Menurut Tenaga Ahli DPR Revisi UU KPK Justru Terlalu Dipaksakan
Amendemen Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK di ujung masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 dinilai terlalu dipaksakan.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Amendemen Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK di ujung masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 dinilai terlalu dipaksakan. Waktu yang tersisa tak cukup untuk membahas revisi secara matang. Langkah-langkah yang ditempuh pun cenderung menyalahi aturan.
Peneliti pada Pusat Penelitian Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Poltak Partogi Nainggolan saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (6/9/2019), mengatakan, anggota dewan hanya memiliki waktu efektif enam hari kerja untuk pembahasan rancangan undang-undang (RUU). Waktu yang memungkinkan bagi mereka untuk membahas adalah setiap Rabu dan Kamis, yaitu pada 11, 12, 18, 19, 25, dan 26 September 2019. Di luar itu, anggota dewan akan disibukkan dengan rapat paripurna, hari fraksi.
Partogi menilai, revisi UU KPK juga menyalahi prosedur. Sebagai rancangan undang-undang yang disetujui sebagai inisiatif DPR, semestinya didahului dengan rapat kerja dengan pemerintah untuk membahasnya. Namun, pertemuan tersebut tak pernah dilaksanakan hingga Badan Legislasi memutuskan untuk merevisi UU KPK pada Selasa, (3/9/2019) dan mengumumkannya pada Rabu (4/9/2019).
“Revisi tersebut juga melanggar prosedur, karena tidak ada dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2019,” kata Partogi.
Ia mengakui, revisi UU KPK memang masih ada pada Prolegnas 2015—2019 nomor urut 37. Namun, sejak amendemen dihentikan oleh Presiden Joko Widodo pada 2016, undang-undang tersebut tak pernah masuk dalam prolegnas tahunan. Untuk itu, perlu ada tahap yang dilalui untuk mendaftarkannya pada prolegnas tahunan, yaitu membicarakannya dengan pemerintah.
Lemahkan KPK
Menurut Partogi, substansi revisi yang dikemukakan Badan Legislasi akan melemahkan KPK. Dalam RUU tersebut, diatur agar KPK dapat menghentikan penyidikan suatu perkara, pembentukan Dewan Pengawas KPK, dan penyadapan yang memerlukan izin dewan pengawas.
Selain itu, status pegawai KPK juga ingin diubah menjadi aparatur sipil negara (ASN). Melalui pengubahan itu, keistimewaan pegawai yang selama ini mampu mendorong mereka bersikap independen dan objektif akan hilang.
Anggota DPR hanya memiliki waktu efektif enam hari kerja untuk pembahasan RUU. Waktu yang memungkinkan bagi mereka untuk membahas adalah setiap Rabu dan Kamis. Di luar itu, anggota DPR akan disibukkan dengan rapat paripurna, hari fraksi
Bagi Partogi, keistimewaan status lembaga dan pegawai KPK bukan hal aneh. Itu terkait dengan tujuan pendiriannya sebagai lembaga yang berwenang menangani situasi darurat korupsi. Keberadaan KPK diperlukan karena lembaga penegak hukum lain belum bisa melaksanakan tugas tersebut secara optimal dan tak dipercaya masyarakat.
“DPR sepertinya kompak untuk menghabiskan KPK,” ujar Partogi.
Ia menambahkan, upaya pelemahan KPK melalui revisi UU KPK pada akhir masa jabatan ini bukan kebetulan. DPR cenderung memanfaatkan kelengahan masyarakat. Beberapa waktu ke belakang perhatian pemerintah dan masyarakat sipil tersita pada berbagai urusan genting lainnya, seperti pembentukan kabinet dan konflik di Papua dan Papua Barat.
Itikad tersebut juga dilakukan secara sistematis. Setidaknya mulai 2016, ketika Setya Novanto, Ketua DPR 2016—2017, masih menjabat, ia sudah meminta tim asistensi untuk mengampanyekan bahwa UU KPK mendorong lembaga tersebut menjadi institusi super. Oleh karena itu, wacana pembentukan Dewan Pengawas KPK, penyadapan yang harus melalui izin dewan pengawas, dan kewenangan KPK untuk menghentikan suatu perkara semestinya disertakan di dalam undang-undang.
Bahkan, tim juga diminta untuk menyosialisasikan hal tersebut ke perguruan tinggi. DPR bermaksud mendapatkan legitimasi dari kampus. Namun, upaya itu tak berhasil.
Upaya pelemahan KPK juga selamat karena ketegasan Presiden Joko Widodo. Pada 2016, Presiden memutuskan untuk menunda revisi UU KPK. Oleh karena itu, DPR dan pemerintah sepakat untuk mengeluarkan agenda itu dari prolegnas tahunan.
“Nasib KPK saat ini sangat bergantung pada Presiden. Jika beliau berkomitmen pada good governance, maka semestinya ia tetap pada sikap semula,” ujar Partogi.
Suara bulat
Anggota Baleg dari Fraksi PDI-P Hendrawan Supratikno mengatakan, revisi UU KPK diusulkan oleh beberapa anggota DPR dari sejumlah fraksi pada rapat tertutup yang dihadiri oleh perwakilan 10 fraksi di DPR, Selasa lalu. Ia membenarkan, pengusul itu adalah Masinton Pasaribu dan Risa Mariska dari Fraksi PDI-P, Saiful Bahri Ruray dari Fraksi Partai Golkar, Ibnu Multazam dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Achmad Baidowi dari Fraksi PPP, dan Taufiqulhadi dari Fraksi Partai Nasdem.
“Betul. Ada beberapa lagi ya, saya tidak hapal betul, karena kan inisiator seperti itu kan untuk supaya jelas pertanggungjawabannya, jadi mereka mempresentasikan dalam rapat Baleg itu, mereka duduk berhadapan dengan pimpinan Baleg. Kami sebagai anggota kan ada di kanan dan kiri,” jelasnya.
Ia menambahkan, tidak ada satu fraksi pun yang menolak usulan tersebut. Mereka menyetujui revisi UU KPK sebagai RUU usul inisiatif DPR.
Meski demikian, bukan berarti pembahasan berjalan mulus. Perdebatan terjadi hampir tiga jam.
Perdebatan terkait dengan usulan agar Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara dimasukkan ke dalam UU KPK. Hal lain, penyadapan yang tidak hanya harus diizinkan dewan pengawas tetapi juga harus melalui pengadilan.
Ia menambahkan, seluruh fraksi sepakat agar KPK menjadi lembaga yang kredibel dan efektif. “Akan tetapi, di sisi lain, kami juga ingin agar KPK memiliki tata kelola yang baik karena kewenangannya sangat tinggi,” ujar Hendrawan.