah memulai penelitian dan interaksi dengan warga Papua. Mereka menyelenggarakan pertemuan eksploratif (explorative meeting) atau dialog sektoral.
Dalam pertemuan itu, para peneliti dan warga setempat berdialog membahas beragam isu, mulai dari HAM, pemerintahan yang baik (good governance), keamanan, sosial budaya, hingga sosial ekonomi. Kemudian mereka menyepakati hal-hal yang perlu ditindaklanjuti.
Adriana mengatakan, dialog penting dilakukan untuk memberikan saluran bagi aspirasi masyarakat. Selain itu, metode tersebut juga dinilai mampu mengurangi kecurigaan antara pemerintah dan warga Papua.
”Dialog dan rekonsiliasi merupakan salah satu dari Peta Jalan Papua (Papua Road Map) yang dirumuskan dari penelitian panjang sejak 2008. Sampai saat ini, dialog dinilai masih relevan dan semestinya segera dilakukan,” katanya.
Dialog dan rekonsiliasi merupakan salah satu dari Peta Jalan Papua yang dirumuskan dari penelitian panjang sejak 2008.
Selain itu, LIPI juga merekomendasikan pemberdayaan masyarakat berbasis lokalitas. Program rekognisi, seperti memperkenalkan pahlawan asal Papua, juga diperlukan. Hal lain, dibutuhkan juga paradigma baru dalam pembangunan yang berbasis kebudayaan serta penuntasan kasus kekerasan dan pelanggaran HAM berat melalui pengadilan.